Director of Nusantara Batavia International, Erwin Manalu coba merespons pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya yang sempat mengusulkan pemangkasan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN tahun depan.
"Satu, yang jelas kami akan ikuti keputusan pemerintah. Lalu yang kedua kami lakukan apa yang terbaik untuk konsumen, tapi sebenarnya kalau dari sisi pajak setiap Royal Enfield yang terjual banyak sekali yang disumbang ke negara," buka Erwin ditemui di Bogor belum lama ini.
Dirinya menjabarkan, seluruh produk Royal Enfield yang dijual di Indonesia berstatus completely built up alias CBU India. Maka itu cukup banyak instrumen pajak yang dikenakan, misalnya dari PPN, import duty, hingga luxury tax.
"Tetapi overall apa yang diputuskan pemerintah kami tetap ikut. Namun kalau bisa minta masukan, kami inginya supaya pasar tumbuh terlebih dahulu, maka pajaknya dibuat lebih pro bisnis," tambah Erwin.
Perbesar
Tampilan Royal Enfield 650 cc. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Sebagai agen pemegang merek (APM) Royal Enfield, Erwin mengaku penjualan motor gede atau moge dari pabrikan paling banyak ditopang dari seri bermesin 350 cc. Pihaknya berharap untuk kelas 500 cc ke bawah mendapat keringanan atau insentif khusus.
"Harapan bersama, kalau bisa 350 cc tidak kena pajak barang mewah. Tetapi kami akan terus ikuti kebijakan dan keputusan pemerintah," pungkasnya.
Senada dengan Erwin, Manager Public Relation, YRA & Community PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM), Rifki Maulana menilai segmen moge tertentu masih punya peluang besar di Tanah Air. Khususnya model yang sudah dirakit lokal.
"Kalau memang bisa diberikan relaksasi ya tentunya, meski market-nya niche ya. Tetapi kan tetap saja ada (pasarnya), terutama kelas Maxi kita yang ingin mencari level di atas lagi atau premium," katanya ditemui di Tokyo, Jepang belum lama ini.
Perbesar
PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) memulai produksi big bike Yamaha MT-07 untuk pasar ekspor di pabrik Pulogadung, Jakarta Timur. Foto: YIMM
"Mudah-mudahan ada relaksasi, terutama untuk produksi dalam negeri. Ya, supaya bisa menggerakkan konsumsi roda dua yang segmen atas juga dan beberapa kan sudah ada dibuat di Indonesia," terang Rifki.
Sinyal penurunan tarif PPN untuk tahun 2026 sempat digaungkan Menkeu Purbaya belum lama ini. Namun, realisasinya disebut belum akan terwujud dalam waktu dekat karena masih memantau perkembangan ekonomi nasional hingga akhir tahun ini.
"Kami akan lihat seperti apa akhir tahun, ekonomi seperti apa, uang saya yang saya dapat itu seperti apa sampai akhir tahun. Saya sekarang belum terlalu clear. Nanti akan kita lihat bisa enggak kita turunkan PPN,” terangnya saat konferensi pers APBN KiTa pekan lalu.
Purbaya menambahkan, kebijakan menurunkan PPN harus diputuskan dengan hati-hati supaya tidak mengganggu stabilitas fiskal. Dirinya menyebut rencana penurunan PPN diarahkan untuk menstimulasi konsumsi masyarakat.
“Itu untuk mendorong daya beli masyarakat nanti ke depan. Tapi kita belajar dulu, hati-hati,” imbuhnya.
Sebelumnya, pemerintah justru hendak menaikkan tarif PPN dari 11 menjadi 12 persen. Namun, gagasan tersebut akhirnya dibatalkan setelah mendapat penolakan dan aksi demonstrasi dari masyarakat luas.