Odemus Bei Witono
TRIBUNNEWS.COM - Tanggal 4 November 2025, dari pagi hingga sore hari, saya diberi kesempatan belajar perihal penjaminan mutu internal yang diadakan oleh Asosiasi Sekolah Jesuit Indonesia di Kolese Kanisius, Jakarta, dengan narasumber: Dr. Johanes Pramana Gentur Sutapa.
Ada beberapa catatan setelah kegiatan yang boleh saya bagikan dari pembelajaran tersebut.
Wacana mengenai kualitas pendidikan sering kali didominasi oleh perdebatan di tingkat universitas, seolah-olah masalah mutu baru muncul di jenjang tinggi.
Padahal, fondasi kualitas sesungguhnya dibentuk, dipupuk, dan diperkuat di jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen).
Di sinilah Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) memiliki peran yang tidak hanya penting, melainkan krusial, beroperasi sebagai jantung yang memompa kesadaran akan kualitas ke seluruh bagian ekosistem sekolah.
SPMI merupakan penentu utama masa depan anak bangsa, sebab tanpa fondasi yang kuat di tingkat dasar, sulit mengharapkan keunggulan di jenjang selanjutnya.
Pembelajaran dan diskusi mendalam mengenai SPMI, sebagaimana diampu oleh berbagai lembaga dan praktisi pendidikan, selalu mengembalikan kita pada pertanyaan elementer: Apa itu mutu dalam konteks sekolah?
Mutu di sekolah tidak sekadar tentang perolehan nilai Ujian/ Assessment Nasional yang tinggi, prestasi sesaat, atau bahkan kemegahan fisik bangunan.
Jauh melampaui itu, mutu adalah kemampuan sekolah untuk secara sadar, sistematis, dan otonom mencapai atau melampaui standar-standar yang telah ditetapkan, berangkat dari cita-cita luhur sekolah itu sendiri, yang pada akhirnya terefleksi dalam kualitas lulusan yang utuh dan berkarakter.
Dalam konteks perubahan dunia pendidikan yang begitu cepat dan dinamis, sekolah dituntut tidak hanya menjalankan kurikulum formal, tetapi juga menawarkan kualitas bagus yang relevan dengan kebutuhan zaman.
SPMI kemudian menjadi mekanisme akselerasi yang perlu diimplementasikan.
Ia mendorong sekolah untuk tidak cepat merasa puas pada standar minimal yang ditetapkan pemerintah, melainkan terpicu untuk terus meningkatkan standar mutu internal secara berkelanjutan ( Continuous Quality Improvement ).
Proses peningkatan mutu holistik ini perlu dimulai dari perumusan cita-cita spesifik, unik, dan berbasis pada keunggulan lokal yang dimiliki sekolah.
Misalnya, sebuah sekolah dapat menetapkan keunggulan dalam pengembangan karakter religius, penguasaan keterampilan vokasi tertentu, atau keunggulan dalam bidang sains dan literasi.
Cita-cita yang tertanam kuat ini menjadi dasar fundamental untuk "mengkreasi" mutu, mengukur diri sendiri secara jujur, dan mempersiapkan lulusan yang siap menghadapi tantangan global dengan akar lokal yang kuat.
Proses penjaminan mutu terstruktur dan sistematis ini menuntut perhatian cermat pada seluruh siklus pendidikan yang berjenjang dan saling terkait, dimulai dari tahap paling awal.
Input yang jelas harus dijamin kualitasnya, meliputi kualitas guru yang kompeten, siswa yang termotivasi, sarana dan prasarana yang memadai, serta kurikulum kontekstual dan relevan.
Selanjutnya, perhatian beralih ke proses yang terkelola dengan baik. Ini mencakup penerapan pembelajaran aktif yang inovatif, kepemimpinan kepala sekolah yang visioner dan suportif, serta tata kelola administrasi yang transparan dan akuntabel.
Proses adalah arena utama di mana mutu sesungguhnya diciptakan.
Hasil dari proses yang terkelola dengan baik akan tampak pada output bermutu. Hal ini diukur melalui kompetensi akademik dan non-akademik siswa yang terukur, seperti kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan penguasaan keterampilan lunak.
Puncak dari siklus ini adalah outcome dan income (dampak). Outcome mengacu pada dampak lulusan di jenjang pendidikan selanjutnya, sementara income merujuk pada kontribusi positif lulusan di masyarakat dan dunia kerja.
Apabila seluruh tata kelola sekolah dilaksanakan dengan baik, dengan clear input, proses yang terkontrol, dan output yang terjamin, maka hasil lulusan berkualitas tinggi akan menjadi sebuah keniscayaan, bukan sekadar kebetulan.
Pemahaman mendalam mengenai SPMI mengajarkan kita untuk membedakan secara tegas antara kontrol kualitas dan penjaminan mutu.
Seringkali, mutu di sekolah disamakan dengan "sidak" atau kontrol kualitas yang bersifat reaktif, yaitu memeriksa kekurangan, kesalahan, atau pelanggaran setelah kegiatan terlaksana, atau bahkan hanya dilakukan menjelang akreditasi.
Padahal, hakikat sejati dari penjaminan mutu adalah pencegahan (prevention) yang terintegrasi di awal dan sepanjang proses.
Penjaminan mutu sejati merupakan implementasi filosofi Total Quality Management (TQM) di lingkungan sekolah.
Mutu menjadi komitmen yang dihayati dan dilaksanakan di segala aspek operasional sekolah, mulai dari guru yang secara teliti menyiapkan RPP yang berdampak, staf yang mengelola aset dan keuangan dengan integritas, hingga kepala sekolah yang memimpin visi dengan konsisten.
Tujuannya, yakni memastikan setiap unit dan individu dalam sekolah bergerak bersama, dengan kesadaran bahwa mereka menjadi bagian dari sistem mutu yang utuh.
SPMI menyediakan kerangka kerja yang solid untuk penjaminan mutu yang sistematis, melalui siklus terkenal PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, Peningkatan).
Dengan menjalankan siklus yang berkelanjutan ini, sekolah didorong untuk tidak bersikap pasif, yakni hanya menunggu penilaian eksternal (seperti akreditasi) untuk mengetahui posisinya. Sebaliknya, sekolah didorong untuk menjadi agen yang aktif, berinisiatif menavigasi, dan mengendalikan peningkatan mutunya sendiri setiap saat.
Pada akhirnya, kesuksesan implementasi SPMI adalah cerminan langsung dari komitmen, perubahan paradigma, sikap mental, dan etos kerja seluruh warga sekolah.
SPMI bukanlah sekadar urusan administrasi yang dibebankan pada tim penjaminan mutu yang terdiri dari beberapa orang, tetapi merupakan sebuah paket vital yang harus dihayati, diinternalisasi, dan dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, dan seluruh tenaga kependidikan.
Inti dari revolusi mental ini, yaitu perubahan paradigma dari sekadar "menggugurkan kewajiban" atau "memenuhi tuntutan birokrasi" menjadi "menciptakan keunggulan yang unik dan bermakna."
Kepala sekolah, guru, dan staf harus memiliki sikap mental untuk secara jujur mengevaluasi diri, mengakui kelemahan, dan menyusun perbaikan. Selain itu, diperlukan etos kerja yang disiplin, konsisten, dan bertanggung jawab dalam menjalankan standar yang telah disepakati dan ditetapkan.
SPMI memberikan otonomi berharga kepada sekolah untuk menjadi mandiri dan percaya diri dalam meningkatkan kualitasnya.
Dengan menginternalisasi siklus SPMI, sekolah dasar dan menengah dapat bertransformasi menjadi institusi yang berani menetapkan standar optimal bagi dirinya sendiri, menjamin mutu setiap hari, dan pada akhirnya, menghasilkan generasi penerus yang cerdas, kompeten, dan memiliki karakter luhur yang siap membangun masa depan bangsa.