Sumpah Pemuda 5.0: Meneguhkan Persatuan di Era Disrupsi
Content Writer November 03, 2025 06:32 PM

Oleh: 

Tatacipta Dirgantara

Rektor Institut Teknologi Bandung

TRIBUNNEWS.COM - Sumpah Pemuda 1928 bukan sekadar peristiwa sejarah, tetapi revolusi pemikiran. Kini, hampir satu abad kemudian, kita perlu membangun Sumpah Pemuda versi baru— yang meneguhkan persatuan di tengah disrupsi teknologi dan derasnya arus digitalisasi.

Kata “Indonesia” atau awalnya “Indu-nesia” pertama kali dikenalkan pada abad ke-19 oleh George Windsor Earl (1813–1865). Istilah ini bukan lahir dari panggung politik, melainkan dari ruang akademik. Sejak awal, nama “Indonesia” hadir sebagai hasil olah pikir ilmiah—bukan sekadar simbol geografis atau kultural. Artinya, bangsa ini lahir dari nalar pengetahuan dan kesadaran intelektual.

Karena itu, ketika para pemuda pada 28 Oktober 1928 berikrar satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa, mereka sesungguhnya tengah melakukan revolusi pemikiran. Mereka merumuskan konsep bangsa modern yang melampaui batas primordial—bukan berdasar ras, suku, atau agama, melainkan berdasar kesepakatan pada gagasan bersama.

Hampir satu abad kemudian, pertanyaan yang relevan untuk kita ajukan adalah:
Apa makna Sumpah Pemuda 1928 bagi generasi yang hidup di tengah revolusi teknologi hari ini?
Apakah Sumpah Pemuda hanya tinggal kenangan sejarah, atau masih menjadi kompas moral dan intelektual di tengah derasnya arus disrupsi digital, kecerdasan buatan, dan perubahan sosial yang kian cepat?

Sumpah Pemuda adalah deklarasi tentang identitas, persatuan, dan cita-cita bersama. Namun kini, dunia kita tidak lagi hanya dibatasi oleh daratan dan lautan, tetapi juga oleh algoritma, data, dan ruang maya. Dalam konteks ini, makna persatuan Indonesia perlu diperluas dan dimaknai ulang.

Persatuan di era digital bukan lagi hanya soal satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Kini, persatuan juga berarti satu visi kemanusiaan dan kebijaksanaan dalam menggunakan teknologi. Tantangan generasi hari ini bukan lagi hanya mempertahankan kedaulatan teritorial, melainkan memastikan agar kemajuan teknologi tidak menjauhkan manusia dari nilai-nilai kemanusiaannya.

Sembilan puluh tujuh tahun lalu, para pemuda mengikat diri dalam tekad bersama untuk mendirikan bangsa yang merdeka. Kini, tantangan kita adalah menjalin kesalingterhubungan cara berpikir dan berpengetahuan. Dunia pengetahuan semakin beragam. Pengalaman seorang anak di Aceh dan Papua tentu berbeda dengan anak di Jakarta Selatan. Namun, dari keberagaman itulah kita dapat menenun praktik berpengetahuan yang saling terhubung dan saling menghargai.

Keberagaman bukan sesuatu yang harus diseragamkan, apalagi dihapuskan. Ia adalah sumber daya intelektual dan budaya yang perlu dirayakan. Tugas generasi muda dan kaum terpelajar hari ini adalah membangun jembatan antara akal, rasa, nilai, budaya, dan rohani—sebuah tenun kesalingterhubungan yang memperkuat kebangsaan di tengah dunia yang serba terfragmentasi.

Dari kesadaran inilah lahir gagasan Sumpah Pemuda 5.0: sebuah gerakan moral dan intelektual baru bagi zaman baru. Generasi muda Indonesia tidak cukup hanya bersatu secara fisik dan emosional; mereka juga harus bersatu dalam pemikiran, ilmu, karakter, dan inovasi.

Kita hidup di masa ketika kecerdasan buatan dapat menulis puisi, mendiagnosis penyakit, bahkan mengambil keputusan ekonomi. Namun siapa yang menjamin bahwa kemajuan teknologi tetap berakar pada nilai kemanusiaan? Siapa yang memastikan bahwa sains dan inovasi berpihak pada keadilan sosial, bukan hanya efisiensi ekonomi?

Jawabannya ada pada kita—para akademisi, cendekiawan, dan pemuda terdidik bangsa.
Kitalah yang harus menulis bab baru Sumpah Pemuda, bukan dengan tinta di kertas, tetapi dengan karya, kebijaksanaan, dan tanggung jawab moral.

Sumpah Pemuda 5.0 bukan sekadar slogan inspiratif, melainkan panggilan zaman bagi dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan untuk:

  1. Menyatukan ilmu dan nilai, agar sains tidak kehilangan nurani dan kemanusiaan tidak kehilangan arah.
  2. Membangun kedaulatan ilmu dan teknologi, agar bangsa ini tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga pencipta.
  3. Menyemai kolaborasi lintas disiplin, sebab tantangan zaman tidak bisa diselesaikan oleh satu bidang ilmu saja.
  4. Menghidupkan semangat gotong royong berbasis pengetahuan, menjadikan inovasi sebagai amal, bukan sekadar kompetisi.

Bayangkan bila semangat Sumpah Pemuda dahulu berhenti pada perbedaan suku dan bahasa—mungkin Indonesia takkan lahir seperti hari ini. Begitu pula sekarang: jika semangat akademik berhenti pada sekat disiplin ilmu, maka kemajuan bangsa akan terhambat oleh batas-batas ego pengetahuan.

Sumpah Pemuda 5.0 menuntut kita untuk melintasi batas fakultas, batas profesi, bahkan batas generasi. Kita harus menghadirkan ilmu yang bukan hanya canggih, tetapi juga berakar pada realitas sosial dan berpihak pada kemanusiaan.

Sumpah Pemuda 1928 mengajarkan kita untuk menyatukan bahasa. Kini, Sumpah Pemuda 5.0 menuntut kita untuk menyatukan makna—makna tentang kemajuan yang berkeadilan, teknologi yang memuliakan manusia, dan ilmu pengetahuan yang menjadi cahaya, bukan senjata.

Teknologi mampu menghubungkan manusia dalam sekejap, namun hanya nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan yang dapat menyatukan kita secara sejati. Kita boleh berkompetisi dalam inovasi, tetapi tidak boleh kehilangan empati. Kita boleh membangun kecerdasan buatan, tetapi jangan kehilangan kecerdasan hati.

Generasi muda hari ini harus berani menegaskan sumpah baru:

  • Satu tekad untuk menegakkan ilmu yang memuliakan manusia.
  • Satu niat untuk menjadikan teknologi sebagai jalan menuju keadilan.
  • Satu semangat untuk membangun Indonesia yang berdaya, berkarakter, dan berdaulat melalui sains dan teknologi.

Bangsa besar bukan hanya bangsa yang bersatu dalam sejarah, tetapi bangsa yang mampu menyatukan masa depan.

Melalui seni, desain, teknologi, sains, dan kemanusiaan, kita dapat merekacipta tenun kesalingterhubungan Indonesia – sebuah bangsa yang cerdas, beradab, dan berkarakter.

Melalui jalan ilmu pengetahuan dan nilai kemanusiaan, kita dapat berdiri tegak di hadapan sejarah, melanjutkan estafet gagasan kebangsaan yang diwariskan oleh para pemuda 1928.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.