Pendidikan sejati bukanlah proses mencetak gelar, melainkan membentuk manusia yang berpikir jernih, bertindak adil, dan mengabdi untuk sesama

Jakarta (ANTARA) - Bagi sebuah lembaga pendidikan tinggi atau universitas, perjalanan selama 72 tahun bukan sekadar hitungan waktu.

Ada kisah panjang tentang keyakinan, perjuangan, dan cita-cita besar yang lahir dari sebuah kesadaran bahwa kemerdekaan sejati tidak hanya diukur dari bebasnya bangsa dari penjajahan politik, tetapi dari kemampuannya membangun manusia yang merdeka dalam berpikir, beriman, dan berilmu.

Itulah semangat yang mendorong berdirinya Universitas Kristen Indonesia (UKI) pada 1953 atau terpaut hanya delapan tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, di tengah kondisi bangsa yang masih bergulat dengan kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, dan minimnya akses masyarakat terhadap ilmu pengetahuan tinggi.

Para pendiri UKI, Todung Sutan Gunung Mulia, Yap Thiam Hien, dan Benjamin Thomas Philip Sigar memahami bahwa membangun negara tidak bisa hanya dengan kekuatan ekonomi dan politik.

Mereka percaya bahwa fondasi peradaban harus diletakkan di ruang kelas, di ruang dialog intelektual, dan di hati generasi muda yang dipenuhi nilai.

Dari sinilah perguruan tinggi ini lahir, bukan sekadar sebagai lembaga pendidikan tinggi semata, tetapi sebagai rumah gagasan, tempat ilmu bertemu dengan moralitas, dan pengetahuan berpadu dengan pengabdian.

Sejarah ini penting untuk diingat, sebab pendidikan sering kali direduksi menjadi sekadar alat untuk mencari pekerjaan atau mendapatkan gelar.

Padahal, sejak awal, pendidikan didirikan sebagai sarana untuk memerdekakan manusia. Universitas ini berdiri dengan kesadaran akan peran untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bukan hanya dengan kurikulum dan laboratorium, tetapi dengan nilai-nilai yang menuntun arah hidup.

Nilai rendah hati, kepedulian, disiplin, tanggung jawab, profesionalisme, dan integritas bukan sekadar semboyan, melainkan warisan filosofis yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Revolusi digital
Tujuh dekade lebih kemudian, dunia telah berubah secara radikal. Revolusi digital, kecerdasan buatan, dan transformasi sosial-ekonomi mengubah wajah kehidupan, cara bekerja, berinteraksi, bahkan berpikir.

Namun, misi UKI tetap sama untuk mendidik manusia agar tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga bijak dalam menggunakan ilmunya. Di tengah gempuran disrupsi, universitas harus menjadi jangkar nilai.

Dunia tidak kekurangan orang pintar, tetapi sangat kekurangan mereka yang menggunakan kepintarannya untuk mengatasi ketimpangan, memecahkan masalah kemanusiaan, dan membangun jembatan perdamaian.

Pendidikan harus menjadi tempat di mana nalar kritis bertemu dengan nurani, dan ilmu pengetahuan berpadu dengan tanggung jawab sosial.

Di era yang menuntut perubahan cepat ini, kolaborasi menjadi kunci. Tidak ada institusi yang dapat berjalan sendiri. Pendidikan harus mampu membangun jejaring kerja sama lintas sektor, lintas disiplin, dan lintas batas.

Kompleksitas masalah seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, dan transformasi digital hanya bisa dihadapi melalui kerja kolektif.

Karena itu, kampus tidak boleh berhenti pada ruang kelas tapi harus menjadi ruang perjumpaan ide dan kolaborasi nyata yang melatih mahasiswa bekerja sama, menghargai perbedaan, dan membangun solusi dari keragaman perspektif.

Selama tujuh puluh dua tahun perjalanannya, UKI telah berupaya menjaga relevansi dan terus beradaptasi dengan dinamika zaman.

Pencapaian akreditasi Unggul dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi pada 2022 bukan sekadar pengakuan administratif, tetapi bukti bahwa komitmen terhadap mutu pendidikan tetap menjadi prioritas.

Begitu pula berbagai prestasi yang diraih, seperti Rekor Dunia dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) pada 2023 atas penyelenggaraan orasi ilmiah selama 30 jam tanpa henti oleh 70 pakar, atau kemenangan mahasiswa dalam ajang National University Debating Championship (NUDC) 2024.

Semua pencapaian itu lahir dari kerja keras, kreativitas, semangat pantang menyerah, dan kolaborasi seluruh sivitas akademika.

Namun, makna dari prestasi tersebut jauh melampaui sekadar penghargaan. Ini juga menunjukkan bagaimana pendidikan dapat menjadi kekuatan transformasional.

Ketika mahasiswa berdebat di panggung nasional, mereka tidak hanya berlomba adu argumentasi, tetapi juga belajar tentang etika berpikir, menghormati perbedaan, dan membangun kepercayaan diri.

Ketika dosen dan peneliti berdiskusi tanpa henti dalam forum ilmiah, yang dibangun bukan hanya pengetahuan baru, tetapi juga budaya intelektual yang terbuka dan kolaboratif.

Dan ketika universitas berkontribusi pada masyarakat melalui pengabdian, yang dihasilkan bukan hanya solusi jangka pendek, tetapi kesadaran kolektif akan pentingnya keilmuan yang berpihak kepada rakyat.

Menghormati sejarah

Kisah perjalanan ini juga mengajarkan pentingnya menghormati sejarah. Ziarah ke Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata untuk mengenang para pendiri dan pemimpin terdahulu bukan sekadar upacara simbolik, tetapi refleksi tentang bagaimana masa lalu membentuk arah masa depan.

Pendidikan harus menjadi penjaga nilai kemanusiaan di tengah kemajuan teknologi yang netral secara etis, dan universitas harus tetap menjadi benteng moral yang memandu ilmu agar selalu berpihak pada kehidupan.

Inilah alasan mengapa masyarakat perlu memahami sejarah dan perjalanan sebuah lembaga pendidikan.

Sebab, kisah ini bukan hanya milik sebuah institusi, melainkan bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia dalam membangun dirinya melalui pendidikan.

Ini juga bisa menjadi cermin tentang bagaimana lembaga pendidikan dapat berperan sebagai motor kemajuan peradaban, bukan sekadar pabrik ijazah.

Nilai yang ditanamkan dalam 72 tahun lalu tetap menjadi bekal yang relevan dalam menghadapi tantangan abad ke-21.

Pendidikan sejati bukanlah proses mencetak gelar, melainkan membentuk manusia yang berpikir jernih, bertindak adil, dan mengabdi untuk sesama.

Dies Natalis ke-72 juga bukan hanya tentang perayaan masa lalu, melainkan penegasan tentang arah masa depan. Pendidikan adalah proses yang tak pernah selesai.

Pendidikan terus berevolusi, beradaptasi, dan berubah bentuk, tetapi tidak boleh kehilangan jiwanya.

Selama universitas tetap setia pada nilai-nilai yang melandasi kelahirannya, selama ia berdiri teguh sebagai penjaga nalar dan nurani bangsa, maka pendidikan akan selalu menjadi jalan menuju masa depan yang lebih adil, beradab, dan manusiawi bagi semua.


*) Penulis adalah Rektor Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta.