Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI Komisaris Jenderal Polisi Suyudi Ario Seto menegaskan bahwa perang terhadap narkoba harus berpihak pada kemanusiaan.
Hal itu karena penanggulangan narkoba bukan sekadar menggerebek atau memenjarakan, melainkan sebuah permasalahan kemanusiaan yang mendesak penanganan holistik.
"Pengguna narkoba, yang sejatinya adalah korban, harus disembuhkan melalui rehabilitasi, bukan hanya dikirim ke penjara," ujar Suyudi dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu.
Maka dari itu, ia menekankan misi BNN tidak hanya memburu bandar ataupun penyalahguna, tetapi juga memulihkan manusia yang terseret dalam lingkaran narkoba.
Jika diimplementasikan secara serius, menurut Kepala BNN, pendekatan tersebut berpotensi memperkuat ketahanan masyarakat dan mengurangi beban sosial jangka panjang akibat narkoba.
Sebagai bagian dari visi besarnya, BNN akan memperkuat program berbasis komunitas dan melakukan penguatan upaya pencegahan melalui edukasi dan pendekatan preventif.
Menurut Suyudi, memperlemah rantai suplai saja tidak cukup jika permintaan di masyarakat tetap tinggi sehingga perlu mengurangi permintaan narkoba agar rantai suplai makin melemah.
"Pendekatan preemptif dan edukatif terus kita perkuat,” katanya.
Suyudi menyatakan strategi itu sejalan dengan gagasan besar Presiden Prabowo Subianto yang mencanangkan Astacita, khususnya poin ketujuh yang menempatkan pemberantasan peredaran narkoba sebagai bagian dari reformasi hukum dan ketahanan bangsa.
Namun demikian, Suyudi tidak menampik bahwa mentransformasikan paradigma penanggulangan narkoba agar fokus pada aspek kemanusiaan menjadi langkah yang tidak mudah.
Di satu sisi, BNN menghadapi pengedar dan jaringan lintas negara yang semakin adaptif, tetapi di sisi lain masyarakat pengguna sering masih dipandang sebagai pelaku kriminal biasa dan mendapatkan stigma yang menghambat akses pemulihan.
Dengan pendekatan yang ditekankan oleh Suyudi, BNN berharap memperkecil celah stigma dan memperbesar ruang rehabilitasi.
Misalnya, memperkuat program komunitas sebagai basis pencegahan sehingga intervensi tidak hanya terjadi setelah "rusaknya" seseorang, tapi mulai dari akar, yakni edukasi, penguatan lingkungan sosial, dan sinergi antarlembaga.
Ia menuturkan pendekatan kemanusiaan pun memiliki implikasi kebijakan yang signifikan, yakni penekanan pada rehabilitasi, yang artinya perluasan fasilitas dan anggaran untuk pemulihan pengguna narkoba, bukan hanya kapasitas penegakan hukum.
Selain itu, lanjut Suyudi, diperlukan pula edukasi publik yang masif dan terarah agar masyarakat memahami bahwa penyalahgunaan narkoba adalah isu kesehatan dan sosial, bukan semata kejahatan.
Oleh karenanya, dia berharap kerja sama lintas sektor, mulai dari pemerintah daerah hingga masyarakat sipil, perlu dilakukan untuk menjangkau akar permasalahan seperti kemiskinan, pengangguran, dan trauma sosial yang sering menjadi pemicu risiko narkoba.
"Evaluasi ulang pendekatan hukuman semata dan mempertimbangkan opsi alternatif seperti program diversifikasi, yang lebih menekankan pemulihan," ujar Suyudi.
Meskipun penegasan "isu kemanusiaan, bukan sekadar kriminalitas" membawa angin segar, dia berpendapat keberhasilan langkah itu bergantung pada implementasi yang konsisten dan alokasi sumber daya yang memadai.
Disebutkan bahwa tanpa dukungan infrastruktur, seperti jumlah pusat rehabilitasi yang memadai, tenaga profesional yang terlatih, serta jaminan bahwa hak-hak pengguna akan dihormati, maka pendekatan tersebut bisa sekadar jargon.
Di sisi lain, ia mengingatkan mengubah persepsi masyarakat juga merupakan pekerjaan berat lantaran stigma terhadap pengguna narkoba masih kuat di banyak lapisan masyarakat Indonesia.
"Tanpa perubahan persepsi tersebut, maka pengguna akan tetap takut dibuka sebagai korban yang butuh bantuan dan malah memilih untuk bersembunyi atau kembali ke lingkungan yang sama," ujarnya.







