Makan Bergizi Gratis: Dari Piring Sekolah ke Timbulan Sampah
Irfani Rahman October 30, 2025 08:31 AM

Oleh: Fatimah Juhra

Dosen Teknik Lingkungan ULM

BANJARMASINPOST.CO.ID- PROGRAM makan bergizi gratis (MBG) bagi siswa sekolah dasar dan menengah menjadi kebijakan populer dan yang paling disorot dalam beberapa waktu terakhir. Tujuan program ini memastikan seluruh anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang cukup agar tumbuh sehat dan cerdas.

Di tengah tantangan ekonomi keluarga, program ini tentunya memberi harapan besar bahwa tidak ada lagi anak yang belajar dengan perut kosong. Namun, di balik niat baik tersebut, muncul persoalan baru yang jarang dibicarakan, yaitu meningkatnya timbulan sisa makanan atau food waste.

Dalam pelaksanaan di lapangan, kebijakan ini sering kali hanya difokuskan pada aspek gizi, logistik dan distribusi, tetapi masih belum mempertimbangkan dampak lingkungan dari kegiatan penyediaan makanan massal setiap hari.

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengendalian Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2024 saja tercatat bahwa sisa makanan menjadi penyumbang timbulan sampah terbesar yakni 39,36 persen, jauh melampaui timbulan sampah plastik 19,64 persen.

Tentunya timbulan sampah tersebut nantinya akan mengalami peningkatan seiring program makan bergizi gratis di tahun 2025 bila tidak disertai sistem pengelolaan limbah yang memadai.

Setiap porsi yang tidak habis dimakan, setiap nasi yang tercecer, dan setiap lauk yang terbuang akan menjadi sampah organik. Jika diakumulasi dari ribuan sekolah di seluruh Indonesia, jumlahnya sangat besar.

Menurut KLHK jika penerima manfaat mencapai 24 juta siswa pada tahun 2025 terpenuhi untuk mendapatkan MBG, dan dengan asumsi setiap siswa menghasilkan sisa makanan sekitar 50-100 gram per hari, maka potensi timbulan dapat mencapai 2.400 ton per hari atau 624.000 ton per tahun.

Di Kalimantan Selatan, sebagian besar sekolah belum memiliki fasilitas pengelolaan sampah organik seperti komposter, biopori, atau pemilahan di sumber. Sebagian besar sisa makanan masih bercampur dengan sampah plastik kemasan dan langsung dibuang ke tempat pembuangan sementara.

Akibatnya, sampah organik tersebut akhirnya berakhir di TPA, yang kini sebagian besar sudah mendekati kapasitas maksimum. Bila kondisi ini terus berlanjut, program pemerintah pusat untuk mencegah stunting anak-anak justru dapat memperpendek umur tempat pembuangan akhir di setiap kota.

Sisa makanan bukanlah sekadar sampah biasa. Dalam pandangan teknik lingkungan, sisa makanan adalah sumber pencemaran kompleks. Saat membusuk di tempat pembuangan, bahan organik akan menghasilkan gas metana—gas rumah kaca yang 28 kali lebih kuat dari karbondioksida dalam merangkap panas di atmosfer. Inilah yang menjadikan food waste sebagai salah satu penyumbang signifikan terhadap perubahan iklim.

Selain itu, proses pembusukan sampah yang berlangsung di kondisi anaerob juga dapat menghasilkan lindi atau cairan hitam pekat yang dapat merembes ke tanah dan mencemari tanah dan air tanah.

 Bagi kota-kota di Kalimantan Selatan yang memiliki keragaman lahan basah dan sungai, pencemaran seperti ini dapat berdampak langsung pada kualitas air dan kesehatan masyarakat.

Masalah food waste tidak hanya berhenti pada pencemaran. Ia juga mencerminkan pemborosan besar terhadap sumber daya alam. Setiap butir nasi yang terbuang sebelumnya telah melalui proses panjang: lahan yang ditanami, air yang teraliri, pupuk dan energi yang digunakan, serta tenaga petani yang dikerahkan.

Menurut laporan FAO, sepertiga makanan dunia terbuang sia-sia setiap tahun, dan Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat food waste tertinggi di Asia. Bappenas memperkirakan kerugian ekonomi akibat makanan terbuang mencapai mencapai Rp213 triliun-Rp551 triliun per tahun.

Di sisi lain, muncul pula kekhawatiran mengenai keamanan makanan yang dibagikan di sekolah-sekolah. Sejumlah kasus keracunan makanan mulai dilaporkan di beberapa daerah setelah program makan gratis berjalan.

Kasus-kasus ini umumnya disebabkan oleh makanan yang disiapkan dalam jumlah besar tanpa sistem penyimpanan, pengemasan, dan distribusi yang memenuhi standar higienitas. Ini berkaitan erat dengan kurangnya pengawasan pada dapur produksi, kualitas bahan baku, serta sanitasi selama proses memasak dan penyajian.

Akibatnya, makanan yang semestinya menyehatkan justru menjadi ancaman kesehatan bagi anak-anak.

Bagi para orang tua, kasus seperti ini tentu menimbulkan dilema. Di satu sisi, program ini membantu anak-anak mereka untuk mendapatkan gizi seimbang. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran setiap kali mendengar berita keracunan di sekolah.

Jika kepercayaan publik menurun, tujuan besar kebijakan ini bisa terganggu. Ketika tidak ada solusi kongkrit, orang tua siswa kemungkinan akan melarang anaknya untuk memakan MBG di sekolah, dampaknya timbulan sampah makanan yang tak termakan tentunya akan semakin meningkat.

Meski demikian, bukan berarti program makan gratis harus dihentikan. Sebaliknya, program ini dapat menjadi momentum untuk memperkuat kesadaran lingkungan di kalangan siswa dan tenaga pendidik.

Sekolah bisa menjadi laboratorium kecil dalam pengelolaan food waste dengan menyediakan komposter sederhana, kebun sekolah, atau kegiatan edukatif tentang pengelolaan sampah organik. 

Sisa makanan yang masih layak konsumsi bisa dimanfaatkan untuk program food bank sekolah, sementara sisanya diolah menjadi pupuk cair atau kompos. Langkah sederhana ini tidak hanya mengurangi sampah, tapi juga mengajarkan nilai tanggung jawab terhadap lingkungan.

Selain itu, pemerintah perlu menetapkan standar keamanan pangan dan pengelolaan limbah yang ketat bagi pelaksana program. Dinas pendidikan, dinas lingkungan hidup, dan dinas kesehatan harus bekerja lintas sektor untuk memastikan makanan yang disajikan aman dikonsumsi dan sisa makanan yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan.

Pada akhirnya, kebijakan makan bergizi gratis merupakan investasi besar untuk masa depan bangsa. Namun, jika tidak disertai dengan manajemen lingkungan yang baik, program ini berisiko menimbulkan masalah baru berupa peningkatan sampah makanan, pencemaran, dan emisi gas rumah kaca.

Sudah saatnya kebijakan sosial seperti ini dilengkapi dengan strategi hijau yang komprehensif—mulai dari perencanaan menu, sistem distribusi, hingga pengelolaan sisa makanan. Dengan demikian, anak-anak Indonesia tidak hanya tumbuh sehat dan cerdas, tetapi juga belajar menghargai makanan dan menjaga kelestarian bumi.

Program makan bergizi gratis harus menjadi simbol kesejahteraan yang berkelanjutan, bukan sumber pencemaran baru. Bila setiap anak diajarkan untuk menghargai sebutir nasi dan setiap sekolah mampu mengelola sampahnya dengan baik, maka cita-cita mewujudkan generasi sehat dan lingkungan lestari dapat berjalan beriringan. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.