BRIN Sarankan Masker Katun untuk Kurangi Risiko Mikroplastik
kumparanNEWS October 24, 2025 04:00 PM
Lonjakan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di DKI Jakarta membuat masyarakat diimbau kembali melindungi diri dari polusi udara. Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI hingga Oktober 2025, total kasus ISPA mencapai 1,9 juta kasus, dengan peningkatan sejak Juli lalu.
Di tengah kondisi udara yang memburuk, Profesor Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhammad Reza Cordova, menyarankan masyarakat menggunakan masker kain berbahan katun untuk melindungi diri dari polusi udara dan paparan mikroplastik.
Menurutnya, masker medis memang menjadi pilihan paling efektif dalam menyaring udara kotor. Namun bahan dasarnya yang terbuat dari plastik seperti polipropilena, berpotensi melepaskan mikroplastik jika digunakan melebihi masa pakainya.
“Sebenarnya kalau misalnya memang yang namanya lagi sakit, atau misalnya udaranya sedang tidak sehat, lebih baik memang kita pakai masker,” kata Reza usai media briefing di Balai Kota, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (24/10).
“Masker medis merupakan opsi terbaik. Tetapi kita harus ingat, masker medis itu sendiri dari polipropil yang ada di plastik, ada umurnya,” lanjut dia.
Perbesar
Ilustrasi Orang Pakai Masker. Foto: Reuters/Soe Zeya Tun
Ia menegaskan penggunaan masker medis yang sudah melewati batas umur dapat meningkatkan risiko masuknya mikroplastik ke tubuh manusia.
Karena itu, masker kain berbahan katun bisa menjadi alternatif yang lebih aman untuk pemakaian sehari-hari.
“Kalau kita melewati batas umur penggunaannya, justru malah lebih memungkinkan masuk mikroplastik itu ke dalam tubuh kita. Paling tidak, minimal, kita pakai masker kain yang katun,” ujarnya.
Meski efektivitas masker kain tidak sebaik masker medis dalam menyaring partikel kecil, Reza menilai pilihan itu tetap bermanfaat terutama untuk masyarakat yang sering beraktivitas di luar ruangan.
“Kalau kita batuk memang tidak bisa mengurangi, tidak sebagus efektivitasnya masker medis. Tapi nanti saya yakin ke depan, dari produksi teman-teman yang di akademisi, kemudian R&D-nya dari masing-masing produsen, itu akan melakukan hal tersebut. Karena kita tahu kan, ini daripada entar jadi sampah lagi,” katanya.
Perbesar
Alat dari BRIN untuk teliti mikroplastik pada hujan di Jakarta. Foto: Dok. BRIN
Terkait bahaya mikroplastik, Reza menjelaskan partikel plastik yang menempel di kulit umumnya tidak menimbulkan efek serius. Namun, jika masuk ke tubuh, partikel tersebut dapat menyebabkan iritasi atau luka pada organ dalam.
“Kalau terpapar kulit sampai sekarang memang masih belum ada. Karena kulit kan relatif lebih tahan dibandingkan organ yang ada di dalam. Tapi kalau sudah masuk ke dalam tubuh, itu baru iritasinya akan sedikit berbeda,” tuturnya.
Sebagai langkah cepat menghadapi paparan mikroplastik yang kini ditemukan bahkan di air hujan, Reza menilai penggunaan masker bisa menjadi bentuk perlindungan awal.
“Yang jelas kalau misalnya paparannya, kita minimal pakai masker dulu. Maskernya termasuk tadi masker kain,” ujarnya.
Ia menambahkan, penanganan jangka panjang tetap perlu difokuskan pada pengurangan produksi dan penggunaan plastik sekali pakai yang menjadi sumber utama mikroplastik.
“Bukan berarti kita melarang plastik, tetapi kita jauh lebih bijak dalam penggunaan plastik, terutama plastik sekali pakai. Karena itu adalah sumber utama yang lebih dari 60% mikroplastik itu dari sana,” pungkas Reza.
Lonjakan Kasus ISPA Terjadi karena Polusi-Cuaca Ekstrem
Perbesar
Ilustrasi bahaya polusi udara terhadap anak. Foto: Thannaree Deepul/Shutterstock
Sebelumnya, berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta hingga Oktober 2025, total kasus ISPA mencapai 1.966.308. Peningkatan ISPA terjadi sejak Juli 2025.
Selain itu sejumlah puskesmas melaporkan pasien dengan keluhan batuk-pilek yang tak kunjung reda, sakit tenggorokan, hingga sesak napas ringan.
Selain di DKI Jakarta, lonjakan kasus ISPA juga terjadi di sejumlah daerah. Di antaranya di Bandung, Semarang, Surabaya, hingga Tabanan, Bali.
Ada beberapa faktor utama yang diidentifikasi sebagai penyebab lonjakan ini antara lain karena kualitas udara yang memburuk, polusi dan partikel halus di udara turut memperparah kondisi saluran pernapasan.
Lonjakan ISPA juga disebut terjadi karena pola cuaca ekstrem dan musim peralihan, serta penularan massal yang mudah. Karena sifat ISPA yang menular melalui udara dan kontak dekat, kecepatan penularan menjadi tantangan.