Empat Paket Akselerasi APBN 2026: Menyalakan Mesin Ekonomi Rakyat
Benny Eko Supriyanto October 29, 2025 05:00 PM
Ketika dunia tengah berhadapan dengan ketidakpastian global—dari perlambatan ekonomi Tiongkok hingga gejolak geopolitik di Timur Tengah—Indonesia justru memilih langkah antisipatif yang menyejukkan: mempercepat denyut ekonomi rakyat melalui kebijakan fiskal yang inklusif. Dalam APBN 2026, pemerintah menyiapkan empat paket akselerasi ekonomi yang menyentuh sektor paling vital dalam struktur perekonomian nasional: pelaku usaha mikro, pekerja industri padat karya, sektor pariwisata, dan kelompok pekerja informal.
Kebijakan ini bukan sekadar respons terhadap tekanan ekonomi jangka pendek, melainkan strategi jangka menengah untuk menjaga momentum pertumbuhan dan memperluas fondasi ekonomi yang lebih merata.
Menyapa UMKM: Perpanjangan PPh Final 0,5%
UMKM adalah denyut nadi ekonomi Indonesia. Lebih dari 64 juta unit usaha di sektor ini menyerap sekitar 97% tenaga kerja nasional. Namun, di tengah peran besar itu, UMKM kerap terbebani persoalan klasik: keterbatasan modal, akses pasar, dan beban administrasi pajak.
Karena itu, langkah pemerintah memperpanjang kebijakan PPh Final 0,5 persen hingga tahun 2029 patut diapresiasi. Kebijakan ini memberi ruang bernapas bagi pelaku usaha dengan omzet hingga Rp4,8 miliar per tahun untuk bertumbuh, tanpa dihantui beban fiskal yang berlebihan.
Perbesar
com-Ilustrasi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Foto: Dok. BRI
Lebih dari sekadar angka, perpanjangan ini adalah bentuk pengakuan negara terhadap pentingnya stabilitas usaha kecil. Ketika pelaku UMKM diberi kepastian fiskal, mereka lebih berani memperluas produksi, membuka lapangan kerja baru, dan mendorong perputaran uang di tingkat lokal.
Namun, tantangan berikutnya adalah memastikan insentif ini benar-benar dirasakan oleh pelaku usaha di lapangan. Masih banyak UMKM yang belum terdaftar di sistem perpajakan nasional. Sosialisasi, pendampingan digital, dan kemudahan administrasi menjadi kunci agar kebijakan ini tidak berhenti di tataran wacana.
Menjaga Napas Sektor Pariwisata: PPh Pasal 21 DTP
Sektor pariwisata dan perhotelan menjadi salah satu yang paling terpukul pascapandemi. Meski geliat kunjungan wisatawan mulai pulih, sektor ini masih menghadapi tekanan biaya operasional tinggi dan daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih.
Karena itu, keputusan pemerintah memperpanjang PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) bagi sektor pariwisata, perhotelan, restoran, dan kafe adalah langkah strategis. Insentif ini meringankan beban pengusaha sekaligus menjaga daya beli pekerja dengan penghasilan hingga Rp10 juta per bulan.
Perbesar
Pekerja melintasi pedestrian saat jam pulang kerja di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Jumat (10/10/2025). Foto: Darryl Ramadhan/kumparan
Kebijakan ini tak hanya menjaga keberlangsungan bisnis, tetapi juga mengamankan lapangan kerja di daerah-daerah yang menggantungkan ekonomi pada pariwisata. Dari Bali hingga Labuan Bajo, dari Yogyakarta hingga Danau Toba—rasa optimisme kembali bersemi karena pemerintah hadir bukan sebagai penonton, melainkan sebagai penyangga.
Menopang Industri Padat Karya: Insentif untuk Tenaga Kerja
Kebijakan fiskal berikutnya yaitu menarget sektor industri padat karya, seperti tekstil, garmen, alas kaki, dan furnitur. Industri ini dikenal menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, terutama perempuan dan pekerja muda.
Pemerintah memperpanjang insentif PPh Pasal 21 DTP bagi pekerja dengan penghasilan hingga Rp10 juta per bulan di sektor padat karya. Tujuannya jelas: menjaga daya saing industri nasional sekaligus melindungi sekitar 1,7 juta pekerja yang menggantungkan hidup di sektor ini.
Langkah ini sangat penting di tengah tren relokasi industri global. Ketika beberapa negara Asia bersaing menarik investor, Indonesia perlu menegaskan bahwa biaya tenaga kerja di sini tetap kompetitif—tanpa mengorbankan kesejahteraan pekerja.
Perbesar
Ilustrasi kawasan industri. Foto: Shutter Stock
Namun, kebijakan ini juga menuntut sinergi lintas kementerian: antara fiskal, industri, tenaga kerja, dan investasi. Tanpa koordinasi yang kuat, insentif bisa menjadi sekadar “vitamin sementara”, bukan energi berkelanjutan.
Perlindungan Sosial Inklusif: Diskon Iuran JKK dan JKM untuk Pekerja BPU
Salah satu terobosan yang jarang mendapat sorotan adalah diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) bagi pekerja Bukan Penerima Upah (BPU). Ini mencakup kelompok rentan seperti petani, nelayan, pedagang kaki lima, tukang ojek, hingga buruh bangunan.
Kebijakan ini bukan hanya soal angka diskon, melainkan pengakuan bahwa perlindungan sosial harus menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Sekitar 9,9 juta pekerja informal ditargetkan mendapat manfaat ini.
Ketika pekerja informal mendapat perlindungan dasar, risiko ekonomi rumah tangga menurun drastis. Setiap kecelakaan kerja atau kehilangan tulang punggung keluarga tidak lagi berarti kemiskinan baru. Negara hadir bukan hanya untuk sektor formal, melainkan untuk rakyat di ujung rantai ekonomi.
Kebijakan yang Berlapis Nilai: Antara Insentif dan Tanggung Jawab Fiskal
Perbesar
Menteri Keuangan Indonesia yang baru diangkat Purbaya Yudhi Sadewa dan Menteri Keuangan yang akan keluar Sri Mulyani Indrawati menghadiri upacara serah terima di Kementerian Keuangan di Jakarta, Selasa (9/9/2025). Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
Meski keempat paket kebijakan ini tampak sebagai “angin segar”, publik juga berhak menagih keberlanjutan fiskal di baliknya. Insentif pajak dan potongan iuran tentu mengurangi penerimaan negara dalam jangka pendek. Namun, filosofi kebijakan fiskal bukan sekadar menghitung kas masuk, melainkan menumbuhkan basis ekonomi yang lebih luas agar kas negara tumbuh di masa depan.
Dengan memberi napas pada pelaku usaha kecil, menjaga pekerja produktif, dan melindungi yang rentan, pemerintah sesungguhnya sedang menyiapkan pondasi pajak masa depan. Pertumbuhan yang sehat akan memperluas basis penerimaan pajak, memperkuat daya beli, dan menciptakan siklus ekonomi yang lebih tahan guncangan.
Jalan Panjang Menuju Ekonomi Tangguh
Empat paket akselerasi ini menandai evolusi kebijakan fiskal Indonesia: dari reaktif menjadi adaptif, dari stimulus jangka pendek menuju penguatan struktur ekonomi jangka menengah.
Namun, pekerjaan belum selesai. Implementasi di lapangan sering menjadi batu sandungan. Data penerima manfaat harus akurat, mekanisme klaim sederhana, dan evaluasi berjalan transparan. Tanpa pengawasan yang ketat, insentif bisa terserap tak merata atau justru salah sasaran.
Perbesar
Ilustrasi ekonomi hijau. Foto: Pixabay
Pada akhirnya, kebijakan sebaik apa pun akan kehilangan makna bila tidak menyentuh kehidupan nyata rakyat. Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil perlu bergerak dalam irama yang sama—menjadikan insentif fiskal bukan sekadar kebijakan di atas kertas, melainkan energi yang menggerakkan ekonomi rakyat.
Menyalakan Mesin Pertumbuhan dari Akar Rumput
APBN 2026 menjadi cermin arah kebijakan ekonomi Indonesia di tengah dunia yang berubah cepat. Dengan empat paket akselerasi ini, pemerintah mengirim pesan kuat: pembangunan ekonomi tidak boleh hanya menguntungkan yang besar, tetapi juga memberdayakan yang kecil.
Dari warung kopi di sudut kampung hingga industri garmen di kawasan industri, denyut ekonomi rakyat mulai kembali terdengar. Ketika negara hadir melalui kebijakan yang adil, ekonomi rakyat tak hanya bertahan—tetapi tumbuh bersama harapan baru.