Rejection Sensitivity, Ketika Kita Mudah Tersinggung karena Penolakan
kumparanWOMAN October 23, 2025 11:00 AM
Ladies, pernah nggak sih kamu langsung kepikiran semalaman hanya karena pesan WhatsApp kamu dibaca tapi nggak dibalas? Atau kamu jadi overthinking saat temanmu terlihat kurang antusias mendengar cerita kamu?
Kalau iya, bisa jadi kamu bukan hanya baper, mungkin kamu sedang mengalami rejection sensitivity, kondisi psikologis di mana seseorang sangat peka terhadap penolakan, bahkan ketika penolakannya belum tentu nyata.
Menurut para ahli, orang yang memiliki rejection sensitivity cenderung menafsirkan isyarat kecil, seperti nada bicara yang datar, respons lambat, atau kritik ringan, sebagai bentuk penolakan besar. Alih-alih mempertimbangkan kemungkinan lain, otak langsung membuat kesimpulan sendiri.
Perbesar
Rejection Sensitivity, Ketika Kita Mudah Tersinggung karena Penolakan. Foto: Shutterstock
Hal yang lebih rumit, respons ini bukan hanya soal perasaan, tapi juga terjadi secara biologis. Studi pencitraan otak menemukan bahwa orang dengan sensitivitas penolakan tinggi mengalami reaksi layaknya rasa sakit fisik ketika merasa ditolak.
Psikolog klinis asal Inggris Dr. Guy Winch menjelaskan, “Penolakan tidak hanya melukai perasaan kita, tapi juga merusak harga diri kita, otak memprosesnya seperti luka fisik.”
Itu sebabnya, orang yang sensitif terhadap penolakan bisa sangat tersentuh hanya karena kritik ringan atau respons yang tidak sesuai ekspektasi. Dalam relasi, mereka bisa jadi terlalu waspada, terlalu menuntut kepastian, atau justru menarik diri lebih dulu agar tidak “disakiti.” Ironisnya, sikap inilah yang justru mendorong orang lain menjauh dan menciptakan self-fulfilling prophecy, sesuatu yang awalnya hanya kekhawatiran, berubah jadi kenyataan.
Perbesar
Rejection Sensitivity, Ketika Kita Mudah Tersinggung karena Penolakan. Foto: Nuchylee/Shutterstock
Walaupun belum menjadi diagnosis resmi, sebagian psikolog menyebut bentuk ekstremnya sebagai Rejection Sensitive Dysphoria (RSD), kondisi yang banyak ditemukan pada individu dengan ADHD atau masalah regulasi emosi. Gejalanya bisa berupa rasa malu atau gagal secara ekstrem saat merasa dikritik, hingga munculnya rasa panik atau ledakan emosi.
Tapi kabar baiknya, kondisi ini bisa dikelola. Dengan terapi, mindfulness, atau sekadar menyadari bahwa pikiran kita kadang lebay, kita bisa belajar membedakan mana kritik yang konstruktif, dan mana hanya asumsi berlebihan.
Jadi, kalau kamu merasa “mudah tersinggung”, jangan buru-buru menyalahkan diri sendiri. Mungkin kamu hanya butuh belajar membaca ulang situasi dengan kacamata yang lebih tenang.
Bukan setiap keterlambatan balasan chat artinya kamu tidak penting. Bukan setiap kritik berarti kamu gagal. Kadang, dunia bukan sedang menolakmu, otakmu saja yang terlalu siap membaca penolakan.