Oleh: Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Jateng
GETIR rasanya membaca berita tentang seorang anak berusia 12 tahun harus meninggal dunia setelah menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh teman-teman sekolahnya. Apalagi, kasus tersebut terjadi di sekolah, tempat orang tua siswa menitipkan masa depan anak-anak mereka.
Akan tetapi, itulah yang menimpa Angga Bagus Perwira (12), siswa kelas VII sebuah SMP negeri di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Ia ditemukan meninggal dunia saat dilarikan ke UKS usai menjadi korban bullying teman-teman sekelasnya, pada Sabtu (11/10/2025) siang.
Saya tidak ingin membahas kronologi bagaimana kasus tersebut terjadi. Saya meyakini yang terjadi adalah interaksi ‘tidak sehat’ antara korban dan pelaku sebagai hasil dari pola asuh kekinian pada kebanyakan keluarga di sekitar kita, yang sudah abai dengan tumbuh kembang anak. Terkait ini, saya akan bahas nanti di bagian akhir dari catatan ini untuk mengingatkan kita semua tentang pola asuh yang sehat di dalam keluarga.
Ketika mendengar ada kasus ini, saya ingin mendapatkan liputan yang lebih mendalam tentang kasus ini. Saya ingin mengajak publik Jawa Tengah, pembaca Tribun Jateng untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang tua Angga Bagus Perwira. Tidak untuk mengeksploitasi kesedihan yang sedang dialami keluarga korban, saya ingin kita semua melihat dan merasakan bagaimana rasanya kehilangan penerus sejarah dalam sebuah keluarga hanya lantaran interaksi anak-anak kita di sekolah.
Saya ingin publik Jawa Tengah ikut merasakan bagaimana rasa kehilangan terhadap Angga Bagus Perwira, yang sejujurnya peluang yang sama bisa menimpa anak-anak kita.
Saya juga sama sekali tak ingin menyalahkan pihak sekolah lantaran saat ini sekolah sudah kehilangan muruahnya menjadi institusi pendidik karena lebih disibukkan dengan dengan laporan administratif. Saya tahu, tanpa kita persalahkan, pihak sekolah akan menjadi kambing hitam dari Dinas Pendidikan dan kepala daerah yang--harus saya katakana--selama ini juga tak peduli dengan hal-hal kecil begini.
Saya justru ingin membagi data tentang kasus-kasus bullying yang semakin ke sini semakin mencemaskan. Ingat, Angga Bagus Pratama adalah contoh, dan apa yang menimpa Angga, Sabtu pekan lalu, bisa jadi menimpa siapa pun kapan pun.
Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, selama tahun 2023 terjadi 16.720 kasus bullying terjadi di sekolah. Data yang diramu dari berbagai sumber menyebutkan, kasus bullying ini paling banyak terjadi di level SMP. Yang juga perlu dicatat adalah, kasus yang terjadi pada 2023 ini meningkat tajam dibandingkan pada 2020 yang tercatat “hanya” 119 kasus.
Yang juga perlu menjadi catatan adalah, data tersebut tentu diperoleh lantaran kasusnya mencuat. Saya meyakini, data tersebut ibarat gunung es, dengan banyak yang tidak tercatat lantaran tidak terdeteksi atau korban yang benar-benar merasa determinan memilih untuk diam, jauh lebih banyak dari angka tersebut.
Bullying adalah interaksi sebaya yang tidak sehat, dan saya sangat yakin, salah satu penyebab meningkatnya angka bullying ini adalah polsa asuh yang semakin tidak sehat di hampir semua keluarga di sekitar kita. Sederhana saja, pasca-Covid-19 rasanya kita menjadi lupa bahwa televisi dan gadget merupakan sumber dari penyakit kejiwaan pada anak-anak kita.
Dulu sebelum pandemi Covid, kita peduli betul untuk mengingatkan anak-anak kita untuk tidak berorientasi pada ponsel, namun rasanya kebiasaan itu sekarang sudah menjadi permakluman. Covid-19 memang sudah hilang dan pergi tanpa pesan, namun Covid-19 telah meninggalkan sesuatu dan perubahan nilai yang kita tidak sadar.
Tanpa kita sadar, anak-anak kita lebih banyak berinteraksi dengan gawai, yang tidak mampu memberikan respons naluriah. Gadget yang dipegang anak-anak kita memberikan respons mekanik sehingga anak-anak kita menjadi miskin pengalaman berinteraksi dengan teman sebayanya. Kekeringan dalam interaksi dengan teman sebaya inilah yang mencetak anak-anak kita juga menjadi mekanis.
Kasih sayang dan hubungan interpersonal yang kering patut saya klaim menjadi penyebab maraknya kasus-kasus bullying di sekitar kita. Dan, ironisnya, kita membiarkan itu semua terjadi di sekitar kita.
Terakhir, saya ingin mengatakan bahwa kasus bullying ini sesungguhnya dari terminologi psikologi baik pelaku dan korban semuanya adalah korban. Untuk Angga, korban meninggal dalam kasus di Grobogan kita hanya bisa mendoakan yang bersangkutan bahagia di surga.
Korban bullying yang tidak sampai berakibat fatal, maka perkembangan psikisnya akan berperang dengan dendam yang akan dibawanya sepanjang hidup. Sementara pelaku-pelaku bullying juga harus kita pahami, memiliki dilema dan dinamika tertentu dalam perkembangan dirinya yang juga harus dimaknai tidak sehat dalam terminologi ilmu jiwa.
Pelaku dan korban dalam kasus bullying adalah korban dan sesungguhnya, kita orang tua sedang membiarkan mekanisme ini terjadi setiap saat. Sebab, kita abai dengan pola asuh yang baik dalam keluarga kita. (*)