 
            TRIBUNJATENG.COM, DARFUR — Tentara Nasional Sudan (Sudanese Armed Forces/SAF) menyebut, hingga Rabu (29/10), sekitar 2.000 warga sipil tewas dieksekusi di Kota El-Fasher, ibu kota Negara Bagian Darfur Utara, Sudan.
Sementara Sudan Doctors Network atau Jaringan Dokter Sudan memperkirakan jumlah korban mencapai 1.500 jiwa.
Pembantaian massal itu terjadi setelah pasukan paramiliter di Sudan, Rapid Support Forces (RSF), berhasil merebut kota itu dari SAF. El-Fasher resmi jatuh pada Minggu (26/10) setelah pengepungan selama 18 bulan oleh pasukan RSF.
Selama masa itu, RSF memutus seluruh jalur pasokan makanan dan kebutuhan pokok bagi ratusan ribu warga sipil yang terperangkap di dalam kota.
Kota El-Fasher merupakan benteng terakhir SAF di kawasan Darfur. Kejatuhan kota ini menandai kemenangan besar bagi RSF dalam perang saudara di Sudan yang telah berlangsung sejak awal 2023.
Sekitar 1,2 juta warga yang masih bertahan di El-Fasher dilaporkan hidup dalam kondisi memprihatinkan. Banyak di antara mereka terpaksa memakan pakan ternak untuk bertahan hidup.
RSF juga disebut membangun barikade sepanjang 56 kilometer untuk menutup akses bantuan kemanusiaan dan jalur evakuasi.
Organisasi medis dan kelompok hak asasi manusia di Sudan melaporkan adanya pembunuhan massal, penahanan warga, serta serangan terhadap rumah sakit.
Rekaman video yang diverifikasi Al Jazeera memperlihatkan dugaan penyiksaan dan eksekusi terhadap warga sipil oleh tentara RSF.
Kantor HAM PBB menyebut tindakan RSF kemungkinan bermotif etnis, karena banyak korban berasal dari kelompok tertentu.
Sementara itu, Humanitarian Research Lab (HRL) dari Universitas Yale mengonfirmasi temuan tersebut melalui citra satelit dan data sensor jarak jauh.
Analisis HRL menemukan pola warna tanah dan kluster objek yang diduga sebagai kumpulan jenazah dan genangan darah, yang tidak tampak sebelum invasi RSF.
Laporan lain menyebut, dalam dua hari terakhir, lebih dari 26.000 orang berhasil melarikan diri dari El-Fasher menuju Tawila, sekitar 70 kilometer ke barat. Namun, menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), masih ada 177.000 warga sipil yang terjebak di dalam kota.
Kekerasan juga dilaporkan meluas ke Kota Bara, di Negara Bagian Kordofan Utara, yang direbut RSF pada 25 Oktober. Pasukan paramiliter itu dilaporkan menyerang warga dan pekerja kemanusiaan.
Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (IFRC) mengonfirmasi lima relawan mereka tewas di Bara dan tiga lainnya hilang.
Kini, pertempuran utama berpusat di dua kota, El-Fasher dan El-Obeid. RSF telah menguasai hampir seluruh wilayah barat Sudan dan berupaya memperluas kekuasaannya hingga ke timur. Sementara itu, SAF masih bertahan di wilayah tengah dan timur negara tersebut.
Dengan jatuhnya El-Fasher, Sudan kini terbelah dua, wilayah barat berada di bawah kendali RSF, sementara wilayah timur dikuasai SAF.
Kota El-Obeid sendiri memiliki posisi strategis karena menjadi jalur penghubung antara Darfur dan ibu kota Khartoum.
RSF dilaporkan mulai mempersempit jarak untuk mengepung kota itu setelah merebut Bara, sekitar 59 kilometer dari El-Obeid. Menurut organisasi kemanusiaan Mercy Corps, El-Obeid kini menampung sedikitnya 137.000 pengungsi.
Komandan SAF sekaligus pemimpin de facto Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, mengatakan pasukannya mundur dari El-Fasher untuk menghindari pembantaian lebih besar terhadap warga sipil.
“Kami akan membalas apa yang terjadi pada rakyat kami di El-Fasher,” kata Burhan, Senin (27/10).
Menteri Luar Negeri Sudan, Hussein Al-Amin, menuding komunitas internasional gagal bertindak terhadap kekerasan yang dilakukan RSF.
Sementara itu, pemimpin RSF Mohammed Hamdan Dagalo mengklaim pihaknya ingin menyatukan Sudan di bawah sistem demokrasi sejati dan berjanji akan mengadili pelaku kejahatan terhadap warga sipil. (Kompas.com)