TRIBUN-BALI.COM - Akibat subduksi lempeng Indo-Australia dan Eurasia di selatan Pulau Bali, membuat wilayah pesisir selatan Bali, termasuk Kelurahan Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, merupakan salah satu kawasan dengan potensi tinggi terhadap gempa bumi dan tsunami.
Soekarno Saputra, Pranata Muda Geofisika (PMG) Pusat Gempa Bumi BMKG Regional III Denpasar, memaparkan berdasarkan peta potensi gempa yang disusun Pusat Gempa Bumi Nasional tahun 2017, Bali memiliki segmen megathrust aktif yang berpotensi menimbulkan gempa berkekuatan hingga Magnitudo 8,5.
“Kalau dilihat dari potensi tsunami di wilayah Bali, karena zona subduksi itu berada di selatan dan letaknya di laut, maka bisa mengakibatkan tsunami. Dengan magnitudo 8,5, daerah Serangan dan Sanur bisa menghadapi potensi tsunami dengan ketinggian sekitar 6 sampai 10 meter,” ungkapnya, Jumat (31/10).
Ia menegaskan, kondisi tersebut menjadi alasan penting agar setiap pembangunan di kawasan pesisir—terutama di wilayah rawan seperti Serangan—harus dikaji secara menyeluruh dan melibatkan para ahli kebencanaan dan lingkungan.
“Setidaknya, ketika dilakukan pembangunan di daerah yang rawan gempa, perlu dikaji ulang dan melibatkan pakar. Jadi ketika terjadi sesuatu, risikonya bisa diminimalkan,” ujar Soekarno.
Peringatan tersebut menjadi relevan dengan munculnya wacana pembangunan di sekitar perairan Serangan.
Dari perspektif mitigasi bencana, proyek di kawasan pesisir yang memiliki potensi gempa megathrust perlu melalui kajian risiko geologi dan tsunami yang komprehensif, agar tidak menambah kerentanan wilayah.
Sementara itu, wilayah Serangan sendiri telah memiliki Tempat Evakuasi Sementara (TES) Tsunami dengan ketinggian sekitar 12 meter di Lapangan Serangan.
Selain itu, simulasi “Gempa dan Tsunami” juga rutin dilaksanakan oleh masyarakat, sekolah, dan lembaga kebencanaan untuk meningkatkan kesiapsiagaan.
Kepala Pelaksana BPBD Denpasar I.B. Joni Ariwibawa sebelumnya juga menegaskan bahwa Serangan termasuk kawasan dengan tingkat ancaman tsunami tinggi.
“Di jarak 200 kilometer selatan Bali terjadi pertemuan lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia. Jika terjadi gempa megathrust Magnitudo 8,5, tinggi gelombang tsunami bisa mencapai 6 hingga 10 meter,” ujarnya.
Menurut Joni, masyarakat harus memahami konsep “golden time”, yakni waktu sekitar 13–14 menit yang tersedia untuk evakuasi sebelum tsunami tiba di daratan. Dengan kecepatan gelombang 500–600 km/jam, tsunami dapat mencapai pantai Bali dalam waktu kurang dari 30 menit.
BMKG menekankan pentingnya edukasi dan latihan berkala di wilayah pesisir untuk menghadapi kemungkinan terburuk.
Serangan, Sanur, dan kawasan pesisir Denpasar Selatan lainnya dinilai sudah memiliki sistem peringatan dini serta jalur evakuasi, namun upaya sosialisasi harus terus diperkuat.
“Kita sudah bekerja sama dengan BPBD dan beberapa instansi terkait, termasuk memasang sistem warning receiver di beberapa titik, agar informasi gempa bisa cepat sampai ke masyarakat,” tambah Soekarno.
Dengan kondisi geologi seperti itu, setiap rencana pembangunan di pesisir selatan Bali, termasuk proyek pembangunan berskala besar seperti perairan Serangan, perlu benar-benar mempertimbangkan aspek kebencanaan.
Prinsip kehati-hatian menjadi kunci agar pembangunan tetap sejalan dengan keselamatan dan keberlanjutan lingkungan Bali. (sar)