Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Stella Christie menegaskan pentingnya pembangunan sumber daya manusia (SDM) unggul sebagai kunci utama menghadapi tantangan global kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI).

"Kuncinya bukan pada teknologinya, tetapi pada manusianya. SDM yang memiliki empati, kreativitas, dan kemampuan berpikir analitis tidak akan tergantikan oleh AI," katanya melalui keterangan di Jakarta, Selasa.

Wamendiktisaintek memaparkan berbagai fenomena global yang menunjukkan bagaimana AI telah mengambil peran besar dalam dunia kerja dan kehidupan sosial.

Salah satu studi menunjukkan bahwa jawaban berbasis AI seperti ChatGPT, dinilai lebih empati dan akurat dibandingkan dokter manusia dalam beberapa kasus medis.

Menurut Stella, hal ini harus menjadi refleksi penting bahwa teknologi dapat melampaui manusia jika manusia berhenti mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan dan kapasitas berpikir.

Ia mengemukakan data dari World Economic Forum (WEF) mengungkapkan bahwa hingga tahun 2025, AI diprediksi menciptakan 97 juta pekerjaan baru, namun sekaligus menghilangkan 92 juta pekerjaan lama, sebagian besar akibat otomatisasi.

Oleh karena itu, Stella menekankan peningkatan kompetensi dan pelatihan berkelanjutan (upskilling dan reskilling) menjadi hal yang mendesak untuk menghindari ketertinggalan.

"Kalau kita tidak beradaptasi, AI akan menjadi disruptor. Tapi kalau kita bijak mengelolanya, AI akan menjadi enabler," tegasnya.

Lebih lanjut, Wamendiktisaintek menjelaskan bahwa AI memiliki empat dimensi utama yang menjadi tantangan global, yakni ancaman terhadap ketenagakerjaan dan kesenjangan ekonomi, kerentanan terhadap keamanan siber, penurunan reliabilitas informasi (hoaks dan disinformasi), serta peningkatan kesenjangan digital antarnegara dan antarkelompok masyarakat.

Namun, ia menyebut sejumlah tantangan tersebut juga dapat menjadi peluang jika dikelola dengan tepat. AI dapat membantu menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan keamanan siber berbasis kecerdasan buatan, memperkuat mekanisme pemeriksaan fakta, dan pemerataan akses pendidikan serta kesehatan.

"AI bukan musuh manusia. AI adalah alat. Jika kita mampu mengarahkan, mengatur, dan mengawasinya, maka AI akan memperkuat bangsa, bukan melemahkannya," tutur Stella Christie.