Jakarta (ANTARA) - Tradisi banyumasan merujuk pada wilayah eks Karesidenan Banyumas, dengan Kota Purwokerto sebagai pusatnya.
Tradisi banyumasan merupakan sub-kultur tersendiri, selain dialek, juga berbeda dalam perilaku dengan kultur Jawa mataraman (merujuk Yogyakarta dan Solo).
Bahasa Jawa dialek banyumasan tidak ada strata, seperti kromo inggil (bahasa tinggi) dan ngoko (bahasa pergaulan), dan itu berdampak pada perilaku warga pendukung tradisi banyumasan, yang dianggap lebih terbuka dan egaliter.
Wilayah dengan kultur seperti inilah yang menjadi asal-usul lelulur Presiden Prabowo Subianto. Sudah sejak lama Prabowo selalu menyatakan dirinya sebagai "wong Kebumen” (asli orang Kebumen).
Secara administratif wilayah eks Keresidenan Banyumas, meliputi Kota Purwokerto, Purbalingga, Banjarnegara, dan Cilacap.
Namun tradisi banyumasan juga menjangkau sampai Kebumen, yang secara administratif sebenarnya masuk wilayah eks Keresidenan Kedu (Magelang dan sekitarnya).
Dalam komunikasi sehari-hari, dialek banyumasan memang digunakan warga Kebumen, yang biasa dikenal sebagai dialek ngapak.
Itu sebabnya leluhur Prabowo dari garis ayah, bila ditelusuri secara kultural, masih termasuk dalam lingkup tradisi banyumasan.
Figur militer
Kebumen memiliki posisi tipikal dalam sejarah kemiliteran di Tanah Air, salah satunya berkat keberadaan Gombong, kota kecamatan yang masuk Kabupaten Kebumen, yang terletak di timur Kota Purwokerto.
Di Gombong pernah berdiri lembaga pendidikan bagi calon anggota KNIL, tentara reguler Hindia Belanda.
Keberadaan Gombong sebagai pusat latihan calon anggota KNIL, mengingat sejak lama warga asal Banyumas dan Kedu (terutama Purworejo dan Kebumen), dikenal sebagai sumber rekrutmen bagi calon anggota KNIL.
Sampai sekarang pun, di lokasi yang sama masih berdiri Secata (sekolah calon tamtama) TNI AD, di bawah Rindam IV/Diponegoro. Penulis, yang kebetulan merupakan warga asli Gombong, masih bisa merasakan atmosfer kultur kepahlawanan khas banyumasan.
Dari sinilah tradisi kepahlawanan perwira asal Banyumas bermula, dan pada satu masa sangat mewarnai pembangunan lembaga militer, utamanya pada unsur pimpinannya.
Di masa awal republik, beberapa tokoh militer asli banyumas begitu mewarnai dan masih menjadi figur panutan sampai hari ini, seperti Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Jenderal Gatot Subroto.
Soedirman kelahiran Purbalingga, dan dibesarkan di Cilacap, sementara Jenderal Gatot Subroto asli Sokaraja (Purbalingga). Jenderal Gatot Subroto adalah Pangdam IV/Diponegoro yang pertama, dan karir terakhirnya menjabat Wakil KSAD pada awal 1960-an.
Di masa Orde Baru, perwira asal Banyumas tetap memberikan kontribusi signifikan, seperti Jenderal Soerono dan Letjen Soesilo Soedarman, dua perwira tinggi yang sangat dipercaya Presiden Soeharto.
Jenderal Soerono sempat menjadi KSAD dan Wapangab (sekarang Wapang TNI). Sementara capaian penting Soesilo Soedarman adalah ketika dipercaya menjadi Menparpostel (Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi), sebuah nomenklatur baru dalam kabinet saat itu, yang kini secara kelembagaan sudah lebih berkembang.
Sementara dari Polri ada nama Irjen Pol M Omar Qatab (1912-1968), seorang tokoh Polri kelahiran Purwokerto.
Omar Qatab dikenal sebagi perintis atau pendiri lembaga intelijen Polri (Baintelkam Polri), yang di masa lalu lebih dikenal sebagai PAM (Pengawas Aliran Masyarakat) atau DPKN (Dinas Pengawas Keamanan Negara).
Wajar bila sosok Omar Qatab mungkin kurang familier bagi masyarakat luas, itu sesuai dengan posisinya sebagai seorang intel sejati. Publik kemudian lebih mengenal Omar Qatab sebagai ayah dari komedian terkenal Indro Warkop.
Dari generasi yang lebih muda kemudian, salah satunya terdapat nama Letjen TNI Dading Kalbuadi (meninggal 1999), seorang komandan pasukan yang sangat karismatik.
Mungkin sudah kehendak sejarah, Dading muncul di saat TNI membutuhkan komandan lapangan untuk operasi penyerbuan ke Timor Timur.
Pada pertengahan dekade 1970-an, ketika militer Indonesia bersiap menginvasi wilayah Timor Timur (Timor Leste), muncul figur Dading Kalbuadi sebagai perwira penerus tradisi banyumasan.
Panglima atau komandan operasi di Timor Timur selalu berganti, tetapi rasanya hanya Dading yang selalu tersimpan di memori publik. Nama Dading sempat viral di media arus utama dan media sosial beberapa waktu lalu ketika foto dirinya terlihat di ruang kerja Menhan (saat itu) Prabowo.
Rupanya Dading adalah salah satu figur panutan Prabowo, selain sebagai mantan atasan di Korps Baret Merah, dalam pandangan Prabowo, figur Dading juga merupakan teladan dalam aspek pengabdian dan berperilaku.
Margono dan Pak Cum
Latar belakang kultural Prabowo dalam konteks tradisi banyumasan bisa ditelusuri dari ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, yang dikenal sebagai ekonom senior, mantan menteri, dan intelektual yang mendirikan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI.
Pak Cum (panggilan akrab Sumitro) dalam sebuah wawancara khusus dengan media nasional tahun 1990-an, secara berkelakar sekaligus bangga, menyatakan dirinya sebagai orang Banyumas. Pak Cum kelahiran Kebumen, 29 Mei 1917.
Menjelang kemerdekaan, Pak Cum pulang ke tanah air, selepas studi di Belanda dan Prancis, dengan membawa semangat baru bahwa Indonesia harus membangun sistem ekonomi yang berpihak pada rakyat.
Pembangunan, menurut dia, tak cukup dihitung dengan angka-angka, melainkan harus terasa dalam keadilan yang nyata.
Dari Kebumen ke Rotterdam, dari halaman rumah sederhana hingga ke panggung Republik, Pak Cum tumbuh sebagai teknokrat sekaligus pemikir kesejahteraan rakyat.
Pilihan topik disertasi Pak Cum mencerminkan kedekatan gagasannya dengan realitas rakyat. Pak Cum sempat terpengaruh ayahnya (RM Margono Djojohadikusumo), yang merupakan seorang pelopor gerakan koperasi.
Pada awalnya, Soemitro lebih tertarik pada upaya perbaikan kesejahteraan kaum bumiputra melalui koperasi pada masa Depresi Besar tahun 1930-an, yang kebetulan menjadi tema disertasinya di Universitas Rotterdam, yang berjudul Het Volkscredietwezen in de Depressie (1943).
Sumitro mendukung koperasi sebagai solusi potensial untuk mengangkat taraf hidup komunitas petani dan pedagang lokal menjadi pelaku ekonomi skala kecil yang lebih independen.
Di usia yang masih belia, awal dekade 1950-an, Pak Cum berada di pusat kekuasaan. Kursi menteri, yang bagi sebagian birokrat adalah puncak karier, justru dipandangnya sebagai ladang pengabdian.
Bagi Pak Cum, jabatan hanyalah jalan, bukan tujuan. Pak Cum dikenal sebagai sosok teknokrat visioner. Kekuasaan tidak pernah membuatnya silau.
Dalam beberapa kesempatan, ketika idealismenya bertabrakan dengan kepentingan politik, Pak Cum memilih mundur. Sebuah sikap yang sudah jarang ditemui di panggung politik
Saat menjadi anggota kabinet, Pak Cum meluncurkan Rencana Urgensi Perekonomian atau Sumitro Plan pada April 1951, yang berfokus pada industri sebagai landasan untuk memperkuat sektor kewirausahaan pribumi dan mendorong pertumbuhan modal domestik.
Selain dibentuk panitia industrialisasi yang menetapkan tiga tujuan utama pembangunan industri, yaitu struktur ekonomi yang berimbang, penyerapan populasi yang terus bertumbuh dalam sektor produktif, dan peningkatan pendapatan nasional.
Legacy terbesar Pak Cum terletak pada proyek-proyek teknokratiknya, yang mendapat dukungan kelembagaan dan sponsorship dari lembaga think tank di Amerika Serikat.
Pada 1956, selaku pendiri dan Dekan FEUI (kini FEB UI), Pak Cum mengirim murid-murid terbaiknya, seperti Widjojo Nitisastro, M Sadli, dan Emil Salim ke Universitas Berkeley, California, AS.
Para ekonom murid Pak Cum ini, selepas menyelesaikan studinya di Berkeley, kemudian menjadi kelompok inti pemikir pembangunan di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan juga penasihat utama bidang ekonomi bagi Presiden Soeharto pada awal Orde Baru.
Pembangunan ekonomi
Tokoh berikutnya adalah RM Margono Djojohadikusumo, kakek Presiden Prabowo, yang dikenal sebagai pendiri, sekaligus Direktur Utama (Presiden Direktur) pertama dari Bank Negara Indonesia (BNI) pada tahun 1946.
Itu sebabnya pada suatu masa, BNI ini pernah memiliki sebutan BNI 46, yang merujuk pada tahun pendiriannya, tepatnya pada 5 Juli 1946 di Yogyakarta.
BNI didirikan berdasarkan gagasan Margono pribadi, bagaimana caranya agar dapat berkontribusi bagi pembangunan ekonomi Indonesia, sebuah negeri yang baru lepas dari era kolonial.
Untuk pembangunan ekonomi tersebut, Margono berpendapat, diperlukan infrastruktur yakni sebuah institusi perbankan nasional.
Mengingat tidak ada satu pun bank nasional yang melayani transaksi perdagangan internasional, itu sebabnya Margono bertekad untuk mendirikan bank nasional, sebagai simbol kedaulatan moneter bagi bangsa yang baru merdeka.
Para tokoh pergerakan Indonesia dan teman-teman segenerasinya, termasuk mereka yang lebih muda, dengan yakin menyebut Margono juga sebagai pelopor gerakan koperasi, selain nama Bung Hatta.
Apa yang pernah dia pikirkan soal koperasi, kini hidup lagi. Pemerintah sedang membangun koperasi desa atau koperasi kelurahan Merah Putih demi memperluas akses ekonomi masyarakat perdesaan.
Margono adalah sosok yang tidak hanya melahirkan ide, tetapi juga turun langsung mewujudkannya.
Di masa kini, sosok hebat seperti Margono, Pak Cum, dan lain-lain adalah para sosoh pahlawan yang atas kontribusinya dalam membangun sistem ekonomi nasional yang berdikari, pemikiran mereka tetap aktual, terlebih ketika Indonesia sedang berasa di era digital saat ini.
*) Penulis adalah Dosen UCIC, Cirebon.







