Samarinda (ANTARA) - Sejumlah lembaga pemerintah, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil berkolaborasi merumuskan strategi untuk meningkatkan keberhasilan program restorasi mangrove di Kalimantan Timur dan Indonesia.

"Menyadari adanya tantangan dan tingkat kegagalan dalam restorasi mangrove, kami berinisiatif mengumpulkan para pihak untuk berbagi pembelajaran secara terbuka, agar ke depan upaya restorasi bisa jauh lebih efektif dan berhasil," ujar Direktur Yayasan Planet Urgensi Indonesia (YPUI) Reonaldus pada Seminar Nasional Mangrove di Samarinda, Rabu.

Inisiatif ini diwujudkan melalui Seminar Nasional bertajuk "Mengapa Berhasil, Mengapa Gagal: Pembelajaran Restorasi Mangrove dari Berbagai Tingkatan" yang digelar di Samarinda, digagas oleh YPUI dan Mangrove Action Project (MAP) dengan menyoroti langkah pembelajaran dari pengalaman masa lalu demi meminimalisasi kegagalan di masa mendatang.

Kolaborasi lintas sektor ini dinilai Reonaldus menjadi relevan mengingat Indonesia memiliki 22 persen dari total mangrove dunia, namun telah kehilangan sekitar 800.000 hektare dalam tiga dekade terakhir.

Perihal itu penting untuk meningkatkan kapasitas para pelaksana program restorasi mangrove. Tujuan utamanya adalah memberikan informasi mengenai konsep dan metode restorasi yang tepat kepada para pemangku kepentingan.

Selain itu, forum ini menjadi ajang untuk berbagi praktik-praktik yang berhasil maupun yang gagal sebagai bahan pembelajaran bersama.

Upaya ini sejalan dengan komitmen serius pemerintah, yang pada tahun 2020 telah membentuk Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).

BRGM memiliki tugas besar untuk memfasilitasi percepatan rehabilitasi mangrove seluas 600.000 hektare di sembilan provinsi prioritas di seluruh Indonesia.

Meski dihadapkan pada kenyataan bahwa banyak program restorasi di tingkat global maupun nasional belum mencapai hasil optimal, seminar ini justru memfokuskan pada pencarian solusi.

Pembahasan mendalam dilakukan untuk mengatasi tiga faktor utama yang sering menjadi penghambat. Faktor tersebut meliputi hambatan sosial-politik, tantangan biofisik di lapangan, serta kendala komunikasi antar pemangku kepentingan.

Pembelajaran dipaparkan mulai dari tingkat tapak oleh Pokja Pesisir, tingkat regional Kalimantan Timur oleh M4CR Kaltim, hingga skala nasional oleh Global Mangrove Alliance (GMA) Chapter Indonesia.

"Wawasan global turut dibagikan oleh Mangrove Action Project (MAP) untuk memberikan perspektif yang lebih luas," demikian Reonaldus.