“Ketika gelar pahlawan diberikan, hak atas keadilan dan kebenaran atas kasusnya sendiri itu kan sebenarnya masih ada, belum dipenuhi,”

Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan hak atas keadilan dan kebenaran masih ada usai aktivis buruh Marsinah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto.

“Ketika gelar pahlawan diberikan, hak atas keadilan dan kebenaran atas kasusnya sendiri itu kan sebenarnya masih ada, belum dipenuhi,” ucap Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menjawab ANTARA di Jakarta, Rabu.

Dia mengatakan gelar pahlawan yang diberikan merupakan apresiasi negara secara simbolik mengakui perjuangan Marsinah. Namun, di sisi lain, Anis menyebut kasus Marsinah yang terjadi pada Orde Baru itu belum terselesaikan sampai hari ini.

“Negara masih punya utang hak atas keadilan bagi Marsinah yang dibunuh pada saat itu karena memperjuangkan haknya dan hak-hak pekerja, itu sendiri belum diselesaikan, belum diusut secara tuntas,” ucapnya.

“Jadi, saya kira, sekali lagi, seperti paradoks. Orangnya diberikan gelar, tetapi kasusnya sendiri tidak selesai,” imbuh Anis.

Sementara itu, terkait pengusutan misteri kematian Marsinah, Anis menjelaskan kasus tersebut dikategorikan sebagai peristiwa pidana, bukan pelanggaran HAM berat. Oleh sebab itu, ada perlakuan jangka waktu dalam pengusutannya.

“Kalau itu pidana kan mengandung kedaluwarsa, tetapi kalau itu misalnya pelanggaran HAM berat, ya, tidak mengandung kedaluwarsa, tetapi kan peristiwa itu (kematian Marsinah) peristiwa pidana, ya, sehingga kedaluwarsa,” ucapnya.

Diketahui, Presiden RI Prabowo Subianto di Istana Jakarta, Senin (10/11), menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 10 tokoh yang dinilai berjasa besar bagi bangsa dan negara, termasuk salah satunya Marsinah.

Marsinah merupakan buruh pabrik arloji PT Catur Putra Surya (CPS). Kasusnya terjadi pada 1993 di Sidoarjo, Jawa Timur, ketika aktivis itu melancarkan aksi mogok kerja bersama rekannya untuk menuntut kenaikan upah sesuai standar pemerintah.

Pada 5 Mei 1993, setelah beberapa buruh ditahan di Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo, Marsinah terlihat terakhir kali saat mendatangi markas tersebut untuk menanyakan nasib rekan-rekannya.

Tiga hari berselang, pada 8 Mei 1993, jenazah Marsinah ditemukan di sebuah gubuk di Nganjuk dengan tanda-tanda penyiksaan berat dan kekerasan seksual.

Sebelumnya, Menteri HAM Natalius Pigai menyebut penuntasan misteri kasus kematian Marsinah menjadi ranah kewenangan Komnas HAM dan kepolisian.

“Apakah Kementerian HAM itu bisa menuntaskan keadilan? Itu tidak tepat. Malah yang lebih tepat sebenarnya di Komnas HAM atau di institusi kepolisian atau aparat,” kata Pigai di Jakarta, Selasa (11/11).

Pigai mengatakan Kementerian HAM merupakan bagian dari eksekutif sehingga tidak memiliki kewenangan yudikatif. Maka dari itu, ia menyebut pengusutan kasus Marsinah yang masih belum terselesaikan itu bukan ranah kementeriannya.