Kini tugas kita adalah menulis bab berikutnya, yakni ketika kekayaan alam tidak hanya menjadi statistik di atas kertas, tetapi menjadi wujud kesejahteraan yang nyata dari Ransiki hingga Merauke, dari pesisir hingga pedalaman.

Surabaya (ANTARA) - Tim Marshall dalam bukunya "The Power of Geography" mengingatkan bahwa nasib sebuah bangsa sering kali tidak ditentukan oleh kemauan politik semata, tetapi oleh geografinya, yakni posisi, lanskap, dan sumber daya yang mengelilinginya.

Namun, seperti juga ditekankan Marshall, geografi bukanlah takdir, ia adalah panggung yang bisa kita mainkan dengan strategi yang tepat.

Indonesia memiliki geografi yang luar biasa kompleks, sekaligus potensial. Tanahnya subur, kaya mineral, hutan tropis, dan kaya dengan energi panas bumi. Selain itu, Indonesia menyumbang 10 persen keanekaragaman hayati dunia, serta 23 persen cadangan nikel global. Dengan modal sebesar ini, seharusnya Indonesia menjadi kekuatan maritim, agraris, dan energi yang disegani dunia.

Hanya saja, seperti Marshall gambarkan dalam studinya atas banyak negara, potensi geografis sering kali terhambat oleh "paradox of plenty", yakni kekayaan alam yang besar, tetapi belum terkelola untuk menjadi kesejahteraan rakyat. Potensi itu tersebar luas, tetapi nilai tambahnya masih terkonsentrasi di pusat.

Di balik kekayaan itu, terdapat paradoks besar. Tingkat kemiskinan di desa masih 10,4 persen, jauh lebih tinggi dari kota yang hanya 7,2 persen. Di kawasan timur, angkanya bahkan melonjak dua kali lipat.

Banyak desa yang belum menikmati listrik dan internet secara memadai, sementara nilai tukar petani nasional hanya sekitar 111, yang menunjukkan tanda tipisnya margin keuntungan mereka.

Alam kita kaya, tapi kesejahteraan rakyatnya belum ikut naik. Refleksi itu kita rasakan ketika berkunjung ke Kampung Ransiki, Manokwari Selatan, pekan lalu. Wilayah itu, seperti miniatur Indonesia timur: tanah yang subur, laut yang kaya, dan masyarakat yang masih hidup selaras dengan alam.

Kakao Ransiki, yang aromanya mulai dikenal di pasar internasional, tumbuh di lereng Arfak, dengan mutu premium. Sementara di pesisir Momi Waren dan Oransbari menyimpan potensi perikanan dan wisata bahari yang luar biasa.

Meskipun demikian, sebagian besar kekayaan itu masih berupa potensi dan belum naik kelas menjadi kekuatan ekonomi lokal yang tangguh.

Melihat potensi besar, tetapi belum terkapitalisasi dengan baik itulah Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dengan International Fund for Agricultural Development (IFAD) hadir melalui program yang terarah dan berbasis data lokal, salah satunya lewat Program Transformasi Ekonomi Kampung Terpadu (TEKAD). Program ini berhasil memberi contoh konkret bagaimana potensi geografis desa dapat diubah menjadi daya saing ekonomi yang berkelanjutan.

Melalui Rumah Inovasi dan Teknologi Desa (RITD), misalnya, pemerintah bersama masyarakat desa di Manokwari Selatan mengidentifikasi potensi unggulan daerah itu, seperti kakao, kelapa, dan hasil laut, lalu menyusun rencana pengembangan jangka panjang berbasis data spasial, teknologi, dan rantai nilai.

Pendekatan ini bukan hanya menyentuh infrastruktur, tetapi juga memperkuat kapasitas masyarakat, yakni bagaimana petani, nelayan, dan pelaku usaha desa memahami pasar, mengelola produksi, dan menghubungkan hasilnya ke lembaga keuangan serta koperasi desa.

Program TEKAD juga memperkenalkan investment fund sebagai sarana mendorong kolaborasi antara badan usaha milik desa atau BUMDes, koperasi, dan dunia usaha lokal. Pendekatan ini diharapkan melahirkan ekosistem ekonomi desa yang tidak bergantung pada subsidi, tetapi tumbuh dari pengelolaan aset lokal yang produktif.

Apa yang dilakukan di Manokwari Selatan memberi pelajaran penting, yakni geografi hanya menjadi kekuatan bila dikelola dengan ilmu dan kolaborasi. Alam menyediakan bahan mentah, tetapi manusia dan kebijakanlah yang menyalakan nilai tambah dari potensi itu.

Dalam konteks "The Power of Geography", Indonesia sedang menulis ulang hubungannya dengan ruang. Kita tidak lagi sekadar "dianugerahi" letak dan kondisi strategis, tapi berupaya memanfaatkannya secara cerdas melalui kebijakan yang berakar di desa-desa.

Ketika masyarakat desa memiliki data, rencana, dan kapasitas untuk mengelola kekayaannya sendiri, maka geografi tidak lagi menjadi batas, melainkan justru menjadi jembatan bagi kemajuan dan kesejahteraan.

Marshall juga menulis, "Geography is where history begins". Untuk Indonesia, sejarah itu telah lama dimulai oleh alam yang luar biasa dermawan. Kini tugas kita adalah menulis bab berikutnya, yakni ketika kekayaan alam tidak hanya menjadi statistik di atas kertas, tetapi menjadi wujud kesejahteraan yang nyata dari Ransiki hingga Merauke, dari pesisir hingga pedalaman.

Kita sering menganggap pembangunan harus datang dari pusat. Padahal, jika membaca ulang peta Indonesia, sebagaimana digambarkan Marshall, kekuatan sejati negeri ini justru berada di pinggiran, di desa-desa, di pesisir, atau di wilayah yang selama ini disebut "tertinggal".

Di sanalah sumber pangan, energi, dan ekosistem ekonomi lokal tumbuh. Maka, memandirikan desa bukan sekadar keadilan sosial, tapi juga strategi geopolitik untuk menjaga kedaulatan bangsa di tengah tekanan global.

Karena itu, kebijakan ekonomi nasional harus mulai tidak lagi terfokus pada pertumbuhan di kota dan sektor industri besar, tapi harus ke perdesaan. Tanpa konektivitas yang adil antara kota dan desa, pembangunan akan terus timpang.

Desa menghasilkan bahan baku, kota mengolah dan menikmati nilai tambahnya. Untuk menutup jurang ini, Kemendesa dan PDT mempertajam sasaran program-programnya ke desa. Investasi sosial dan ekonomi desa terus diperluas melalui akses permodalan, infrastruktur digital, dan pelatihan teknologi tepat guna yang relevan dengan potensi lokal.

Indonesia harus berani mengubah paradigma, bukan lagi membangun desa karena "belas kasihan", tetapi karena rasionalitas ekonomi dan politik jangka panjang. Desa yang kuat berarti pasar domestik yang luas, ketahanan pangan yang stabil, dan kohesi sosial yang terjaga. Ketika desa tumbuh, Indonesia berdiri lebih tegak di atas fondasi geografisnya sendiri.

Paradoks antara alam yang kaya dan rakyat yang miskin tidak akan hilang dalam semalam, tapi harus melalui program dan kebijakan yang berpihak pada wilayah. Kita telah menapaki jalan yang benar, jalan yang membaca ulang kekayaan geografi Indonesia bukan sekadar dari peta, tapi dari denyut kehidupan masyarakat yang menjaganya setiap hari.

Pada akhirnya, membangun Indonesia harus dimulai dari desa, dari bawah, dari tempat di mana kehidupan tumbuh paling jujur. Desa bukan lagi objek pembangunan, melainkan subjek yang memiliki daya cipta dan daya juang.

Ketika potensi alamnya dikelola oleh tangan-tangan masyarakat yang terdidik, berdaya, dan percaya diri, maka pembangunan tidak lagi bergantung pada pusat, tetapi mengalir dari akar ke pucuk.

Dari desa, Indonesia menemukan kembali kekuatannya berdiri di atas kekayaan alam sendiri, dan menegakkan martabat bangsa lewat kemandirian rakyatnya.


*) Prof Dr Zainuddin Maliki, MSi adalah Sekretaris Eksekutif Strategic Policy Unit Program TEKAD Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal