TRIBUNJATENG.COM, SOLO - Seakan sudah menjadi bagian dari tradisi keraton, terutama masyarakat Jawa yang meyakininya, tanda-tanda alam kerap dimaknai sebagai sinyal spiritual. Tak terkecuali beberapa sebelum wafatnya Raja Keraton Kasunanan Surakarta Kanjeng Sinuhun Paku Buwana XIII.
Beberapa tanda yang menjadi sasmita (sinyal spiritual) itu di antaranya pohon tumbang, suara binatang malam, hingga perubahan cuaca secara mendadak atau tak seperti biasanya.
Dan tumbangnya pohon jambu mete di Pesanggrahan Langenharjo pada dua hari sebelum wafatnya PB XIII pun diyakini beberapa pihak menjadi peristiwa saling terkait.
Sekaligus pula itu sebagai pengingat kuatnya hubungan alam dan kehidupan spiritual masyarakat Jawa.
Seperti halnya yang disampaikan oleh KGPH Surya Wicaksana atau yang akrab disapa Gusti Neno.
Wafatnya Raja Keraton Solo, Kanjeng Sinuhun Paku Buwana XIII pada Minggu (2/11/2025) juga disebut telah menyisakan kisah yang sarat makna bagi keluarga dan masyarakat.
Sebelum sang raja mengembuskan napas terakhir, muncul tanda alam yang dianggap sebagai pertanda duka. Pohon tua tumbang di Pesanggrahan Langenharjo, Kabupaten Sukoharjo.
Adik PB XIII, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Surya Wicaksana atau yang akrab disapa Gusti Neno menuturkan, pohon besar yang tumbang itu adalah pohon jambu mete yang sudah berusia puluhan tahun.
“Pada 31 Oktober 2025, pohon itu tumbang saat hujan deras dan angin kencang. Menimpa bangunan semi permanen di dekat pendopo pesanggrahan,” ujar Gusti Neno seperti dilansir dari Kompas.com, Senin (3/11/2025).
Peristiwa pohon tumbang tersebut terjadi dua hari sebelum wafatnya Sinuhun Paku Buwana XIII.
Hal ini menimbulkan pembicaraan di kalangan masyarakat sekitar Keraton Solo dan Sukoharjo, yang mengaitkannya sebagai tanda alam atas kepergian sang raja.
“Memang biasanya di Pesanggrahan Langenharjo segala hal terkait alam itu memberikan semacam perlambang atau sinyal atau sasmita (tanda),” kata Gusti Neno.
“Iya apa tidaknya (kebenaran) itu tergantung masing-masing individu yang melihat lambang-lambang alam tersebut,” tambahnya.
Pesanggrahan Langenharjo merupakan tempat bersejarah peninggalan Paku Buwana IX, dibangun pada 1870 sebagai tempat semedi dan meditasi para raja Mataram Islam.
Lokasinya berada di Desa Langenharjo, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, sekira 10 kilometer atau 20 menit perjalanan dari Keraton Kasunanan Surakarta.
Tempat ini berdiri di tepi utara Sungai Bengawan Solo, dikelilingi pepohonan besar yang menambah kesan teduh dan sakral.
Masyarakat percaya bahwa Pesanggrahan Langenharjo kerap menampilkan fenomena alam yang dianggap sebagai pertanda spiritual, terutama menjelang peristiwa besar di lingkungan Keraton Surakarta.
Gusti Neno merupakan adik ke-27 dari PB XIII. Keduanya merupakan keturunan Paku Buwana XII yang memiliki 35 anak dari enam istri yang terdiri atas 15 putra dan 20 putri.
Sementara PB XIII adalah putra laki-laki tertua dari PB XII dan meninggalkan tujuh anak, termasuk KGPH Purbaya yang kini disebut sebagai putra mahkota penerus tahta.
Paku Buwana XIII wafat di RS Indriati Sukoharjo pada Minggu (2/11/2025) pukul 07.30 setelah mengalami komplikasi penyakit.
Jenazah dibawa ke Keraton Kasunanan Surakarta sekira pukul 10.45 menggunakan ambulans.
Rencananya, jenazah akan diarak menggunakan kereta kencana pusaka yang ditarik delapan kuda, menuju Loji Gandrung, sebelum melanjutkan perjalanan dengan ambulans ke Kompleks Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Adik kandung mendiang raja, KGPH Puger menjelaskan bahwa kereta kencana pusaka itu terakhir kali dipugar pada masa pemerintahan Paku Buwana X.
“Kereta jenazah digunakan untuk mengantar dari dalam keraton hingga keluar. Dari sini ke Ndalem Wuryoningratan, baru ganti ambulans,” ujar KGPH Puger.
Kereta pusaka tersebut disimpan di gedung penyimpanan kereta Talangpaten dan hanya digunakan saat mengiringi jenazah raja.
Setelah dimandikan, jenazah PB XIII disemayamkan di Masjid Pujosono, yang terletak di belakang Sasana Sewaka, sebelum diberangkatkan menuju Imogiri pada Rabu (5/11/2025).
Prosesi akan melewati Magangan dan Alun-alun Selatan (Kidul).
“Tidak ada prosesi adat khusus. Tata cara pemakaman raja pada dasarnya serupa dengan masyarakat umum, termasuk tradisi berobosan yang dilakukan di Paningrat."
"Hanya saja, lokasi pelaksanaannya berbeda,” jelas KGPH Puger.
Menurutnya, perbedaan utama adalah destinasi akhir pemakaman, karena raja memiliki masjid sendiri serta tempat khusus bernama Parasdya di kompleks makam.
Salah satu kerabat keraton, KPH Eddy Wirabhumi menuturkan bahwa PB XIII sempat dirawat beberapa kali dan kondisinya naik turun selama beberapa pekan terakhir.
“Cukup lama, sebelum Adang Dal beliau sempat masuk rumah sakit, kemudian lumayan sehat dan kondur (pulang)."
"Namun setelah acara Adang Dal itu, beliau sakit lagi, masuk lagi sampai sekarang,” ujar Eddy.
“Sebenarnya sudah lama beliau sakit. Terakhir komplikasi, termasuk gula darahnya tinggi dan seterusnya."
"Sudah sepuh juga,” tambahnya.
Paku Buwana XIII meninggal pada usia 77 tahun, setelah berjuang melawan komplikasi penyakit yang dideritanya. (*)
Sumber Kompas.com