Ketika Laut dan Mangrove Berpelukan, Ekonomi Warga Pun Tersenyum
deni setiawan October 31, 2025 10:30 PM

TRIBUNJATENG.COM, CILACAP - Pagi itu, matahari baru saja naik ketika Khoerul (55) memeriksa keramba apung kepiting di sela pohon mangrove di Kutawaru, Cilacap, Kamis (11/9/2025). Tangannya cekatan, senyumnya merekah, kepiting-kepiting sudah siap dipanen dan disajikan di meja makan.

Di tangannya, tergenggam jaring bambu dan ember plastik berwarna hijau kusam. Dia menunduk, menatap lekat permukaan air di dalam keramba apung, seolah sedang membaca tanda-tanda kehidupan di bawahnya. 

Angin laut membawa aroma asin, berpadu dengan bau khas tanah basah yang menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari.

Dia membuka keramba satu per satu, hasil tangkapan dari alam dimasukan, sedangkan kepiting yang sudah siap panen akan diambil. Disortir dengan hati-hati: kepiting cangkang lunak dan cangkang keras.

Keramba yang dipasang di sela-sela mangrove tersebut berfungsi untuk pembesaran kepiting.

“Selera orang beda-beda, ada yang suka kepiting cangkang lunak, ada juga yang cangkang keras,” ujarnya.

Jika bibit kepiting yang didapatkan dari alam sudah gemuk, pembesaran di dalam keramba plastik berlubang hanya membutuhkan waktu tiga hingga empat hari hingga panen. Namun, jika kondisi bibit kepiting dari alam kurus, biasanya pembesaran mencapai tiga pekan.

Selama di keramba, kepiting diberi makan ikan rucah atau ikan-ikan kecil hasil tangkapan nelayan yang menjadi limbah.

Setelah usai, Khoerul membawa hasil tangkapannya ke dapur rumah makan yang berada dalam satu lokasi di hutan mangrove. Di sanalah kepiting-kepiting itu akan ditimbang dan disajikan ke meja makan untuk wisatawan yang berkunjung ke lokasi tersebut.

Dari sana pula kehidupan sederhana keluarga Khoerul terus berputar antara lumpur, akar bakau, dan cita-cita sederhana untuk bertahan.

Hutan mangrove yang dulu nyaris gundul kini tumbuh kembali berkat gotong royong warga. Di sela-sela akar yang menjulang itu, kehidupan baru muncul: burung kuntul, ikan kecil, dan tentu saja, kepiting-kepiting yang menjadi sumber nafkah utama warga seperti Khoerul.

“Dulu saya bekerja di kapal (anak buah kapal/ABK), sekarang ya di sini saja. Alam ngasih rezeki asal dirawat,” ucapnya.

Dulu, kawasan ini nyaris mati, hanya tersisa lumpur dan harapan yang tipis. Kini, berkat silvofishery, laut dan hutan kembali berpelukan, menghadirkan kehidupan baru bagi masyarakat pesisir.

Bagi warga pesisir, mangrove bukan lagi sekadar hutan bakau yang harus dilestarikan. Ia adalah sahabat, pelindung, sekaligus sumber penghidupan.

Bukan hanya soal kepiting, tetapi juga senyum masyarakat yang kini merasakan denyut ekonomi tumbuh bersama rimbunnya mangrove.

Silvofishery atau mina hutan, sebuah sistem yang memadukan budidaya perikanan dengan kelestarian mangrove, telah menjadi jawaban di tengah krisis lingkungan dan ekonomi masyarakat pesisir. Di kawasan ini, warga belajar bahwa akar mangrove bukan sekadar penghalang abrasi, melainkan rumah bagi kepiting.

Bertahun-tahun lalu, banyak lahan mangrove ditebang demi tambak instan yang menjanjikan keuntungan cepat. Ya, lokasi tersebut dulu adalah tambak udang.

Namun, alam tak bisa ditipu. Abrasi kian parah, hasil tambak udang menurun, harga yang tinggi kian menurun dan warga justru menanggung rugi.

Perlahan, mereka sadar bahwa keseimbangan adalah kunci. Dari situlah silvofishery hadir, membawa perubahan.

20251031 _ Kepiting di Kutawaru Cilacap
CEK KERAMBA - Anggota Mamaku mengecek keramba plastik yang berisi kepiting di kawasan Kampoeng Kepiting, Kutawaru, Cilacap, Kamis (11/9/2025). Berkat konsevasi mangrove, warga yang didominasi eks-TKW dan eks-ABK bisa mengais rezeki.

Kerusakan Mangrove

Local hero setempat yang juga Ketua Kelompok Masyarakat Mandiri Kutawaru (Mamaku), Rato menceritakan, kisah yang masih bergema di telinga warga Kutawaru. Di awal 1990-an, wilayah ini bersinar oleh gemerlap ‘emas biru’ atau udang windu.

Kala itu, semua orang ingin punya tambak. Tidak ada yang memikirkan hutan mangrove, karena yang terlihat hanya keuntungan menggiurkan dari hasil panen udang yang melimpah.

“Dulu kalau punya tambak, rasanya sudah seperti jadi orang kaya,” kenang Rato di pesisir Segara Anakan.

Masa itu, harga udang windu sedang tinggi, pakan disubsidi pemerintah, dan pembeli datang silih berganti. Warga yang semula menggantungkan hidup dari hasil laut berbondong-bondong membuka tambak baru.

Tanah-tanah perorangan di sekitar kawasan pesisir pun berubah fungsi. Ada yang saling memberi hibah demi memperluas petak tambak. Surat-surat kepemilikan pun bermunculan seiring euforia ‘demam udang’.

Namun, untuk membuat tambak udang, mangrove dianggap penghalang.

“Waktu itu malah kalau ada mangrove harus dibersihkan, katanya biar tambak nggak terganggu. Kayu mangrove juga dijarah untuk kayu bakar,” ujarnya.

Dalam waktu singkat, sabuk hijau alami di pesisir Segara Anakan tersebut pun hilang. Tempat bertelur ikan dan penahan abrasi lenyap digantikan petak-petak tanah yang digenangi air payau.

Beberapa tahun kemudian, nasib berkata lain. Harga pakan meroket, penyakit menyerang, dan kualitas air tambak menurun drastis.

Produksi udang merosot. Banyak tambak terbengkalai, tanah mengering, air asin menghitam, dan kolam-kolamnya menjadi kubangan lumpur.

Investor yang dulunya datang berbondong-bondong ikut angkat kaki ketika keuntungan tak lagi menjanjikan.

Awalnya hasil panen bisa buat beli motor, tapi lama-lama malah buat bayar pakan saja tidak cukup. Dari tambak yang dulunya menjadi sumber harapan, kini tinggal puing-puing pematang dan papan kayu yang lapuk dimakan waktu.

Kerusakan mangrove mulai terasa nyata. Di Kutawaru, abrasi makin parah, hasil laut berkurang, dan banjir rob makin sering datang. Ketika beberapa perusahaan besar masuk membuka lahan baru, ketimpangan makin terlihat.

Sementara masyarakat lokal berjuang bertahan, hasil panen tambak sering dijarah, dan banyak pendatang datang tanpa ikatan sosial yang kuat dengan warga setempat.

Kini, di pesisir Segara Anakan, sebagian warga mulai menyadari kesalahan masa lalu. Di sela-sela tambak yang mati, mereka mulai menanam kembali mangrove, berusaha mengembalikan keseimbangan yang dulu hilang.

Di antara akar mangrove muda yang tumbuh, ada harapan baru: bahwa alam yang pernah disakiti masih memberi kesempatan untuk diperbaiki.

Omzet Puluhan Juta

Siapa sangka, Kutawaru kini diberi label Kampoeng Kepiting yang dikelola kelompok masyarakat mandiri di Cilacap, tepatnya di Kelurahan Kutawaru, Kecamatan Cilacap Tengah. Di sini dikenal akan hidangan sekaligus budidaya kepitingnya.

Wisata kuliner ini meraup omzet puluhan juta dalam sebulan. Tempat tersebut adalah Kampoeng Kepiting yang dikelola oleh Kelompok Masyarakat Mandiri Kutawaru atau Mamaku.

Kisah Kampoeng Kepiting Kutawaru bermula pada 2009. Saat itu, warga pesisir di Kelurahan Kutawaru menghadapi tantangan besar.

Banyak hutan mangrove ditebang untuk dijadikan kayu arang, sementara tambak yang tersisa mulai kehilangan daya dukungnya.

Namun dari krisis itu, muncul secercah harapan melalui program CSR Pertamina di PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Unit Cilacap yang menggandeng Rukun Nelayan Kutawaru, wadah nelayan yang bernaung di bawah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI).

Melalui program itu, masyarakat mulai diperkenalkan pada konsep silvofishery, sistem tambak ramah lingkungan yang memadukan budidaya perikanan dengan penanaman mangrove.

“Kami diajari untuk tidak menebang habis mangrove, tapi justru menjadikannya bagian dari tambak. Sekarang setiap tambak pasti ada mangrovenya,” kata Rato.

Budidaya yang dikembangkan adalah kepiting cangkang lunak (soka). Awalnya, hanya tiga orang warga yang mencoba.

Mereka menata ulang tambaknya, menanam mangrove di tengah kolam, dan belajar membesarkan kepiting tanpa merusak ekosistem.

Hasilnya mulai terlihat: air tambak menjadi lebih bersih, produksi kepiting meningkat, dan yang terpenting, mangrove kembali tumbuh subur di sepanjang pesisir Kutawaru. Kesadaran masyarakat pun ikut berubah.

Siapa pun yang menebang mangrove untuk kayu arang bisa langsung ditegur bahkan dilempari batu oleh warga sekitar. Kutawaru yang dulu identik dengan perusakan lingkungan, kini dikenal sebagai penjaga ekosistem pesisir.

Mamaku menggabungkan para petambak kepiting yang sebelumnya bekerja sendiri-sendiri. Mereka mulai mengelola tambak secara bersama, membangun sistem pemasaran, dan bahkan mengembangkan potensi wisata.

Kini, Kampoeng Kepiting Kutawaru tak hanya menjadi sentra budidaya kepiting soka, tapi juga destinasi wisata edukatif. Wisatawan bisa belajar tentang cara budidaya kepiting, berkeliling dengan perahu menyusuri sungai, hingga menanam mangrove sendiri.

Semua kegiatan itu terintegrasi dalam satu konsep wisata berkelanjutan yang menghidupkan ekonomi sekaligus menjaga alam.

“Dulu, mangrove dianggap penghalang rezeki. Sekarang, justru sumbernya rezeki,” kata satu anggota Mamaku, Warianto, dengan senyum bangga.

Uniknya, kampung wisata tersebut dikelola oleh para mantan Tenaga Kerja Wanita (TKW) migran dan para mantan Anak Buah Kapal. Setelah mereka kembali dari perantauan, tetap ada pekerjaan di kampung halamannya.

“Hampir per bulan itu 80-90 juta per bulan dan ini sangat membantu masyarakat kami yang tadinya sama sekali tidak punya mata pencaharian yaitu tadinya ex-ABK, ex-TKW, dengan adanya program ini mereka dapat merasakan hasilnya,” tutur Wari.

Meski demikian, dia bercerita saat ini penjualan kepiting yang dihasilkan dari budidaya masih hanya untuk lingkungan Kampoeng Kepiting saja dan belum diserap ke luar. Hal ini karena untuk memasarkannya ke luar, akan ada tuntutan kontrak sementara inovasi budidaya masih terus berjalan.

“Jadi ketika kita dalam istilahnya ada kontrak harus sekian bulan, sekian tahun akhirnya kita tidak bisa memenuhi. Karena kita masih berproses dengan tadi inovasi rusun tinggi, diharapkan nanti akan ada plasma-plasma di masyarakat, sehingga hasil lebih banyak, sehingga bisa untuk memenuhi permintaan dari luar kota,” ujarnya.

Lurah Kutawaru, Edy Harjanto mengungkapkan bahwa sebagian besar warganya memilih bekerja di luar negeri sebagai TKW, sementara kaum laki-laki umumnya menjadi anak buah kapal dan berlayar berbulan-bulan di laut lepas. Kondisi ini, menurutnya, telah berlangsung selama bertahun-tahun dengan akar persoalan yang sama, yaitu tekanan ekonomi.

“Kebanyakan warga Kutawaru hanya sekolah sampai SMA, bahkan ada yang SMP. Ini yang membuat warga Kutawaru tak punya banyak pilihan pekerjaan untuk menyambung hidup,” kata Edy.

20251031 _ Anggota Mamaku di Kampung Kepiting Kutawaru Cilacap
CEK KERAMBA - Anggota Mamaku mengecek keramba plastik yang berisi kepiting di kawasan Kampoeng Kepiting, Kutawaru, Cilacap, Kamis (11/9/2025). Berkat konsevasi mangrove, warga yang didominasi eks-TKW dan eks-ABK bisa mengais rezeki.

Inovasi Kampoeng Kepiting

Rato, ketua kelompok masyarakat tersebut bercerita, berdirinya kampung tersebut satu di antaranya didasari adanya permasalahan lapangan pekerjaan dari para eks-TKW dan eks-ABK.

Dari permasalahan tersebut, akhirnya PT Pertamina (Persero) masuk melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) yakni dengan mendukung berdirinya Kampoeng Kepiting.

“Karena ada potensi lokal di mana di sini ada karena secara geografis kita dikelilingi laut. Sehingga potensi terutama di budidaya Kepiting cangkang lunaknya ini diangkat. Akhirnya ada atau terbentuk adanya Kampoeng Kepiting di Kelurahan Kutawaru,” kata Rato.

Dalam dukungannya, Pertamina tak hanya memberikan dukungan pendanaan melainkan juga pendampingan.

“Kita memang ada pelatihan-pelatihan, diawali dari pelatihan. Terus memang melihat potensi-potensi yang ada di daerah kami dan ketika kami ada potensi yang bagus kita memang ke CSR Pertamina untuk mengajukan usulan sesuai dengan potensi yang ada di wilayah kami,” ujarnya.

Dengan begitu, Kampoeng Kepiting memiliki model bisnis budidaya kepiting dengan berbagai macam inovasi. Setelah itu, kepiting yang dihasilkan dijual sebagai hidangan yang menjadi kuliner khas Kampoeng Kepiting.

Terkait dengan inovasi, Rato juga bercerita bahwa saat ini di Kampoeng Kepiting terdapat budidaya kepiting cangkang lunak dengan metode ‘rusun tinggi’. Metode ini merupakan budidaya menggunakan boks-boks atau galon bekas bertingkat sehingga kepiting bisa dibudidayakan secara lebih fleksibel.

Pengairan dengan metode budidaya ini didapatkan dari listrik ramah lingkungan yakni Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Sejumlah solar panel berjejer rapi di dekat ‘apartemen’ kepiting dan dibersihkan secara rutin.

“Sehingga, masyarakat di sini bisa mengembangkan budidaya kepiting tidak hanya di tambak, tapi di emperan rumah, di belakang rumah, bahkan ibu-ibu sendiri itu bisa merawat, bisa memberi pakan dan panen,” cerita Rato.

Dengan adanya inovasi tersebut, Rato juga berharap akan banyak lapangan kerja baru yang tercipta di sana. Selain itu, inovasi yang dilakukan terkait budidaya kepiting yakni metode penangkapan baru menggunakan botol bekas untuk menangkap beberapa hewan lain dan bukan hanya kepiting yang ada di tambak.

Inovasi tersebut diberi nama sebagai ‘wadong bahan bekas’.

“Nah itu menjadi alat tangkap inovasi kita, sehingga yang tadinya wadong itu cuma bisa menangkap kepiting, tapi dengan wadong bahan bekas ini bisa menangkap ikan, udang, bahan kepiting,” kata Roto.

Tanggung Jawab Kemandirian

Kilang Pertamina Internasional, anak usaha PT Pertamina (Persero) yang bergerak di bidang pengolahan minyak dan petrokimia, terus menjalankan bisnisnya sesuai prinsip Environment, Social, and Governance (ESG).

Sebagai anggota United Nations Global Compact (UNGC), KPI berkomitmen pada sepuluh prinsip universal dalam menjalankan operasionalnya. KPI bertekad menjadi perusahaan kilang minyak dan petrokimia berkelas dunia yang tidak hanya menghasilkan energi, tetapi juga menyalakan kemandirian seperti yang kini menyala di Kutawaru.

Area Manager Communication, Relations, and CSR Kilang Cilacap, Cecep Supriyatna menjelaskan bahwa pendekatan awal kepada warga Kutawaru telah dilakukan sejak 2018.

“Kami mulai melakukan social mapping di Kutawaru dan menemukan adanya sejumlah permasalahan di sana, diantaranya banyak mantan pekerja migran dan anak buah kapal yang hidup dalam kondisi kekurangan,” ungkap Cecep.

Cecep menjelaskan, kondisi geografis turut memperburuk situasi di Kutawaru. Meski lokasinya tidak terlalu jauh dari pusat Kota Cilacap, kelurahan ini terpisah oleh Sungai Donan.

Akibatnya, akses menuju Kutawaru harus ditempuh dengan perjalanan darat berputar ke arah utara, memakan waktu sekitar dua setengah jam.

“Lokasi Kutawaru seperti tidak menyatu dengan Cilacap, padahal sebenarnya kelurahan itu masih di dalam Pulau Jawa,” jelas Cecep.

Melihat kompleksitas persoalan sosial dan ekonomi di Kutawaru, Kilang Pertamina Internasional (KPI) melalui Unit Cilacap menggagas Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Persiapan dilakukan secara menyeluruh, mulai dari perencanaan hingga pelatihan untuk meningkatkan keterampilan warga.

Pada 2020, lahirlah Program Mamaku sebagai langkah konkret untuk memberdayakan masyarakat.

Kepemimpinan program dipercayakan kepada Rato, putra asli Kutawaru yang ditunjuk sebagai ketua kelompok sekaligus local hero.

Dia bertugas mengorganisir warga agar terlibat aktif dalam berbagai kegiatan Mamaku, yang mencakup beberapa subprogram: Kampoeng Kepiting sebagai pusat wisata kuliner berbasis hasil laut, Bank Sampah Abhipraya yang fokus pada pengelolaan lingkungan, dan Pasar Amarta yang menggerakkan ekonomi lokal berbasis UMKM.

Prinsip keterbatasan bukanlah penghalang untuk mencapai kemandirian dijalankan Kilang Pertamina Internasional (KPI) dalam upaya memberdayakan masyarakat Kelurahan Kutawaru, Cilacap. Melalui program terintegrasi, Kilang Cilacap menghadirkan inisiatif yang mendorong masyarakat agar lebih mandiri.

Kini, kawasan pesisir yang dulu gersang kembali hijau. Hutan mangrove tumbuh rimbun, dan hasil laut pun melimpah. Warga yang semula hanya bergantung pada nelayan tradisional kini memiliki sumber penghasilan tambahan dari budidaya silvofishery.

Kalau dulu hasil tangkapan tidak menentu, sekarang lebih stabil. Alam terjaga, ekonomi juga ikut membaik.

Program silvofishery ini tak hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang warisan untuk generasi mendatang. Anak-anak pesisir kini tumbuh dengan melihat bagaimana orangtuanya menjaga laut dan hutan.

Mereka belajar bahwa rezeki bisa datang tanpa harus merusak alam, bahwa laut dan hutan memang diciptakan untuk saling melindungi. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.