Polisi Terdakwa Pembunuh Sopir Mobil Rental Divonis 2,5 Tahun Penjara 
M Syofri Kurniawan October 17, 2025 06:30 AM

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Semarang menjatuhkan vonis 2,5 tahun penjara kepada AKP Hariyadi, yang melakukan penganiayaan berujung hilangnya nyawa Darso.

Darso merupakan mobil rental asal Kelurahan Purwosari, Kecamatan Mijen, Kota Semarang. 

Sebelum vonis dijatuhkan, mantan kepala Unit Penegakan Hukum (Kanit Gakkum) Satuan Polisi Lalu Lintas (Satlantas) Polresta Yogyakarta itu tampak tenang.

Dia sesekali membetulkan kopiah hitamnya. 

Selepas vonis dibacakan hakim, Hariyadi masih dengan sikap tenangnya berkonsultasi dengan kuasa hukum.  

Ia menyebut, masih pikir-pikir meskipun putusan hakim lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan jaksa, yakni tiga tahun penjara.

Sesudah hakim mengetok palu sebagai tanda berakhirnya sidang, AKP Hariyadi meninggalkan lokasi ruangan sidang.

Ia sempat menghampiri keluarganya, lalu mengelus-elus kepala anaknya yang duduk di kursi barisan paling depan.

Hakim Ketua, Setyo Yoga Siswantoro menyatakan, terdakwa Hariyadi secara sah dan menyakinkan telah melanggar Pasal 351 ayat 3 KUHP berupa tindakan penganiayaan yang berujung hilangnya nyawa seseorang.

"Terdakwa secara sah dan menyakinkan melakukan penganiayaan yang mengakibatkan mati.  Menjatuhkan hukuman penjara 2 tahun 6 bulan," ucap Yoga saat membacakan amar putusan, Kamis (16/10/2025).

Kasus tersebut berawal dari peristiwa kecelakaan lalu lintas yang dialami Darso dengan seorang pengendara motor di Yogyakarta, pada 12 Juli 2024 silam.

Selepas kecelakaan, Darso sempat meninggalkan identitas KTP kepada korban tersebut.

Selang sekitar tiga bulan kemudian, pada 21 September 2024, Hariyadi bersama lima polisi mendatangi rumah Darso di Mijen, Kota Semarang.

Mereka datang ke Semarang untuk mengusut kasus kecelakaan itu.

Terdakwa dan lima anggotanya membawa Darso menggunakan mobil Avanza hitam.

Interogasi

Mereka lantas menginterogasi terhadap Darso di pinggir jalan sekitar 500 meter dari rumah korban.

Selama interogasi, Darso sempat diancam agar melarikan diri lalu akan ditembak.

Namun, keterangan dari salah satu saksi, ancaman itu hanya bercanda.

Selepas itu, Hariyadi melakukan interogasi yang berujung emosi.

Hariyadi menilai Darso tidak kooperatif sehingga kemudian memukulnya dengan sendal dan tangan kosong.

Ia menamparkan sendal selop kulit warna cokelat ke arah pipi dan muka Darso sebanyak tiga kali.

Tak sampai di situ, penganiayaan berlanjut dengan pukulan tangan kosong sebanyak empat kali yang mengarah ke bagian dada, pipi dan perut.

Pukulan tangan kosong itu menyebabkan Darso ambruk.

Saat itu, Darso memegang dadanya sebelah kiri sembari meminta diambilkan obat  jantung di rumahnya.

Para saksi ini juga sempat melerai agar terdakwa Hariyadi tidak memukul lagi.

Hariyadi beralasan, ketika itu bukan hendak memukul lagi melainkan hanya ingin mengambil sandalnya.

Dirawat

Setelah itu, terdakwa dan kelima anak buahnya membawa Darso ke Rumah Sakit (RS) Permata Medika, Ngaliyan, Semarang. 

Darso dirawat di RS tersebut selama enam hari, mulai 21-26 September.

Selama perawatan di rumah sakit, Darso terindentifikasi mengalami  serangan jantung akut, nyeri pinggang, dan perut.

"Darso keluar dari rumah sakit, pada 26 September 2024. Ia kemudian meninggal dunia, pada 29 September 2024 pukul 07.00," ujar hakim.

Kasus ini dilaporkan ke Polda Jateng, pada 10 Januari  2025.

Selepas ada laporan, polisi melakukan ekshumasi atau penggalian makam korban, pada 13 Januari 2025.

Hasil penggalian menunjukkan, ada luka benda tumpul di bagian kepala dan luka memar pada wajah, perut, dan dada. 

Dari fakta tersebut, dakwaan jaksa menggunakan pasal pertama yakni pasal 354 ayat 2 KUHP berupa penganiayaan berat menurut hakim tidak terpenuhi sehingga menggunakan pasal subsider berupa pasal 351 ayat 3 KUHP atau pasal penganiayaan ringan.  

Hakim juga mempertimbangkan hal yang meringankan bagi terdakwa berupa  belum pernah dihukum dan sudah ada perdamaian dengan keluarga korban.

"Hal yang memberatkan terdakwa karena profesi terdakwa sebagai anggota Polri," ucap hakim.

Sesudah hakim membacakan amar putusan, Hariyadi menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut.

Begitu pun dengan jaksa. Keduanya belum memutuskan menerima atau menolak atas putusan hakim tersebut.

Langkah perdamaian

Kuasa hukum keluarga Darso, Antoni Yudha Timor mengatakan, kliennya menerima putusan apa pun yang diambil oleh hakim.

"Keluarga menghormati putusan hakim dan menerima putusan tersebut sebagai hasil meminta keadilan hukum dari kasus ini," kata Antoni seusai persidangan.

Antoni tidak mempermasalahkan pertimbangan hakim yang meringankan soal adanya perdamaian antara keluarga korban dan terdakwa yang telah dilakukan di kantor hukumnya.

"Saya pertemukan antar dua belah pihak keluarga yang sama-sama saling memaafkan dan menyadari nyawa itu urusan Allah, tapi proses hukum jalan terus," ungkapnya.

Di sisi lain, kuasa hukum Hariyadi, Ahmad Fauzi menyebut, putusan hakim tersebut masih terlalu berat.

Sebab, ada beberapa fakta di persidangan yang sebenarnya bisa meringankan terdakwa tapi dikesampingkan oleh hakim.

Fakta itu, kata dia, berupa ketidaksesuaian keterangan saksi dengan hasil visum.

"Ada ketidaksesuaian keterangan antara saksi mata (lima polisi) dengan hasil visum. Hasil visum menunjukkan ada pukulan di bagian kepala bagian belakang dan parah tulang iga. Padahal, menurut saksi mata, tidak ada perbuatan terdakwa yang melakukan pemukulan ke bagian itu," katanya kepada Tribun.

Kuasa hukum Hariyadi lainnya,  Sunarto menambahkan, fakta-fakta persidangan lainnya yang dinilai meringankan terdakwa berupa korban meninggal dunia berselang beberapa hari dari kejadian tersebut.

"Namun, kami tetap menghormati keputusan hakim. Jadi, selama seminggu ini kami akan pikir-pikir atas putusan tersebut," tandasnya. (Iwan Arifianto)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.