Gunung Api Iran 'Bangkit' Lagi Setelah Tidur 700 Ribu Tahun
GH News October 19, 2025 04:09 PM
Jakarta -

Sebuah gunung berapi di Iran selatan yang diperkirakan telah punah sekitar 710 ribu tahun telah muncul kembali.

Penelitian baru yang diterbitkan pada 7 Oktober di jurnal Geophysical Research Letters menemukan bahwa area tanah di dekat puncak gunung berapi Taftan naik 9cm selama 10 bulan antara Juli 2023 hingga Mei 2024. Pengangkatan tersebut belum surut, menunjukkan adanya peningkatan tekanan gas di bawah permukaan gunung berapi.

Temuan ini menunjukkan perlunya pemantauan lebih ketat terhadap gunung berapi tersebut, yang sebelumnya tidak dianggap berisiko bagi manusia, kata penulis senior studi Pablo González, seorang ahli vulkanologi di Institute of Natural Products and Agrobiology, pusat penelitian Spanish National Research Council (IPNA-CSIC).

Gunung berapi dianggap punah jika belum meletus pada era Holokon, yang dimulai 11.700 tahun yang lalu. Mengingat aktivitasnya baru-baru ini, kata González, Taftan mungkin lebih tepat disebut sebagai gunung berapi dorman.

"Entah bagaimana ia harus meletus di masa mendatang, entah dengan dahsyat atau lebih pelan. Tidak ada alasan untuk khawatir akan letusan yang akan segera terjadi. Tetapi gunung berapi tersebut perlu dipantau lebih ketat," ujar González seperti dikutip dari Live Science.

Gunung berapi Taftan adalah gunung berapi stratovolkano setinggi 3.940 meter di tenggara Iran, terletak di antara pegunungan dan gunung berapi yang terbentuk oleh subduksi kerak samudra Arab di bawah benua Eurasia.

Saat ini, gunung berapi ini memiliki sistem hidrotermal aktif dan lubang-lubang penghasil sulfur berbau yang disebut fumarol, tetapi belum diketahui apakah gunung berapi ini pernah meletus dalam sejarah manusia.

Ketika Mohammadhossein Mohammadnia, seorang mahasiswa doktoral yang bekerja di bawah bimbingan González di IPNA-CSIC, pertama kali memeriksa citra satelit gunung berapi tersebut pada 2020, ia tidak melihat bukti adanya aktivitas gunung berapi tersebut.

Namun kemudian, pada 2023, orang-orang mulai melaporkan emisi gas dari gunung berapi tersebut di media sosial. Emisi tersebut dapat tercium dari kota Khash yang berjarak sekitar 50 kilometer.

Mohammadnia kembali mengamati citra satelit dari misi Sentinel-1 milik Badan Antariksa Eropa, ESA. Taftan terpencil dan tidak memiliki sistem pemantauan GPS seperti yang terdapat di gunung berapi seperti Gunung St. Helen. Wilayah ini juga berbahaya karena aktivitas kelompok pemberontak dan konflik perbatasan antara Iran dan Pakistan. Citra satelit menunjukkan sedikit peningkatan permukaan tanah di dekat puncak, yang menunjukkan peningkatan tekanan di bawah.

Mohammadnia menghitung bahwa pendorong pengangkatan ini berada 490 hingga 630 meter di bawah permukaan. Mustahil untuk mengetahui secara pasti apa yang terjadi, tetapi para peneliti mengesampingkan faktor eksternal seperti gempa bumi atau curah hujan di dekatnya.

Reservoir magma gunung berapi ini berada lebih dari 3,5 km di bawah permukaan, jauh lebih dalam daripada apa pun yang mendorong pengangkatan tersebut.

Sebaliknya, pengangkatan tersebut disebabkan oleh perubahan pada jaringan hidrotermal di bawah gunung berapi yang menyebabkan penumpukan gas, atau sejumlah kecil magma mungkin telah bergeser di bawah gunung berapi, yang memungkinkan gas untuk menggelembung ke dalam bebatuan di atas, meningkatkan tekanan dalam pori-pori dan retakan batuan, dan menyebabkan tanah sedikit terangkat.

Tahap selanjutnya dalam penelitian ini, menurut González, adalah berkolaborasi dengan ilmuwan yang melakukan pemantauan gas di gunung berapi. "Studi ini tidak bertujuan untuk menimbulkan kepanikan di masyarakat. Studi ini merupakan seruan bagi pihak berwenang di kawasan Iran untuk mengalokasikan sejumlah sumber daya guna meninjau hal ini," tutupnya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.