Pameran Tunggal 'Tapak Merdeka': Jejak Perlawanan Kembang Sepatu
Glery Lazuardi October 19, 2025 07:33 PM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA  - Maka hanya ada satu kata: lawan!

Kredo dari penyair Widji Thukul (1963-1998) dalam puisinya, “Peringatan” (1996), itu sepertinya juga menjadi kredo bagi Setyo Purnomo, pelukis dengan nama kanvas Kembang Sepatu yang pada 17-26 Oktober 2025 menggelar pameran tunggal di Amuya Galery, Kemayoran, Jakarta Pusat, bertajuk “Tapak Merdeka”.

Pameran digelar dalam rangka memperingati Hari Kebudayaan Nasional pada 17 Oktober 2025.

Dan juga pameran dalam rangka Hari Kreatif Nasional 24 Oktober 2025 yang bertepatan dengan hari ulang tahun ke-53 pelukis kelahiran Pemalang, Jawa Tengah, ini. 

Dalam kuratorialnya, Dimas Aji Saka menyatakan ada sesuatu yang sangat manusiawi dalam cara Kembang Sepatu, yang juga Ketua Umum Asosiasi Pelukis Nusantara (ASPEN), memandang dunia.

 Sederhana, tapi tidak pernah dangkal. Ia mengajak kita menunduk, menatap ke bawah, ke arah sesuatu yang sering terabaikan: sandal jepit!

Dari benda remeh itu, ia merangkai kisah besar tentang perjalanan, keteguhan, dan kebebasan. 

Dalam setiap karya, sandal jepit menjelma menjadi simbol perjalanan hidup yang tidak selalu mulus.

 Retak-retak pada solnya seperti peta kehidupan. Menandai persimpangan antara harapan dan kenyataan, antara individu dan masyarakat, antara tubuh dan tanah yang dipijaknya.

Kembang Sepatu, kata Dimas Aji Saka, mengubah keseharian menjadi renungan. Ia menafsirkan kembali makna “merdeka” bukan sebagai kebesaran slogan, melainkan sebagai keberanian untuk terus melangkah, meski pelan, meski sepi, meski terluka.

 Melalui karya-karyanya, Kembang Sepatu mencoba melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan yang terutama dilakukan oleh pemerintah.

“Tapak Merdeka”, lanjut Dimas Aji Saka, adalah pameran yang berbicara dengan bahasa tubuh, dengan jejak, langkah, dan sisa-sisa perjalanan yang menjadi cermin bagi perjalanan bangsa. Karya-karya yang ia bukan hanya tentang dirinya, tapi juga tentang kita, tentang Indonesia yang selalu berproses, yang terus mencari keseimbangan antara mimpi dan realitas.

“Di tangan Kembang Sepatu, sandal jepit menjadi puisi visual tentang kebebasan yang bersahaja. Ia mengingatkan bahwa kemerdekaan sejati bukan tentang sampai di tujuan, tapi tentang keberanian untuk terus melangkah, setapak demi setapak,” jelas Sang Kurator.

Sandal Jepit: Simbol Kesederhanaan dan Perlawanan

Bagi Kembang Sepatu, sandal jepit adalah representasi paling jujur dari masyarakat Indonesia. 

Yakni tangguh, fleksibel, dan terbiasa berjalan menapaki kerasnya realitas. Ia adalah simbol rakyat kecil: sederhana, kadang diremehkan, tapi justru paling dekat dengan tanah, dengan bumi, dengan kenyataan.

Melalui bentuk-bentuk visual yang memadukan objek nyata, lukisan, instalasi, dan teks, Kembang Sepatu menghidupkan sandal jepit sebagai metafora eksistensial. Ia berbicara tentang perjalanan hidup yang tak selalu mulus, tentang luka yang ditinggalkan oleh langkah panjang, dan tentang keteguhan untuk tetap melangkah betapa pun keras dan terjal jalan yang ditempuh.

Jejak Personal, Cermin Sosial

Setiap karya dalam “Tapak Merdeka” bersumber dari pengalaman personal sang seniman: pengalaman tentang keberanian, kehilangan, pencarian, cinta dan pertemuan dengan situasi sosial yang sering kali timpang. Namun di balik kisah pribadi itu, kita menemukan refleksi yang lebih luas - tentang politik tubuh, relasi gender, pergeseran budaya, dan cara masyarakat memaknai “kemerdekaan”.

Kembang Sepatu menggunakan bahasa visual yang intuitif dan simbolik: sandal jepit yang terbalik, putus, koyak, atau berjejer di ruang sunyi - semua menjadi penanda tentang dinamika masyarakat yang terus bergerak antara harapan dan kenyataan.

Dalam perjalanan itu, “Tapak Merdeka” menjadi ruang renung bahwa kemerdekaan bukan hanya milik bangsa, tapi juga milik setiap individu yang berani melangkah dengan pijakan sendiri.

Kemerdekaan yang Sederhana dan Nyata

Melalui pameran ini, Kembang Sepatu tidak mengagungkan gagasan kemerdekaan yang megah dan retoris. Ia justru menghadirkannya dalam bentuk yang paling dekat dan konkret — sepasang sandal jepit yang menapak jalan berlumpur, menyentuh tanah, menyerap panas, dan menanggung beban langkah.

Kemerdekaan, bagi sang seniman, adalah keberanian untuk terus berjalan meski alasnya tipis; untuk tetap menapak meski jalan kadang penuh batu; untuk merawat diri dan tetap manusiawi di tengah sistem yang kerap melukai.

Tapak yang Tak Pernah Selesai

“Tapak Merdeka” adalah catatan visual tentang perjalanan. Sebuah napak tilas antara ruang batin dan ruang sosial. Melalui metafora sandal jepit, Kembang Sepatu menegaskan bahwa kemerdekaan tidak pernah selesai. Merdeka berarti terus bergerak, berganti bentuk, dan meninggalkan jejak di setiap langkah kehidupan manusia Indonesia.

Dan dari setiap tapak itulah, seni lahir bukan untuk menandai akhir, tetapi untuk mengingatkan bahwa kita masih terus berjalan.

Sarnadi Adam, Maestro Pelukis Betawi yang juga Dewan Pakar ASPEN menilai, pameran tunggal Kembang Sepatu bertajuk “Tapak Merdeka” itu menjadi ruang bagi penonton untuk menyelami dunia yang mungkin sering terabaikan. “Dengan Bahasa rupa yang lugas namun penuh simbol, Kembang Sepatu mengajak kita untuk masuk ke lorong-lorong realitas, di mana kehidupan masyarakat bawah berkelindan dengan hukum dan kekuasaan elite,” katanya.

Lebih dari sekadar pameran, kata Sarnadi Adam, ini adalah ajakan untuk melihat, mendengar dan merasakan denyut nadi bangsa dari sudut pandang yang jarang mendapat sorotan cahaya.

Pembukaan Pameran

Pameran tunggal Kembang Sepatu bertajuk “Tapak Merdeka” ini dibuka oleh Dr Dadam Mahdas SSos MHum, Direktur Seni Rupa dan Pertunjukan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pada Ahad (19/10/2025) ini diadakan “workshop” seni lukis yang terbuka untuk umum, khususnya pelajar SMP dan SMA.

Yang unik dari pembukaan pameran tersebut adalah Kembang Sepatu melibatkan dua anak perempuannya. Anak pertamanya, Etsa Maesenas Purnomo didapuk sebagai master of ceremony (MC) atau pembawa acara, yang lancar menggunakan dwibahasa, yakni Indonesia dan Inggris. Anak keduanya, Indi Moza Purnomo, menampilkan talentanya dengan membawakan tarian Betawi. Sementara anak bungsunya, Prabu Nusa Purnomo, dan sang istri tercinta, Erma S Purnomo, cukup menjadi supporter saja.

Acara pembukaan juga dihadiri oleh seniman-seniman yang tergabung dalam ASPEN, dan juga Kepala Sekolah SMPK 1 Penabur Jakarta Pusat, tempat Kembang Sepatu menjadi tenaga pengajar, Ruth Malahayati.

Dengan menjadi guru seni rupa, pelukis dengan ciri khas topi pet kotak-kotak ini berada di dua dunia yang mesti dipahami. Sekolah yang penuh aturan, dan seniman yang tidak terlalu terikat dengan aturan, bahkan kerap dianggap "manusia bebas"

Sebagai guru, Kembang Sepatu sangat aktif berkarya dan terus menginspirasi siswa-siswinya, bukan hanya dengan teori-teori seni rupa yang mengawang, tapi ia lebih banyak memberi contoh dan kesempatan mengenal seni rupa dari pengalamannya berinteraksi dengan seniman-seniman Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia.

Pembelajaran di kelas, terutama di kelas seni rupa, katanya, adalah sebuah proses berlatih. “Semakin sering membuat coretan, goresan pena atau cat akan semakin memberi pengalaman siswa untuk mematangkan diri dan membuat goresan lebih luwes dan harmoni,” kata Kembang Sepatu.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.