Merdeka Listrik di Timur Indonesia: Kades Mattiro Ujung & Bidan Perbatasan Papua Nugini Jadi Saksi
adisaputro November 10, 2025 01:31 AM

TRIBUNWOW.COM – Di desa yang berada di tengah pulai kecil di Provinsi Sulawesi Selatan dan juga yang ada di perbatasan Papua Nugini jadi dua contoh wilayah timur Indonesia yang kini sudah merdeka listrik.

Bergulat lama dengan gelapnya malam tanpa penerangan, kini kisah itu bak seperti sudah tinggal kenangan dan cerita anak cucu mendatang.

Dengan suara bergetar, kisah itu dikupas oleh Kepala Desa Mattiro Ujung, Pulau Kapoposang, Kabupaten Pangkejene Kepulauan, Sulawesi Selatan, Hasanuddin.

Dan juga satu di antara bidan yang bertugas di rumah sakit yang ada di wilayah Distrik Boven Digoel, Papua Selatan yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini, Dwi Puji Rahayu.

Seraya mengingat cerita lama saat menceritakan, terdengar nada semangat dari keduanya saat mengungkapkan kisah perjuangan hidup tanpa maupun keterbatasan listrik kepada TribunWow.com via sambungan telefon, Kamis 6 Oktober 2025.

Merdeka Listrik di Pulau Kapoposang, Desa Mattiro Ujung Berkat Adanya PLTS

Di setiap sisi rumah, pemandangan pelita api tak terelakan di malam hari di Desa Mattiro Ujung Pulau Kapoposang.

Nyala api kecil bak menyambar tertiup angin sudah hal lumrah.

Angin sepoi-sepoi malam di dermaga yang juga khas dengan pedesaan jadi teman akrab masyarakat di Desa Mattiro Ujung.

Hingga akhirnya, indahnya Desa Mattiro Ujung tepatnya di Pulau Kapoposang pada malam hari mulai terlihat di tahun 2017 lalu.

“Sebelumnya tidak ada sama sekali penerangan, kecuali yang lentera atau, penerangan alternatif. Seperti di kampung-kampung gitu. Alhamdulilah tiga bulan setelah dilantik, kalau tidak salah, kami mendapatkan  informasi bahwa desa kami,di Pulau Kapoposang itu ternyata mendapatkan satu program dari kementerian ESDM yakni dapat pembangkit listrik tenaga surya,” jelas Hasanuddin kepada TribunWow.com.

Hasanuddin menceritakan, desanya tak pernah teraliri listrik sejak Indonesia merdeka tahun 1945 lalu.

Hal itu tak terlepas dari letak geografis Pulau Kapoposang yang berada jauh di pelosok.

“Sejak merdeka Indonesia kan kebutuhan dasar tentang listrik itu kan sama sekali hanya menjadi mimpi-mimpi dulu. Coba bayangkan, sudah berpuluh tahun Indonesia merdeka ini kan urusan listrik ini kan belum selesai-selesai juga kan?  Mungkin kendalanya kami yang pertama kami di Kepulauan yang jauh gitu,” lanjut Hasan.

Dalam proses pembangunannya, PLTS Kepoposang memakan waktu selama 3 bulan.

Dan baru bisa dinikmati masyarakat Pulau Kepoposang pada akhir 2017.

“Nah, di 2017 ini, kalau tidak salah kemarin pekerjaannya itu, di bulan 8, di bulan 7 itu, sudah mulai dikerjakan tiga bulan, tiga bulan pekerjaan itu, sampai selesai, Alhamdulillah, akhir 2017 kami sudah menikmati yang namanya penerangan listrik dari pembangkit listrik tenaga surya.  Dan itu kami nikmati sampai sekarang,” ungkapnya.

Untuk menjaga PLTS, Hasanuddin dan masyarakatnya di Pulau Kapoposang sepakat untuk membuat beberapa aturan.

Pembuatan aturan itu dilakukan karena berkaca dari beberapa PLTS lainnya yang seumuran namun sudah tak bisa digunakan karena pemakaian yang salah dan pemeliharaan yang tak maksimal.

 “Jadi, pembangkit itu kami nikmati sampai sekarang karena sebelum terlalu jauh kemarin di 2017 itu,  memang kami buatkan aturan, kesepakatan bersama, dengan bersama warga, masyarakat di sana. Karena kan ini, PLTS ini kan sangat rentang sekali. Sangat rentang ketika misalnya  pemeliharaannya tidak maksimal.”

“Karena ada beberapa PLTS yang sejenisnya, yang seumuran, itu tinggal sisa pembangkitnya aja sekarang, karena kenapa? Karena masyarakatnya mungkin tidak sama-sama menjaganya, dan pemakaiannya seenaknya.Sementara kita tahu bersama bahwa  PLTS ini kan terbatas gitu. Sebenarnya, kalau diperuntukkan untuk kebutuhan penerangan itu sudah lumayan, tetapi untuk yang lain-lainnya itu masih terbatas. Masih terbatas. Kemudian, elektronik-elektronik yang punya daya tinggi itu kan belum bisa,” terangnya.

Untuk pasokannya, masyarakat diberi target listrik di angka 450 watt.

Apabila ada masyarakat yang membutuhkan lebih, bisa mengajukan kelipatan di mana per 100 wattnya tambah biaya Rp 10.000.

“Jadi ada batasan-batasannya, untuk listrik subsidi, kita kasih target semua masyarakat standar listriknya di angka 400 watt tiap malam, apabila ada masyarakat yang membutuhkan lebih dari 400 itu, itu bisa mengusulkan tapi dikenakan kelipatan per 100 wattnya Rp 10.000, misal saya enggak cukup kalau 400 watt, karena saya mau menyalakan tv, maka tadinya yang standar Rp 30.000 naik e Rp 40.000, karena kan tidak kebutuhan listrik kita sama,” beber kades yang pernah viral karena datang ke pelantikan menggunakan sepeda kebo

Untuk pengaturannya, pasokan listrik bakal dimulai jam 17.00 WIB.

Habis atau tidaknya nanti akan secara otomatis bakal kembali diperbaharui 400 watt.

“Jadi isi ulang itu sudah terprogram, misalnya listrik saya di meteran 400 watt, misal habis atau tidak habis besok diperbaharui kembali ke 400 watt. Memang di shelter ini semua sudah terprogram, satu kali pencet sudah dialiri listrik dengan daya yang bervariatif, dimulai jam 5 sore. Meski begitu, di jam 5 sore itu masih diberikan kesempatan bagi yang masih memiliki kelebihan listrik yang semalam belum digunakan, jadi dia bisa memanfaatkannya untuk mencuci, atau mesin air yang mau dinyalakan, nanti jam 18.00 WIB itu semua diperbaharui, satu kali tembak semua terisi lagi,” imbuhnya.

Untuk kapasitas, PLTS di Pulau Kapoposang, Desa Mattiro Ujung memiliki daya 50 kWp yang diperuntukkan guna mengaliri 117 rumah dalam satu pulau.

Sinergi ESDM, Pemerintah Desa dan Antusiasme Warga

Dalam proses pembuatannya, Kementerian ESDM, pemerintah desa serta warga saling bersinergi satu sama lain.

Berawal dari pemerintah desa yang mendorong pengusulan program yang terus diajukan melalui birokrasi.

Hingga akhirnya, Kementerian ESDM memilih satu di antara desa penerima manfaat PLTS yakni Desa Mattiro Ujung, Pulau Kapoposang.

“Upaya itu terus didorong lewat pemerintah. Sehingga pada saat itu, ada pengusulan, terus diajukan hingga akhirnya satu di antara desa yang mendapatkan program tersebut ya desanya kami.”

“Mulai proses pendistribusian material hingga proses pekerjaan di lapangan ini itu keterlibatan masyarakat sangat aktif, kami di desa atau khususnya di pulau ini kan memiliki budaya gotong royong yang masih kental, bahkan jika saat itu tak diberikan upah pun masyarakat tetap semangat membantu serta memafisilitasi dengan tenaga, saat itu semua orang dewasa, anak-anak ikut membantu. Bahkan teknisi-teknisi yang memang sudah disiapkan itu kami betul-betul layani dan jamu dengan baik ,” ungkap pria yang sudah menjabat sebagai Kepala Desa Mattiro Ujung sejak 2016 silam.

Lebih lanjut, dalam menentukan lokasi pembangunan PLTS, pemerintah desa, masyarakat dan pihak Kementerian ESDM saling berkoordinasi satu sama lain.

Hingga akhirnya, lokasi pembuatan PLTS disepakati berada di tengah pulau yang bisa di akses dengan berjalan kaki oleh masyarakat Desa Mattiro Ujung. 

 “Jadi kebetulan kami punya pulau ini kurang lebih 3 km, punya bentuk memanjang, jadi titik PLTS ini kita sepakati untuk difokuskan tepat di tengah-tengah pulau agar tidak terganggu oleh aktivitas warga karena tidak berada di tengah-tengah pemukiman. Akses ke sana tidak menggunakan fasilitas apapun, jadi cukup jalan kaki,” ungkap pria yang asli kelahiran Pulau Kapoposang.

Lokasi itu juga memudahkan dua operator PLTS yang satu di antaranya merupakan penduduk asli Pulau Kapoposang untuk menjalankan aktivitas dan tugasnya.

“Lokasi di tengah pulau itu juga memudahkan akses para operator yang sudah dilatih dan diberikan pendidikan tentang bagaimana mengoperasikan PLTS, karena kan pengecekannya itu rutin dan berkala per 2 jam atau 3 jam

“Ada dua orang, satu orang itu sudah sejak awal sudah diperuntukkan untuk mengikuti kegiatan pelatihan karena masing-masing PLTS itu diminta satu orang. Kalau tidak salah waktu itu ada tujuh desa yang bersamaan mendapatkan PLTS,” jelasnya.

Untuk insentif kedua operator di ambil dari iuran masyarkat.

Di mana setiap bulannya, masyarakat diminta untuk membayarkan iuran sebesar Rp 30.000.

“Ada iuran tujuannya untuk memberikan insentif kepada dua orang operator ini. Kalau untuk besaran iurannya sekarang perbulannya di angka Rp 30.000. Tujuan lainnya digunakan untuk pembaruan alat-alat yang bersifat ringan seperti colokan dan lighting,” imbuhnya.

 Selain itu, dalam penggunaanya, PLTS di Desa Mattiro Ujung diperuntukkan untuk aliri listrik selama 24 jam melainkan hanya digunakan pada malam hari saja.

“Jadi PLTS ini bukan 24 jam, cuma malam hari, walaupun kemampuan daripada kita punya PLTS ini 24 jam tetapi dengan kesepakatan masyarakat kami kita manfaatkan di malam hari saja supaya yang pertama asas ketahanannya, mudah-mudahan barang ini bisa tetap awet. Kalau siang itu nggak ada tanpa listrik iya tanpa listrik kalau siang. semua di malam hari.”

PLTS untuk Dunia Pendidikan, Belajar Anak Tak Lagi Gelap

Merdeka listrik benar-benar dirasakan masyarakat di Desa Mattiro Ujung tepatnya di Pulau Kapoposang.

Mulai dari sektor pendidikan, ekonomi hingga teknologi benar-benar merasakan dampaknya.

Di sektor pendidikan, dulunya, anak-anak Desa Mattiro Ujung setelah isya memilih untuk tidur.

Gelapnya malam tanpa adanya penerangan jadi sebabnya.

Kini, gelapnya malam yang sudah diterangi berkat adanya PLTS dari Kementerian ESDM buat mereka bisa belajar untuk mempersiapkan materi sekolah di keesokan harinya.

“Paling mendasar salah satunya anak-anak di malam hari masih bisa aktif belajar anak-anak. Proses belajar kan di malam hari, sebelum ada listrik, mereka setelah shalat isya sudah pada tidur, sekarang malam hari mereka masih bisa aktivitas belajar di rumah,” bebernya dengan nada penuh semangat.

Nelayan Kuat, Roda Ekonomi Pesat &Teknologi Mulai Padat

Mayoritas masyarakat di Desa Mattiro Ujung yang berprofesi sebagai nelayan mengaku sangat merasakan dampak adanya PLTS.

Jika dulu nelayan harus mempersiapkan perlengkapannya di waktu subuh, kini, mereka bisa menyiapkan semuanya di malam hari.

“Masyarakat di sini kan mayoritas nelayan, jadi warga di sini bisa mempersiapkan perlengkapan tangkapnya pada malam hari, jadi subuh tinggal berangkat ke laut. Untuk kebutuhan nelayan, sekarang marak lampu-lampu untuk di cas, mereka semua memanfaatkan itu, jadi misalnya lampu yang portabel itu kan di cas dirumah terus dibawa ketika melaut. Dulu misalnya orang di laut, paling pake senter batrei itu, tapi itu kan sangat terbatas, misal per 5 hari atau 1 minggu harus ganti, sekarang kan enak, lebih efisien,” tulis jelas Hasanuddin.

Selain nelayan, roda ekonomi masyarakat juga turut berputar berkat adanya PLTS.

Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Pulau Kapoposang pun turut merasakan dampak besar adanya PLTS.

Begitu juga dengan para tukang bangunan yang membutuhkan listrik untuk mengisi batrei perlengkapnnya sebelum digunakan pada malam hari.

“Efek daripada listrik dari PLTS juga sangat terasa dalam roda ekonomi masyarakat, persiapan untuk jualan yang dilakukan pada malam hari dan dijual siang harinya, contoh para penjual nasi kuning dan gorengan, dulu orang baru mempersiapkan segala macamnya subuh hari karena belum ada listrik.”

“Jadi semua misalnya kayak misalnya pertukangan kan yang membutuhkan listrik itu banyak yang membutuhkan listrik akhirnya orang beralih kepada semua sistem charger yang dicharge di malam hari untuk pemanfaatan di siang hari,” ungkapnya.

Di sisi lain, adanya PLTS juga berhasil menumbuhkan interaksi sosial antar warga terutama saat malam hari tiba.

Tak cuma itu, adanya PLTS juga membuat UMKM yang semula hanya sampai sore kini buka sampai tengah malam.

Sehingga memudahkan masyarakat untuk cari makan jika tengah malam merasakan lapar.

“Masyarakat yang jalan di malam hari sangat terbatas dulu, boleh di kata cuma 1 sampai 2 orang saja. Kalau sekarang meningkat betul, kumpul di pos ronda, dermaga cerita-cerita gitu.”

“Sekarang ini untuk pelaku usaha-usaha misalnya makanan sudah marak di sana, makan bakso, mie sudah banyak, pokoknya 180 derajat berbeda. Laper sedikit sekarang tinggal keluar ke warung, karena kan suasananya sudah terang Misalnya jualan-jualan di pulau ini ada juga penjual bakso, mie ayam, ada juga penjual ubi goreng sudah banyak makanan-makanan itu. Sekarang sampai malam hari berani,” ujar Hasanuddin.

Selain itu, adanya PLTS juga mampu menarik masuknya teknologi baru yang sebelumnya tak pernah dirasakan oleh masyarkat.

Satu di antaranya yakni penggunaan motor listrik yang sebelumnya tak masif di Pulau Kepoposang.

“Dengan Kondisi sekarang yang sudah berubah, ekonomi di kampung juga berubah lebih baik, sehingga kemampuan masyarakat untuk daya belinya kan semua sudah bisa dibeli. Dulu jarang kita melihat motor-motor listrik, sekarang marak di sana, sekarang sudah banyak, karena ketersediaan listrik kita sudah aman walaupun terbatas,” pungkasnya.

 Perjuangan Bidan di Perbatasan Papua Nugini sebelum Adanya Listrik

Di perbatasan Indonesia dan Papua Nugini, tepatnya di Kabupaten Boven Digoel, Distrik Mindiptana, juga belum lama merasakan merdeka listrik.

Di mana, masyarakat di Distrik Mindiptana baru merasakan adanya listrik pada tahun 2021 lalu.

Satu di antara penerima manfaat adanya listrik di Distrik Mindiptana yakni Dwi Puji Rahayu.

Bidan yang kini tengah bekerja di satu di antara rumah sakit di Distrik Mindiptana.

Puji membeberkan, ia mulai bertugas sebagai bidan di Distrik Mindiptana pada 15 Januari 2021.

“Saya pertama bertugas itu tahun 2021, tepatnya tanggal 15 Januari 2021. Saya pertama kali datang di tempat tugas saya yang saat ini. Saat itu jaringan sama sekali tidak ada,” ujar Puji ketika dihubungi TribunWow.com.

Menurut Puji, di tahun 2021, keterbatasan listrik di Distrik Mindiptana sangat dirasakan.

Keterbatasan itu sampai membuat dirinya kesulitan untuk akses jaringan komunikasi.

Padahal saat itu sudaha da bantuan jaringan dari Bakti Aksi.

Namun, ketika banyak yang pakai, jaringan sulit di akses.

Saking sulitnya, Puji sampai masih gunakan hp jadul karena android yang tak bisa akses jaringan sama sekali.

“Padahal jaringan itu dibantu oleh bakti aksi. Tapi ketika bakti aksi ini dia terlalu banyak yang pakai. Dia juga kayak drop begitu jadi nggak bisa semua orang pakai. Jadi jaringan tidak ada. Kami hanya menggunakan kalau di saat ini mungkin di daerah keluaran Papua sana. 2021 itu semua mungkin sudah pakai HP Android dan segala macam. Tapi kami dulu 2021 itu kami di sini masih pakai HP yang gambarnya kuning. Kuning yang kecil itu,” jelas Puji dengan kerpihatinan.

Selain itu, Puji gunakan hp jadul karena dapat akses jaringan lebih baik ketimbang android.

“Masih sudah menggunakan hp android tapi kami lebih suka memakai hp jadul itu. Karena tangkapan jaringan telepon misalnya untuk telepon biasa itu lebih kuat. Tapi jadi HP jadul itu belum terpakai di saat itu ya. Kalau kami harus cari jaringan itu kami tidak bisa menelpon dalam rumah. Kami harus keluar mungkin di jalan raya atau di mana. Pokoknya jaringan itu kayak di titik-titik saja ada titik-titik tertentu,” ungkapnya.

Selain itu, Puji juga turut bercerita tentang pengalaman tak terlupakannya ketika turut membantu ibu melahirkan tanpa adanya listrik.

Bahkan saat itu, penerangan yang digunakannya hanya menggunakan lilin dan senter handphone jadul.

Saat itu, ibu yang hendak melahirkan itu tiba di rumah sakit di saat listrik sudah pada jam 12 malam.

“Pengalaman yang tidak bisa saya lupakan itu membantu ibu melahirkan menggunakan lilin atau pun senter handphone, handphone jadul itu. Karena ketika tidak ada listrik itu kami mau apa? Dulu memang kami mempunyai genset. Cuma genset itu tidak bisa terlalu pakai lama. Kalau pakai lama dia langsung mati. Saat itu, selesai jam 12, kan orang melahirkan itu tidak terpancang waktu, nah kebanyakan pasien kami itu juga itu melahirkan jam 1 malam, jam 2 malam, jam 3 malam. Mau tidak mau penerangan yang HP punya ya itu,” ungkap Puji dengan suara bergetar mengingat cerita tersebut.

Pernah juga Puji memiliki pengalaman membantu proses persalinan ibu berusia 40 tahun dengan riwayat hipertensi.

Di tengah situasi genting itu, Puji menangani seorang ibu tersebut dengan hanya menggunakan senter handphone yang turut dibantu oleh beberapa timnya.

Ibu tersebut berhasil melahirkan anaknya dengan selamat.

Namun, kondisinya sempat mengalami kejang dan juga pendarahan setelah melahirkan.

“Pernah membantu pasien ibu-ibu berusia 40 tahun yang saat itu sangat membutuhkan bantuan kami karena hendak melahirkan namun memiliki riwayat hipertensi. Bayinya sudah lahir namun ibu itu tiba-tiba mengalami pendarahan hingga kejang. Nah, di saat itu, lampu mati, jadi saat itu cuma menggunakan senter hp saat melakukan tindakan,” bebernya.

Lebih lanjut, pada saat itu, di tengah kondisi listrik yang terbatas, Puji dan rekan-rekan tenaga medisnya menyiapkan peralatan sederhana untuk digunakan jika ada tindakan medis proses persalinan di atas jam 12 malam.

“Iya, pasti mati, enggak apa-apa. Jadi alat kami yang kami gunakan itu ya sederhana contoh kalau bayi itu alat suction, biasanya kalau bayi lahir itu kan di suction itu yang disedot lendirnya yang pakai listrik itu, pakai selang kecil itu, disedot. Nah kalau kami enggak bisa gunakan itu, nah alternatifnya apa? Alternatifnya berarti kami menggunakan ada namanya dili tapi dili manual. Makanya kami selalu menyediakan alat-alat manual.”

“Selama 24 jam rutinitas kami ya setiap hari seperti ini. Mau lampu mati menyala, contoh jam 6 sudah menyala berarti kami harus charge handphone kami atau pusat-pusat yang bisa kami charge, itu kami charge supaya ya sudah itu persiapannya memang untuk jam 12 ke bawah itu ketika ada pasien melahirkan ya itu yang kami pakai. Tidak ada alat bantuan lain kecuali itu,” lanjut wanita asli kelahiran Merauke tersebut.

Merdeka Listrik di Perbatasan Papua Selatan dengan Papua Nugini

Di tahun 2023, setelah listrik mengalir, Puji mengaku sangat merasakan perbedaannya.

Selain penerangan saat ini berjalan baik, beberapa pelayanan kesehatan sekarang lebih melek teknologi.

Contohnya yakni pendaftaran BPJS yang bisa dilakukan masyarakat setelah adanya listrik.

“Tahun 2021 sampai 2022 Oktober itu kami masih pelayanan seperti itu sulit listrik. Tapi ketika listrik sudah masuk, ya syukur, semua boleh berjalan, semuanya lancar, listrik ada, penerangan bagus. Iya, sekarang itu dengan pertambahannya perkembangan listrik kan bisa, ini nih, pasien bisa mendaftar BPJS. Dulu kan pasien-pasien rata-rata tidak punya. Nah sekarang bisa dibantu dengan adanya perkembangan listrik, dengan adanya jaringan starling masuk itu bisa membantu kan kayak pasien yang tidak mempunyai BPJS atau faskesnya sudah mati, bisa di cek,” ungkap bidan berusia 26 tahun tersebut.

Tak cuma pelayanan pasien, adanya listrik yang bisa digunakan 24 jam juga turut membantu proses administrasi kesehatan, terutama dalam pendistribusian obat.

“Iya sangat-sangat terbantu dengan masuknya listrik dengan ketersediaan kalau dengan adanya listrik bisa membuat laporan kirim ke kabupaten ketersediaan obat kami juga kan dari kabupaten jadi dengan adanya ini kita harus turun ke kabupaten dulu baru mengambil obat, tapi kami sudah bisa sekarang melalui aplikasi untuk mengirimkan obat ke kami, komunikasi jadi lebih baik dengan adanya jaringan listrik,” lanjutnya.

Sebelum bisa menikmati listrik selama 24 jam, Puji mengaku hanya bisa menggunakan listrik di jam 6 sore sampai 12 malam.

“Dulu dari jam 6 sore sampai jam 12 malam jam 6 sore sampai jam 12 malam baru ada listrik baru ada listrik cuman baru dinyalakan di jam segitu. Setelah itu mati total semua karena kami tidak ada tambahan kayak tenaga surya, sekarang sudah bisa 24 jam,” ucap Puji.

Selain di bidang kesehatan, adanya listrik juga turut dirasakan di dunia pendidikan.

“Dunia pendidikan itu mereka sudah ujian bukan pakai kertas lagi, mereka sudah pakai computer,” lanjutnya.

Puji juga menceritakan mirisnya anak-anak sekolah sebelum ada listrik penuh di Distrik Mindiptana.

“Anak-anak yang saat itu sekolah di tahun itu ya mereka kesulitan gitu. Bahkan mereka mencari internet aja itu susah dan contoh gurunya kasih PR, mungkin mereka mencari informasi, karena disini kan gak ada toko buku kayak di Jawa kan ada toko buku ya, disitu kan mereka mencari informasi, kalau di Jawa gak ada informasi, mereka bisa cari bukulah, disitu kan tidak ada. Bahkan saat itu masih belum banyak yang memiliki hp android karena listrik yang terbatas.”

“Dengan perjalannya waktu, perjalannya tahun, itu pasti ada sudah ada perubahan sedikit-sedikit, walaupun kami tidak mempunyai toko buku ataupun apa, jadi anak-anak semakin pintar untuk mencari di internet dan segala macamnya,” imbuhnya.

Setelah kini listrik bisa diakses 24 jam, Puji mengaku jika banyak informasi yang dulu sulit didapatkan kini semakin mudah diakses.

“Iya sangat pesat, sangat pesat semua informasi yang tidak diketahui kini bisa dengan mudah diketahui karena adanya listrik, adanya jaringan, contoh kami dengan orang tua saja komunikasinya ya mungkin dulu jaringan susah itu komunikasinya sangat sulit, menanyakan kabar itu juga sangat sulit, nah tapi dengan adanya jaringan, adanya listrik, adanya semua-semua ini, langsung mau jadi mudah biarpun komunikasi setiap hari dengan orang yang jauh itu ada gitu, jadi apapun informasi yang terjadi di luar sana kami, walaupun kami terpencil di sini, di tempat ini kami sudah tahu, sudah tahu informasinya bahwa, oh iya ternyata ada kejadian ini di Jakarta, ada kejadian itu di Jawa, kejadian ini di mana, jadi kami jadi tahu, kalau dulu kami tidak tahu kan, belum ada jaringan, belum ada listrik, dengan berkembangnya ini kami jadi tahu informasi itu semua gitu,” pungkasnya.

(TribunWow.com/Adi Manggala S)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.