Menjadi pahlawan masa kini itu sederhana. Asal mau peduli, asal mau melangkah
Purbalingga (ANTARA) - Kabut tipis menari di antara batang kopi dan kapulaga yang berbaris di lereng perbukitan Kabupaten Purbalingga yang berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, ketika sejumlah relawan melintasi kawasan itu.
Embun pagi belum kering ketika sebuah mobil bak terbuka yang membawa relawan itu berhenti di tanjakan tanah yang licin. Di mobil itu, tersusun rapi kardus-kardus berisi sepatu.
Ketika para relawan turun dari mobil, sebagian menenteng kotak, sebagian menatap jalur sempit yang harus mereka lalui dengan langkah hati-hati.
Minggu di awal November itu, jalan menuju SD Negeri 2 Karangbawang di Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, bukan sekadar perjalanan fisik. Ia adalah perjalanan tentang kepedulian, ketulusan, dan keyakinan bahwa setiap langkah kecil mampu menyalakan harapan.
Sekolah itu berdiri di ujung batas antara Kabupaten Purbalingga dan Banjarnegara. Di sanalah, di balik bukit yang diselimuti kabut dan sunyi, puluhan anak setiap pagi melangkah tanpa keluh menuju tempat belajar. Sebagian dengan sepatu yang sudah tak berbentuk, sebagian lain hanya bersandal jepit, bahkan ada yang bertelanjang kaki.
Menembus sunyi
Perjalanan ke Karangbawang tidaklah mudah. Jalanan sempit berliku dan turunan curam menjadi rintangan yang seolah menguji keteguhan para relawan Sedekah Sepatu.
Di kanan kiri, jurang dan kebun kopi maupun kapulaga terbentang, mengiringi deru napas mereka yang sesekali terhenti.
Namun semua lelah itu lenyap ketika suara anak-anak mulai terdengar dari kejauhan. Suara riuh yang jujur, tawa yang belum terjamah banyak hal, seolah menjadi musik penanda bahwa mereka sudah dekat.
Begitu mobil berhenti di halaman sekolah, anak-anak langsung berlarian menyambut. Beberapa berdiri rapi di barisan, seragam mereka telah memudar, namun wajah-wajah itu berseri, penuh antusiasme karena di mata mereka, relawan bukan sekadar tamu, tetapi pembawa kebahagiaan.
“Sebagian besar anak di sini jalan kaki sekitar satu kilometer dari rumah. Kadang melewati jalan berbatu, kadang berlumpur. Sepatu mereka cepat rusak,” kata Messi, guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang mengajar di sekolah itu.
Ia bicara dengan nada pelan, namun matanya berbinar ketika menatap murid-muridnya. “Mereka ini anak-anak luar biasa. Tidak pernah mengeluh, meski serba terbatas. Setiap pagi mereka datang, senyum dulu baru belajar," katanya.
SDN 2 Karangbawang memiliki 67 siswa. Ruang kelas sederhana, temboknya mulai berlumut, catnya pudar.
Namun di dalamnya tersimpan semangat yang tak pernah surut. Di papan tulis, tulisan kapur masih menempel dari pelajaran kemarin, tentang cita-cita dan perjuangan.
Salah satu siswi kelas 6, Sela Maytilawati, pernah menjuarai lomba tari tingkat kabupaten. Tak ada panggung megah di sekolahnya, tapi setiap kali musik diputar dari ponsel guru, Sela menari dengan sepenuh hati.
“Aku senang sekali dapat sepatu baru. Nanti kalau hujan, kakiku enggak basah lagi,” kata Sela polos dan penuh syukur.
Ucapan sederhana itu membuat para relawan terdiam sejenak. Di tengah segala keterbatasan, mereka belajar arti bahagia yang paling murni.
Gerakan Sedekah Sepatu berawal dari langkah kecil Yuspita Palupi, seorang warga Purwokerto. Dia pernah melihat seorang anak berjalan tanpa alas kaki menuju sekolah.
Dari peristiwa itu, dia tergerak. Bersama beberapa teman, dia mulai mengumpulkan sepatu layak pakai, mencucinya, membungkusnya kembali, dan mengirimkannya ke daerah pelosok.
Lima tahun berlalu, gerakan itu kini menjelma menjadi komunitas. Tanpa sponsor besar, tanpa organisasi resmi, hanya jaringan relawan yang percaya bahwa kebaikan bisa berjalan tanpa pamrih. Mereka datang dari berbagai latar belakang: guru, mahasiswa, karyawan, bahkan ibu rumah tangga.
“Kami ingin anak-anak ini tahu bahwa ada yang peduli, bahwa mereka tidak sendiri. Sepatu bagi mereka mungkin hanya benda, tapi bagi kami, itu simbol masa depan,” kata Yuspita.
Ia bercerita bahwa pemilihan lokasi Karangbawang bukan kebetulan. “Kami ingin menyalakan cahaya di batas-batas negeri, tempat di mana perhatian sering berhenti. Padahal di sanalah, masa depan bangsa juga sedang tumbuh,” kata dia.
Bagi Yuspita, bulan November bukan sekadar peringatan Hari Pahlawan. Ia pengingat bahwa kepahlawanan tidak selalu berarti berperang.
Kadang, ia hadir dalam bentuk langkah-langkah kecil di jalan berlumpur, atau dalam senyum anak-anak yang baru pertama kali memakai sepatu sekolah.
“Menjadi pahlawan masa kini itu sederhana. Asal mau peduli, asal mau melangkah. Kami tidak besar, tapi kami ingin jadi bagian kecil dari gerakan kebaikan negeri ini,” kata Yuspita.
Di halaman sekolah, relawan membagikan sepatu satu per satu. Anak-anak duduk berderet di lantai semen. Ada yang tertawa kecil saat sepatu barunya terasa licin, ada yang menepuk-nepuknya dengan lembut seolah takut kotor.
Beberapa memandangi sepatu itu lama sekali, seakan tak percaya. Lalu berdiri dan berlari kecil di tanah basah, meninggalkan jejak-jejak kecil berbentuk tapak baru.
Harapan di perbatasan
Bagi para guru, kedatangan relawan membawa napas baru.
“Sepatu ini membuat anak-anak lebih percaya diri. Sekarang mereka bakal lebih rajin datang, mereka merasa seperti anak-anak lain di kota,” kata Messi.
Menurut dia, perhatian dari luar membuat sekolah di pelosok seperti Karangbawang merasa tidak sendirian. “Kadang kami merasa jauh, tapi hari ini kami tahu bahwa negeri ini masih punya banyak hati yang peduli,” katanya.
Matahari siang mulai naik ketika acara selesai. Para relawan bersiap turun dari perbukitan. Jalan yang tadi licin kini mulai kering, tapi di hati mereka, ada sesuatu yang basah, rasa haru yang tak mudah dijelaskan.
Anak-anak berbaris di tepi halaman, melambaikan tangan. Di kaki kecil mereka, sepatu baru tampak kontras dengan tanah coklat Karangbawang.
Mobil perlahan melaju turun, meninggalkan debu tipis di udara. Di kejauhan, suara anak-anak masih terdengar, samar tapi jelas: tawa yang jujur, murni, penuh kehidupan.
Di balik perjalanan itu, ada pesan yang terus hidup, bahwa kebaikan tidak selalu datang dari yang besar, tapi dari hati yang berani melangkah. Dari relawan untuk negeri, dari sepasang sepatu untuk segenap harapan masa depan.
Mungkin jalan menuju perubahan masih panjang. Tapi di setiap langkah kecil yang menapak di tanah lembap Karangbawang, ada bukti bahwa negeri ini tetap hidup, karena masih ada yang peduli, masih ada yang berjalan bersama, dan masih ada yang menyalakan harapan lewat sepatu.







