Ringkasan Berita:
- Dahlan Dahi sebut wartawan harus akreditasi, bukan sekadar punya kartu
- Hanya 10 ribu dari 120 ribu wartawan yang terverifikasi
- Media harus berbadan hukum dan gaji karyawan minimal 13 kali
TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH — Di tengah sorotan publik terhadap maraknya informasi tidak sehat dan menjamurnya media tanpa standar, Dewan Pers Indonesia kembali menegaskan pentingnya profesionalisme jurnalis dan perusahaan pers.
Seruan ini disampaikan Ketua Komisi Digital Dewan Pers, Dahlan Dahi, dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Serikat Perusahaan Pers (SPS) di Anjong Mon Mata, Komplek Meuligoe Gubernur Aceh, Banda Aceh, Selasa (21/10/2025).
“Menurut saya, pers, wartawan dan perusahaan pers harus memperbaiki dirinya sendiri. Supaya dia secara moral bisa meminta bantuan publik untuk memaksimalkan fungsinya, menjalankan misi untuk publik, untuk bangsa dan negara,” ujar Dahlan.
Ia menekankan dua hal utama: jurnalis harus memiliki sertifikasi, dan perusahaan media wajib terakreditasi di Dewan Pers.
Menurutnya, informasi yang dikonsumsi publik harus sehat dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Makan terlalu banyak belum tentu sehat, demikian pula mengkonsumsi informasi terlalu banyak juga belum tentu sehat. Apalagi mengkonsumsi informasi yang tidak sehat,” jelasnya.
“Kita wartawan ada di area memproduksi informasi. Kita harus berkontribusi memberikan informasi yang sehat, dan di area ini wartawan mesti terakreditasi,” lanjutnya.
Dahlan mengungkapkan bahwa saat ini terdapat sekitar 120 ribu wartawan di Indonesia, namun hanya sekitar 10 ribu yang telah terakreditasi.
Ia menilai ketimpangan ini sebagai tantangan serius yang harus segera ditangani agar profesi wartawan tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Ia menekankan bahwa wartawan yang memiliki kartu pers harus benar-benar menjalankan profesi secara etis dan profesional, bukan digunakan sebagai alat untuk memeras atau mengancam pihak tertentu.
Berdasarkan pengalamannya lebih dari 30 tahun di Kompas Gramedia, Dahlan menyebut profesi jurnalis sebagai pekerjaan terhormat. Namun, ia prihatin karena banyak yang menyalahgunakan identitas wartawan untuk kepentingan yang tidak terhormat.
“Saya bisa mengerti sekarang mengapa pekerjaan ini menjadi begitu tidak terhormat, karena banyak yang memakai nama ini untuk pekerjaan yang tidak terhormat,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti maraknya media yang berdiri tanpa memenuhi standar perusahaan pers.
Menurutnya, media yang layak disebut perusahaan pers harus berbadan hukum, terverifikasi Dewan Pers, dan memiliki minimal lima karyawan agar mampu memisahkan antara kepentingan bisnis dan fungsi jurnalistik.
“Saya harus menyampaikan ini walaupun di depan SPS, karena saya tahu SPS juga belum tentu memenuhi standar ini. Tapi ini sesuatu hal yang pahit yang harus kita katakan,” ujarnya.
Dahlan menambahkan bahwa perusahaan pers seharusnya mampu menggaji karyawan minimal 13 kali dalam setahun. Hal ini penting agar wartawan tidak lagi meminta Tunjangan Hari Raya (THR) kepada lembaga-lembaga lain.
“Pers tidak boleh pergi minta THR ke lembaga lain, karena dia perusahaan. Sekarang kalau wartawan itu tidak dikasih THR oleh perusahaannya, pastikan bahwa perusahaannya nggak benar,” tegasnya.
Menutup sambutannya, Dahlan menegaskan bahwa pers memiliki peran vital dalam membentuk opini publik, yang pada akhirnya membentuk demokrasi.
Ia menyebut demokrasi sebagai sistem yang diciptakan, bukan sesuatu yang lahir secara alami, dan pers turut berperan dalam proses penciptaannya.
“Kalau peran pers membentuk pendapat umum ini terganggu, maka yang juga akan terganggu adalah demokrasi. Demokrasi itu adalah invention, demokrasi itu kita ciptakan. Dia tidak lahir bersama dengan lahirnya umat manusia. Pers ikut menciptakan demokrasi, dan demokrasi menurut saya juga ada value. Kita anggap sebagai sistem pemerintahan yang baik, dan karena itu pers juga ikut mendorong bagaimana negara ini dikelola secara demokrasi,” jelasnya.
Seruan ini menjadi pengingat bahwa kepercayaan publik terhadap pers tidak dibangun dari retorika, melainkan dari integritas, akreditasi, dan standar kerja yang konsisten.