Dilema Whoosh: Antara Tanggung Jawab Fiskal dan Komitmen Diplomatik
Nandang Sutisna November 13, 2025 12:21 AM
Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung, atau Whoosh, kini menempatkan Indonesia pada sebuah simpul kebijakan yang rumit. Ia bukan sekadar proyek transportasi, melainkan ujian bagi integritas fiskal dan kedaulatan kebijakan ekonomi nasional. Apa yang dulu digambarkan sebagai proyek business-to-business (B to B), yang tidak membebani negara, kini berubah menjadi proyek semi-fiskal yang sebagian risikonya ditanggung oleh negara.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mewarisi konsekuensi antara menyelamatkan hubungan diplomatik dengan Tiongkok, atau menyelamatkan kredibilitas fiskal negara. Kedua pilihan sama-sama memiliki biaya yang besar, baik dalam arti ekonomi maupun politik.
Politik Infrastruktur dan Perubahan Karakter Proyek
Ketika proyek ini diluncurkan pada 2015, narasinya adalah simbol kemajuan dan kebanggaan nasional. Presiden Joko Widodo menekankan bahwa Whoosh akan menjadi bukti kemampuan Indonesia mengelola infrastruktur modern tanpa menambah beban APBN. Skemanya dirancang melalui kerja sama antara PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yaitu konsorsium BUMN Indonesia, dan perusahaan Tiongkok di bawah kerangka Belt and Road Initiative (BRI).
Perbesar
Kereta cepat Whoosh melintas di Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (31/7/2025). Foto: Abdan Syakura/ANTARA FOTO
Namun, seiring berjalannya waktu, proyek ini menunjukkan tanda-tanda ketidaklayakan ekonomi. Biaya pembangunan melonjak, proyeksi jumlah penumpang terlalu optimistis, sementara beban utang kepada China Development Bank (CDB) terus menekan arus kas perusahaan. Dalam situasi inilah pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021, yang mengizinkan penggunaan dana APBN melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) serta pemberian jaminan pemerintah terhadap pinjaman BUMN.
Dengan demikian, proyek yang semula diposisikan sebagai kerja sama antar-entitas bisnis berubah menjadi proyek politik yang disubsidi negara. Skema B to B berubah menjadi B to B plus di mana risiko bisnis perlahan dialihkan ke keuangan negara.
Dua Rasionalitas yang Berhadapan
Dalam teori kebijakan publik, dilema ini muncul dari pertarungan dua rasionalitas, yaitu rasionalitas ekonomi dan rasionalitas politik. Dari sisi ekonomi, keputusan pemerintah untuk menanggung sebagian beban proyek jelas berisiko. Ketika negara ikut membayar cicilan pinjaman atau menyuntikkan modal baru, yang terjadi bukan penyelamatan bisnis, melainkan transfer risiko privat ke ranah fiskal.
Perbesar
Ilustrasi membayar cicilan. Foto: Shutterstock
Ini melemahkan disiplin anggaran dan menumbuhkan moral hazard di kalangan BUMN bahwa setiap proyek bermasalah akan pada akhirnya diselamatkan dengan uang rakyat.
Namun di sisi lain, menolak intervensi negara berarti membuka risiko politik dan diplomatik yang besar. Bagi Tiongkok, proyek Whoosh bukan sekadar proyek ekonomi, melainkan simbol kepercayaan strategis di Asia Tenggara. Jika proyek ini dianggap gagal, dampaknya dapat merembet pada hubungan bilateral, termasuk risiko terhadap pembiayaan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), investasi energi, manufaktur, bahkan kerja sama pertahanan.
Lebih dari itu, kegagalan proyek ini dapat mengirim sinyal negatif kepada pasar global, bahwa Indonesia tidak mampu menjaga komitmen politik dalam kerja sama internasional. Dalam dunia investasi, persepsi semacam ini dapat menaikkan risk premium dan menurunkan kepercayaan investor asing terhadap stabilitas ekonomi Indonesia.
Antara Fiskal dan Diplomasi
Perbesar
Pekerja memeriksa kondisi kereta cepat Whoosh di Depo Kereta Cepat di Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (16/12/2024). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
Kedua rasionalitas tersebut menciptakan dilema kebijakan yang klasik yaitu menyelamatkan proyek berarti merusak disiplin fiskal, tetapi membiarkannya gagal berarti mengorbankan diplomasi. Bila pemerintah mengambil opsi pertama, APBN akan menanggung kerugian yang seharusnya ditanggung korporasi. Beban fiskal meningkat dan ruang bagi belanja sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan pangan, akan semakin sempit.
Sebaliknya, bila pemerintah memilih untuk tidak menanggung, risiko diplomatik dan reputasional sangat besar yang mana Tiongkok bisa menilai Indonesia tidak kooperatif dan investor global dapat membaca sinyal instabilitas politik ekonomi. Pada titik inilah, Whoosh berubah menjadi proyek yang terlalu politis untuk gagal (too political to fail). Proyek yang secara ekonomi tidak layak, tapi secara politik terlalu mahal untuk dibiarkan runtuh.
Jalan Tengah: Restrukturisasi dan Transparansi
Meski pilihan kebijakan tampak buntu, sebenarnya masih ada ruang kompromi yang rasional. Pemerintah dapat menempuh restrukturisasi menyeluruh tanpa melakukan bailout fiskal secara langsung. Negosiasi ulang dengan CDB dapat meliputi perpanjangan tenor, penurunan bunga, atau konversi sebagian utang menjadi saham (debt-to-equity swap).
Perbesar
Peresmian penjualan tiket Whoosh di aplikasi resmi Whoosh Kereta Cepat, bekerja sama dengan aplikasi Access by KAI, Livin by Mandiri, BRImo, dan BNI Mobile Banking, Selasa (17/10/2023). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
Kerugian harus dibagi secara proporsional antara pemegang saham Indonesia dan Tiongkok, bukan dibebankan seluruhnya kepada publik. Lebih penting lagi, seluruh data proyek—baik biaya aktual, nilai pinjaman, bunga, dan proyeksi ekonomi—harus dibuka secara transparan kepada publik dan diaudit oleh lembaga independen. Hanya dengan cara itu, kepercayaan publik dapat dipulihkan dan kredibilitas fiskal negara tetap terjaga.
Refleksi: Antara Ambisi Politik dan Rasionalitas Ekonomi
Kasus Whoosh memberikan pelajaran berharga bagi kebijakan pembangunan nasional. Ia memperlihatkan bahwa ketika ambisi politik mendominasi pertimbangan ekonomi, negara akan terjebak dalam siklus pembenaran fiskal. Proyek yang tidak layak akan terus dipertahankan demi citra politik, sementara risiko dan kerugiannya dialihkan kepada rakyat.
Pemerintahan Prabowo memiliki peluang untuk mengakhiri siklus tersebut. Dengan menempatkan integritas fiskal di atas kepentingan simbolik, pemerintah dapat membangun paradigma baru pembangunan nasional, yang berbasis rasionalitas ekonomi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Sebab, pada akhirnya, kecepatan kereta bukan ukuran kemajuan negara. Kemajuan sejati diukur dari keberanian pemerintah menempatkan kejujuran, disiplin fiskal, dan kepentingan publik di atas kepentingan politik sesaat.