SURYA.CO.ID, JOMBANG - Di tengah menguatnya dampak krisis iklim dan ketimpangan ekonomi global, suara perempuan kembali menggaung lewat forum diskusi bertema Ekofeminisme yang diinisiasi oleh Forum Gusdurian Jombang, Minggu (19/10/2025).
Bertempat di Nest Coffee, Kelurahan Kaliwungu, Kabupaten Jombang, forum ini mengajak publik untuk meninjau ulang posisi perempuan sebagai penggerak perubahan sosial dan ekologis.
Hadir sebagai narasumber utama, aktivis sekaligus akademisi dari Solo, Dewi Candraningrum atau yang akrab disapa Mbok Dewi.
Dalam forum tersebut, ia mengajak peserta untuk memandang relasi antara alam, perempuan, dan ekonomi secara lebih kritis.
Ia menyebut bahwa selama berabad-abad, kerja-kerja perempuan dan alam telah dimarginalkan oleh sistem ekonomi kapitalistik.
“Kerja perempuan dan kerja alam dianggap tidak punya nilai ekonomi. Padahal tanpa keduanya, peradaban tidak akan bisa bertahan. Air bersih, udara segar, hingga perawatan anak dan keluarga semuanya adalah hasil kerja yang tidak pernah dihitung,” ucap Mbok Dewi dalam pemaparannya.
Menurutnya, hanya sebagian kecil negara yang mulai mengakui pentingnya care work atau pekerjaan perawatan, yang sebagian besar dilakukan perempuan.
Negara-negara di kawasan Skandinavia seperti Norwegia, Swedia dan Denmark, disebutnya sebagai contoh awal pengakuan terhadap nilai ekonomi dari kerja domestik yang selama ini diabaikan.
Lebih jauh, Mbok Dewi menyoroti model pembangunan nasional yang masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata tanpa memikirkan keseimbangan ekologis.
“Industri ekstraktif seperti tambang dan perkebunan sawit telah merampas ruang hidup masyarakat lokal, terutama perempuan dan kelompok adat,” jelasnya.
Ia menambahkan, dampak krisis iklim kini semakin dirasakan oleh kelompok paling rentan. Bencana alam, perubahan pola cuaca, hingga meningkatnya kasus kekerasan berbasis gender menjadi bukti nyata bahwa perempuan kerap berada di garis depan penderitaan akibat rusaknya lingkungan.
Meski begitu, Mbok Dewi menolak pandangan bahwa perempuan hanya sebatas korban. Ia justru menegaskan peran strategis perempuan sebagai pemimpin dan pengambil keputusan dalam gerakan penyelamatan lingkungan.
“Sudah saatnya kita menanamkan etika ekologis dan memberi ruang bagi perempuan untuk menentukan arah kebijakan pembangunan,” ujarnya.
Koordinator Forum Gusdurian Jombang, Ema Rahmawati, mengungkapkan bahwa kegiatan ini menjadi bagian dari upaya memperkuat kesadaran kolektif lintas generasi. Baginya, perjuangan lingkungan dan kesetaraan gender adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
“Diskusi seperti ini penting agar gerakan keadilan sosial dan ekologi bisa berjalan beriringan. Kami berharap Forum Gusdurian tetap menjadi ruang belajar dan kolaborasi yang terbuka bagi siapa pun,” ungkap Neng Ema.
Forum yang berlangsung hangat dan reflektif itu diakhiri dengan ajakan bersama untuk menghidupkan kembali nilai-nilai keberlanjutan dan solidaritas sosial dalam kehidupan sehari-hari.
"Dimulai dari hal sederhana, yakni menghargai kerja perawatan, melindungi lingkungan, dan memperkuat suara perempuan di ruang publik," pungkas Neng Ema. *****