SERAMBINEWS.COM - Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) menetapkan CEO Prince Holding Group, Chen Zhi, sebagai tersangka utama dalam jaringan penipuan global berbasis di Kamboja yang telah menjerat ribuan korban di berbagai negara.
Jaksa menuduh Chen mencuri miliaran dollar AS melalui penipuan investasi daring dan mencuci hasil kejahatan itu dengan cara menyalurkannya ke perusahaan serta aset mewah di sejumlah kota besar dunia.
Dalam penyitaan terbesar sepanjang sejarah kejahatan kripto, Departemen Keuangan AS berhasil mengambil alih bitcoin senilai sekitar 14 miliar dollar AS atau kira-kira Rp 232,5 triliun.
Jaksa Agung Pamela Bondi bersama Wakil Jaksa Agung Todd Blanche menegaskan bahwa pemerintah AS akan memanfaatkan seluruh kewenangannya demi melindungi korban dan menuntut para pelaku.
Chen Zhi, yang kini buron, dinilai membangun “kerajaan kriminal” berbasis teknologi yang memanfaatkan kerja paksa dan eksploitasi manusia sebagai fondasinya.
Chen lahir di Provinsi Fujian, China, dan memulai perjalanan bisnisnya dari industri permainan daring yang gagal.
Ia kemudian pindah ke Kamboja pada 2010, tepat saat negeri itu mengalami ledakan investasi properti berkat arus modal besar dari China dan pembangunan yang terhubung dengan inisiatif Sabuk dan Jalan Presiden Xi Jinping.
Dalam atmosfer itu, kota-kota seperti Phnom Penh dan Sihanoukville berkembang pesat, dipenuhi hotel-hotel mewah, kasino, dan proyek real estat ambisius.
Pada 2014, Chen memperoleh kewarganegaraan Kamboja lewat skema investasi minimal 250.000 dollar AS. Ia mengklaim mendapat suntikan dana 2 juta dollar AS dari pamannya sebagai modal awal tanpa bukti tertulis.
Setahun kemudian, ia mendirikan Prince Group yang berkembang pesat ke berbagai sektor, termasuk perbankan, penerbangan, dan pariwisata. Tahun 2020, ia menerima gelar kehormatan tertinggi di Kamboja setelah memberikan donasi besar bagi pemerintah, memperkuat citranya sebagai pengusaha sukses yang dekat dengan elite politik Negeri Khmer.
Namun kejayaan itu kini berubah menjadi skandal. Penyelidik AS dan Inggris menuduh Chen mengendalikan jaringan penipuan daring lintas negara yang memanfaatkan perusahaan cangkang dan dompet kripto untuk memindahkan dana ilegal. Modus kejahatannya dikenal sebagai “penyembelihan babi”, di mana para pelaku merayu korban melalui media sosial untuk berinvestasi, sebelum akhirnya mencuri seluruh dana yang masuk.
Laporan penyelidikan juga menyebut keterlibatan Chen dalam praktik perdagangan manusia, eksploitasi anak di bawah umur, hingga penyiksaan terhadap pekerja paksa yang didatangkan untuk menjalankan skema penipuan di kompleks-kompleks tertutup di Kamboja.
Salah satu lokasi yang diduga menjadi pusat operasional jaringan tersebut adalah Golden Fortune Science and Technology Park di dekat perbatasan Vietnam.
Kompleks itu digambarkan sebagai fasilitas dengan penjagaan ketat yang memaksa ribuan orang bekerja tanpa kebebasan, sementara keuntungan yang dihasilkan mengalir ke perusahaan-perusahaan Chen untuk membiayai perluasan bisnis dan gaya hidup mewah, termasuk pembelian properti di London dan New York serta karya seni kelas dunia seperti lukisan Picasso.
Serangkaian sanksi internasional kini telah dijatuhkan kepada 128 perusahaan dan 17 individu yang terkait dengan Prince Group. Efeknya mengguncang sistem keuangan Kamboja. Bank Sentral Kamboja harus turun tangan untuk meredam kekhawatiran publik, sementara Korea Selatan membekukan aset Prince bernilai 64 juta dollar AS.
Di sisi lain, sebagian perusahaan keuangan Asia dan Eropa memilih memutus hubungan sebelum reputasi mereka ikut terseret.
Kasus Chen Zhi menjadi peringatan keras bahwa dunia investasi dan teknologi kripto dapat menjadi medan baru bagi kejahatan ekonomi dan eksploitasi manusia dalam skala yang sulit dilacak penegak hukum.
Di tengah tekanan internasional yang semakin kuat, pemerintah Kamboja masih bungkam dan belum menunjukkan sikap jelas atas status salah satu pengusaha paling berpengaruh — yang kini menyandang label salah satu buronan paling dicari di Asia.(*)