Saat tubuh bergerak, otak mereka pun ikut tumbuh; saat tertawa bersama, jiwanya belajar menyatu. Tak ada algoritma yang bisa menggantikan pengalaman itu.
Jakarta (ANTARA) - Di tengah gegap gempita membangun masa depan digital, kita kerap lupa memastikan apakah anak-anak masih punya masa kecil yang utuh?
Anak-anak kita tertawa tanpa teman. Suara riuh yang dulu menggema di halaman, kini berganti dengan dengung kipas gawai dan cahaya layar yang jarang jeda.
Masa kecil, yang seharusnya penuh debu, peluh, dan teriakan “lagi!...lagi!”, kini dikemas dalam bentuk level, poin, dan notifikasi.
Dunia digital menjanjikan keasyikan tanpa batas, tapi diam-diam menelan keriangan yang dulu terasa sederhana tapi begitu manusiawi.
Ironisnya, di tengah kehilangan itu, justru di berbagai forum resmi, industri gim sering dielu-elukan sebagai bukti kemajuan bangsa.
E-sport dijadikan simbol prestasi, bukan lagi sekadar permainan. Program pelatihan dan festival digital digencarkan dengan semangat nyaris heroik, seolah layar adalah medan juang baru bagi generasi muda.
Tak keliru memang, sebab ekonomi kreatif perlu tumbuh. Namun, di antara gemerlap jargon digital, acap terlupa bahwa anak-anak bukan basis pengguna, mereka manusia kecil yang masih butuh tanah untuk berlari dan teman untuk tertawa.
Kita hidup di zaman yang menukar ruang bermain dengan ruang daring. Halaman menjadi parkiran, lapangan jadi bangunan, dan interaksi berubah jadi koneksi.
Sementara kebijakan yang seharusnya menjaga keseimbangan justru ikut arus pasar dengan memuja profit dan melupakan makna. Seakan-akan, masa depan bangsa bisa diunduh, cukup dengan paket data dan sinyal kuat.
Baca juga: Menggeser kecanduan gawai lewat aktivitas "dolanan" anak di Cirebon
Sepertinya ada yang ganjil di sini. Ketika anak-anak tak lagi mengenal bagaimana rasanya menunggu giliran dalam permainan karet, atau belajar sportif dari gobak sodor. Maka yang hilang bukan hanya tradisi tapi pondasi empati.
Psikolog perkembangan Erik Erikson, perintis teori psikososial dari Harvard University, pernah menegaskan bahwa masa kanak-kanak adalah fase penting pembentukan identitas dan rasa percaya diri sosial. Ketika anak gagal berinteraksi secara nyata --berlari, bertanding, dan berbagi tawa--, ia kehilangan fondasi emosional yang menentukan arah kedewasaannya.
Fenomena ini menunjukkan betapa kemajuan tak selalu berarti kebahagiaan. Ada keriangan yang hilang di tengah hiruk pikuk teknologi; ada halaman yang sepi di tengah kota yang kian ramai.
Pemerintah boleh berbangga atas kemajuan digital. Namun, kemajuan sejati seharusnya menyentuh jiwa warganya, bukan sekadar menatap layar, melainkan menatap sesama.
Dan semua itu terjadi di tengah euforia digitalisasi yang terlalu sering disamakan dengan kemajuan.
Sebagai upaya menyeimbangkan arus tersebut, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) juga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) kini mulai menggencarkan kembali permainan tradisional melalui berbagai kampanye di sejumlah daerah.
Di Provinsi Jawa Tengah, ada kegiatan “Festival Anak” yang digelar oleh pemerintah daerah untuk mengenalkan permainan tradisional seperti lompat tali, yoyo, dan engklek kepada anak-anak.
Melalui program Gerakan Bermain Tradisional Indonesia, pemerintah mendorong sekolah dan masyarakat untuk membuka kembali ruang bermain anak di luar kelas, sekaligus melestarikan permainan rakyat agar tidak hilang di tengah gempuran gim digital.

Diganggu rindu
Barangkali, yang paling merindukan tawa anak-anak di halaman bukanlah rumput yang mulai jarang diinjak, melainkan kita para orang dewasa yang diam-diam kehilangan denyut masa kecil.
Dulu, tanah lapang menjadi ruang belajar paling jujur: tempat anak-anak mengenal arti kalah, berlatih sabar, dan memahami makna kebersamaan tanpa perlu definisi.
Kini, halaman itu berganti layar. Dunia maya menggantikan dunia nyata, dan keriangan pun tersandera dalam genggaman.
Hal yang lebih menyedihkan, banyak orang tua tak lagi peka terhadap kehilangan itu. Mereka bangga anaknya “melek digital” meski nyatanya semakin jauh dari kehidupan sosial.
Alih-alih mendengar suara tawa sore hari, yang terdengar hanya bunyi notifikasi dan percakapan daring tanpa tatapan.
Generasi yang lahir di antara sinyal kuat dan cahaya layar, tumbuh dengan kemampuan berkomunikasi yang rapuh. Mereka pandai berbicara lewat emoji, tapi gagap menatap mata sesamanya.
Untungnya, di sela-sela keheningan itu masih ada secercah harapan. Di berbagai daerah, komunitas dan kelompok masyarakat mulai berinisiatif menghidupkan kembali permainan tradisional, bukan sekadar demi nostalgia, tapi sebagai bentuk perlawanan kecil terhadap keterasingan modern.
Di Surabaya misalnya, Kampoeng Dolanan mengajak anak-anak bermain gobak sodor, lompat tali, hingga balap karung di ruang publik sebagai upaya melestarikan budaya bermain tradisional.
Sementara di Padang, Sumatera Barat, komunitas Amai Main rutin menggelar kegiatan Lapau Dolanan di ruang publik, mengenalkan permainan khas Minang seperti galah panjang, cak bur, dan coki-coki kepada anak-anak kota.
Di Kalimantan Barat, terdapat penelitian yang mendokumentasikan permainan tradisional anak usia dini seperti gasing, jajak sisir, ukau, jangkak tempurung, tapok beleg dan lain-lain.
Upaya itu mungkin tampak sederhana, tapi di situlah letak keberanian: menolak arus cepat zaman demi menjaga akar kebahagiaan masa kanak-kanak.
Rindu ini memang mengganggu, karena ia mengingatkan kita pada sesuatu yang seharusnya tak pernah hilang. Sebuah keriangan yang tumbuh dari interaksi, bukan koneksi.
Mari main
Kalaupun tidak bisa mengulang waktu, kita masih bisa memutar kembali kebahagiaan masa kecil lewat permainan sederhana yang sarat makna.
Tidak perlu menunggu realisasi program pemerintah atau sponsor korporasi; cukup halaman rumah, seutas tali atau sebatang bambu, dan sedikit kemauan untuk ikut tertawa bersama anak-anak.
Anak-anak masa kini mungkin tak lagi mengenal nama permainan egrang, bentengan, congklak, jangkak tempurung, atau galah panjang. Namun mereka tak akan menolak jika kita ajak mencoba, apalagi bila permainan itu dibungkus dengan kehangatan kebersamaan. Mereka hanya belum tahu rasanya bahagia karena berlari, bukan karena menang.
Psikolog perkembangan Jean Piaget, peneliti dari Universitas Genève yang dikenal lewat teori perkembangan kognitif anak, menegaskan bahwa anak belajar paling efektif melalui pengalaman konkret yakni dengan menyentuh, mencoba, dan berinteraksi langsung dengan lingkungannya.
Sementara Lev Vygotsky, ilmuwan psikologi asal Rusia yang meneliti di bidang konstruktivisme sosial, menyebut permainan sosial sebagai “laboratorium kehidupan”, tempat anak mengembangkan kemampuan bahasa, imajinasi, dan empati.
Saat tubuh bergerak, otak mereka pun ikut tumbuh; saat tertawa bersama, jiwanya belajar menyatu. Tak ada algoritma yang bisa menggantikan pengalaman itu.
Peran kita sederhana: hadir. Letakkan gawai sejenak, ajak anak menata kelereng, melempar bola, atau sekadar berlari mengejar bayangan senja. Tidak perlu teori pengasuhan anak yang rumit; cukup ikut tertawa bersama, lalu biarkan rumput kembali diinjak.
Dan bila suatu hari nanti anak-anak itu tumbuh dewasa, mungkin mereka akan tersenyum melihat halaman kosong, lalu berkata dalam hati: “Di sini dulu, aku pernah benar-benar bermain”.
Itulah momen ketika kita sadar bahwa kebahagiaan anak tak (sepenuhnya) perlu koneksi internet, hanya butuh riuh pergumulan sesama.








