Hampir satu abad sejak dikumandangkan pada 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda selalu jadi momen untuk kembali menengok peran pemuda Indonesia. Dalam setiap momentum sejarah bangsa, pemuda tidak pernah alpa untuk tegak berdiri sebagai tombak perjuangan rakyat. Tahun 1908, 1926, 1928, 1945, 1966, 1998 adalah tahun di mana arah bangsa ditentukan oleh para Pemuda. Dalam Undang No. 40 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 1 tentang Kepemudaan dinyatakan bahwa Pemuda adalah seorang warga negara yang memasuki periode penting dalam masa pertumbuhan yang digolongkan dalam kelompok umur 16 sampai 30 tahun.
Untuk menghadapi tantangan yang terus dinamis, semangat pemuda harusnya tidak akan pernah luntur karena tanggung jawab moral yang ditanggung tak lekang zaman. Seperti yang dikemukakan oleh Bung Hatta bahwa Pemuda bukan hanya penerus bangsa tetapi penggerak perubahan.
Pemuda harus penuh kesadaran bahwa mereka bukan hanya sekadar objek namun subjek yang kritis terhadap ketidakadilan sosial politik dan ekonomi serta mampu melakukan transformasi sosial. Bila dulu gerakan pemuda dilakukan untuk bagaimana menyingkirkan penjajah kolonial, pasca itu gerakan pemuda digencarkan untuk melawan pemerintah otoritarian.
Sedangkan kini, pemuda harus berhadapan dengan kolonialisme wajah baru yaitu korupsi, kemiskinan dan algoritma digital yang mengatur kesadaran berpikir.
Korupsi Musuh Pemuda
Permasalahan korupsi yang dialami oleh bangsa Indonesia telah berada pada titik yang mengkhawatirkan (Alfaqi dkk, 2017). Belum lepas dari ingatan beberapa waktu lalu seorang terpidana korupsi mendapatkan label sebagai “koruptor termuda (Kumparan, 2022) atau kabar lainnya adalah mahasiswa yang terlibat korupsi bansos.
Image yang selama ini lekat pada koruptor adalah seseorang yang sudah tua terkoreksi. Bahwa praktik rasuah ini kini berhasil memapar anak muda yang biasanya selalu dilekatkan dengan kesan idealis dan memegang teguh integritas. Penyakit kronis ini yang menempatkan Indonesia pada indeks 37/100 atau peringkat Indonesia ke posisi 99 dari 180 negara meskipun disebut lebih baik dibanding tahun sebelumnya yang berada di peringkat 115 (KPK, 2025).
Ada keyakinan di tengah masyarakat bahwa tidak ada sektor yang luput dari korupsi, mulai dari birokrasi, politik bahkan dunia pendidikan. Bibit korupsi oleh pemuda dirawat melalui normalisasi penggunaan joki pembuatan tugas atau skripsi. Mengutip Kumparan (2022), iklan yang menawarkan jasa tersebut mudah ditemukan di platform sosial media. Seperti hukum ekonomi, akan ada penawaran karena ada permintaan. Proses belajar dimaknai hanya pada orientasi hasil, bukan pada proses yang menjunjung kejujuran.
Nilai itu adalah salah satu prinsip dalam kehidupan akademik. Ketika kejujuran hanya menjadi pelengkap, maka tak heran kerusakan pada berbagai aspek hidup bernegara merajalela. Ia menjadi benalu yang terus menghisap energi bangsa. Mahasiswa pada umumnya hanya fokus tentang bagaimana menyelesaikan studi tanpa memberikan makna pada proses belajar.
Dalam pengalaman proses belajar itulah sebenarnya mahasiswa memperoleh keahlian bukan hanya mengasah intelektualitas dalam berpikir namun juga pengalaman dalam menemukan jalan keluar dan menyelesaikan masalah.
Banyak mahasiswa lulus dari perguruan tinggi namun kesulitan mendapatkan pekerjaan, fenomena ini disebut lost generation of skill. Memiliki pendidikan namun kehilangan arah keterampilan apa yang akan digunakan pada kehidupan nyata. Data BPS 2025 menunjukkan, generasi Z (Gen Z) dan sebagian milenial jadi golongan dengan tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia.
Kemiskinan Bukan Takdir Pemuda
Angka detail tercatat 9,89 juta (22,25%) penduduk usia muda berusia 15-24 tahun, bahkan disebut angka pengangguran kalangan Gen Z bahkan mencapai 16 persen. Jumlah ini tentu memberikan dampak pada jumlah kemiskinan dan juga ketimpangan sosial.
Kalangan muda yang terjerat momok “pengangguran” tidak hanya dapat dilihat sebagai problem ekonomi namun juga persoalan yang lebih luas yaitu problem struktural yang lebih rumit. Apakah kondisi tersebut harus diterima sebagai takdir atau cermin dari mentalitas yang belum banyak berubah? Ada kekhawatiran bahwa pendidikan yang dilalui oleh pemuda tidak membentuknya sebagai individu yang siap untuk terjun di masyarakat atau dunia kerja karena keterampilannya tidak sesuai dengan tuntunan zaman.
Di sisi lain, dunia kerja formal semakin terbatas sementara sektor informal seperti wirausaha dianggap tidak memberikan jaminan pendapatan dan karier yang layak. Padahal salah satu ciri dari negara maju ditandai dengan jumlah wirausahawan yang dimiliki. Indonesia membutuhkan paling tidak 2 persen warga negaranya menjadi pengusaha (Kumparan, 2020).
Di negara maju seperti Amerika, Jerman, Korea Selatan, Jepang sektor kewirausahaan tumbuh pesat di mana para pengusaha juga berorientasi sebagai agen perubahan sosial dan ekonomi. Inovasi dan teknologi dianggap sebuah keharusan untuk menciptakan nilai tambah dalam persaingan pasar global.
Berbeda dengan negara yang memiliki jumlah pengusaha rendah cenderung berkutat pada masalah kemiskinan karena sebagian besar pemuda hanya berorientasi menjadi pencari kerja. Hal itu akan berdampak pada roda ekonomi yang bergerak lamban dan ketidakmandirian. Maka seharusnya para pemuda Indonesia mengambil peluang yang sangat besar menjadi pencipta kerja dan penggerak pembangunan bangsa.
Proses pendidikan harus melatih pemuda memiliki mental adaptif, kreatif dan resilien terhadap problem. Bukan manusia yang selalu dihadapkan pada soal-soal ujian Pilihan Ganda. Sekolah dan kuliah tidak hanya berorientasi mendapatkan selembar ijazah namun melatih siswa dan mahasiswa berpikir kritis.
Peningkatan literasi digital, kewirausahaan muda, serta pembinaan ekonomi kreatif berbasis komunitas dapat menjadi solusi alternatif. Lirik dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya: “Bangunlah Jiwanya” harus benar benar diresapi maknanya oleh Pendidik dan Pemuda. Bahwa pemuda harus membangun mentalitas anti kemiskinan yang disokong oleh kerja keras, kejujuran dan kemandirian. Budaya malas, mager –males gerak—, pecinta proses instan dan hedonis bukan ciri pemuda Indonesia.
Algoritma: Tools atau Disaster?
Telah disadari oleh semua bahwa kehidupan Pemuda dalam masa modern kini berada dalam kooptasi sistem teknologi. Konsep digital native kental melekat khususnya pada Generasi Z dan generasi Alpha di mana era digital lebih matang, internet lebih luas dan mudah diakses serta penggunaan ponsel cerdas yang digunakan untuk berbagai aktivitas.
Kehidupan teknologi informasi serba canggih menyimpan juga problem dan ancaman besar bernama algoritma. Hal itu dimaknai sebagai mekanisme sistemik yang membantu pengguna mendapatkan rekomendasi tayangan sesuai dengan perilaku digital masing-masing (Habibah dkk, 2023). Ini yang disebut oleh Shoshana Zuboff sebagai Surveillance Capitalism (Kapitalisme Pengawasan).
Logika akumulasi yang dihasilkan dari jejak digital akan menentukan apa yang dipikirkan, dilihat dan diyakini. Sosial media bukan lagi sekadar ruang ekspresi namun sebagai wadah yang membentuk kesadaran baru. Setiap pencarian dikumpulkan untuk memprediksi serta mempengaruhi perilaku manusia sesuai preferensi emosional maupun ideologisnya.
Filter bubble inilah yang dikhawatirkan akan mempersempit cara pandang seorang individu. Untuk Pemuda? Berbahaya. Logika algoritma seakan-akan menyediakan kebebasan berpikir namun itu hanya sebagai ilusi. Karena pada nyatanya kesadarannya diarahkan secara halus. Ide mengenai orientasi berpikir, tentang ukuran kesuksesan, gaya hidup, berpakaian bahkan orientasi politik seringkali dibentuk pada apa yang sedang “trending” di timeline atau linimasa.
Penulis teringat akan teori Hegemoni yang dikemukakan Antonio Gramsci yang mengungkapkan bahwa kekuasaan tidak selalu lagi menggunakan kekerasan sebagai tools-nya namun dengan cara membentuk kesadaran baru tanpa disadari bahwa itu adalah sebuah dominasi. Pemuda hanya sebatas menjadi penikmat konten ketimbang pembuat pemikiran.
Pemuda berlomba membentuk citra diri namun kehilangan berpikir mandiri. Viral adalah barometer baru dari sebuah keberhasilan. Pemuda seharusnya melihat teknologi, sosial media juga AI (kecerdasan buatan) sebagai tools yang harus terus disikapi dengan kritis. Generasi muda harus memiliki literasi digital yang kokoh dan mumpuni untuk terus dapat mengendalikan narasi teknologi sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme digital.
Suatu bentuk penjajahan bentuk baru yang mengontrol pikiran sesuai logika pihak-tertentu yang menguasai big data. Dengan demikian pemuda bisa menjadi tuan bagi pikirannya sendiri dan merdeka. Persis seperti spirit para Pemuda Indonesia saat menggaungkan Sumpah Pemuda 97 tahun lalu. Selamat Hari Sumpah Pemuda!