Di tengah upaya memperkuat sistem perlindungan, diperlukan kesadaran kolektif bahwa migrasi bukan hanya soal mendapatkan pekerjaan, tetapi juga soal menjaga martabat manusia.

Mataram (ANTARA) - Setiap tahun jutaan manusia di berbagai belahan dunia mengambil keputusan besar untuk menyeberangi batas negara demi mengejar peluang ekonomi, membangun masa depan, atau memenuhi tanggung jawab keluarga.

Migrasi tenaga kerja telah menjadi fenomena global yang terus bergerak, membentuk aliran ekonomi baru sekaligus memunculkan tantangan dalam perlindungan hak dan keselamatan para pekerjanya.

Di Indonesia, cerita itu menemukan wujudnya di banyak daerah yang sejak lama mengenal tradisi merantau. Salah satu yang paling menonjol adalah Nusa Tenggara Barat (NTB).

Ribuan warga NTB setiap tahun memilih meninggalkan kampung halaman untuk bekerja di luar negeri, sebuah keputusan yang tidak selalu sederhana karena menyangkut keberanian, kemampuan, dan kesiapan menghadapi realitas baru yang tak selalu ramah.

Namun, arus perpindahan itu tetap berlangsung dan bahkan menjadi denyut penting perekonomian daerah. Data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTB menunjukkan hingga Juli 2025 remitansi para pekerja migran mencapai Rp76 miliar, angka yang menegaskan betapa besar kontribusi mereka bagi keluarga dan daerah.

Dalam dinamika global yang berubah cepat, isu perlindungan dan peningkatan kualitas layanan bagi pekerja migran kian krusial. Tidak cukup hanya mengirim tenaga kerja, negara memiliki kewajiban memelihara keselamatan, martabat, dan masa depan setiap warga yang bekerja di luar negeri.

Di titik inilah sinergi antardaerah menjadi penting. Ketika Pemprov NTB dan Pemprov Jawa Timur menginisiasi penguatan kerja sama lintas provinsi dalam pelayanan dan perlindungan pekerja migran, langkah tersebut tidak sekadar seremoni, melainkan bagian dari upaya mematangkan ekosistem perlindungan migran yang lebih tangguh.

Komitmen itu menjadi relevan karena NTB dan Jatim sama-sama memiliki sejarah panjang sebagai daerah pengirim pekerja migran. Bahkan sebagian besar warga NTB berangkat melalui Jawa Timur yang memiliki infrastruktur layanan lebih lengkap.

Perjalanan migrasi dari dua provinsi ini beririsan, mulai dari jalur keberangkatan, layanan administrasi, hingga mekanisme pemulangan. Karena itu memperkuat simpul pelayanan berarti memperkuat seluruh rantai perlindungan.

Layanan yang terintegrasi

Jawa Timur telah lama menjadi rujukan nasional dalam hal layanan pekerja migran. Sistem yang mereka bangun melalui Layanan Terpadu Satu Atap berhasil menyatukan loket-loket dari instansi berbeda menjadi satu kanal yang mempercepat proses penempatan dan mengurangi kerentanan administratif.

Prinsip layanan satu hari, yang selama ini dijalankan Jatim, menjadi contoh bahwa birokrasi tidak harus panjang untuk bisa memberikan kepastian.

Keberadaan helper desk di Bandara Juanda juga memperkuat deteksi dini terhadap persoalan kepulangan. Pos ini tidak hanya mendata, tetapi memetakan risiko, menangani masalah, sekaligus memfasilitasi pemulangan PMI lintas provinsi.

Dalam konteks NTB, fasilitas ini menjadi signifikan karena tidak sedikit pekerja migran pulang melalui syahbandar Jatim. Dengan demikian, kehadiran pos tersebut menjadi perpanjangan tangan perlindungan hingga ke pintu gerbang kembalinya para pekerja ke tanah air.

Namun sistem yang baik tidak berarti tanpa tantangan. Jatim, misalnya, masih menghadapi problem keberangkatan non-prosedural yang terus muncul meski edukasi telah digencarkan.

Ini menjadi pekerjaan rumah bersama sebab banyak warga dari daerah lain, termasuk NTB, ikut terjerat skema non-prosedural yang berisiko tinggi.

Di sinilah pengawasan harus diperkuat, tidak sekadar lewat razia atau penindakan, melainkan melalui penguatan literasi migrasi sejak awal.

Di NTB, upaya penguatan kualitas juga terlihat dari berbagai kebijakan baru. Di antaranya skema tanpa biaya untuk keberangkatan PMI ke Malaysia.

Skema ini, yang pada dasarnya merupakan amanat undang-undang, kembali ditekankan pemerintah daerah agar tidak sekadar berhenti pada aturan, tetapi benar-benar diterapkan di lapangan.

Upaya memastikan calon PMI tidak terbebani biaya hingga memunculkan fenomena pinjaman dengan bunga harian menjadi tantangan nyata yang harus diatasi.

Karena itu pemerintah mendorong peran bank daerah dan BPR untuk menyediakan pembiayaan yang aman dan transparan sehingga calon pekerja tidak jatuh ke lingkaran utang.

Selain memastikan proses keberangkatan berjalan sesuai regulasi, NTB juga menekankan pentingnya pendidikan vokasi bagi calon pekerja migran.

Kebutuhan tenaga terampil di Jepang, Korea, dan sejumlah negara industri lainnya membuka peluang besar, tetapi kesenjangan kompetensi masih terjadi.

Bahkan seleksi magang ke Jepang hanya meloloskan sebagian kecil peserta karena keterbatasan bahasa dan keahlian teknis.

Untuk itu NTB mulai memperluas kerja sama dengan SMK dan perguruan tinggi guna memperkuat kemampuan bahasa, standar industri, dan keterampilan teknis sesuai permintaan negara tujuan.

Di sisi lain, meningkatnya permintaan tenaga kerja dari sektor informal, terutama di Malaysia, menunjukkan bahwa potensi penyerapan tenaga kerja masih besar, tetapi juga rentan.

Karena itu NTB menekankan agar enam P3MI yang terlibat dalam rekrutmen zero cost benar-benar mematuhi prinsip tanpa biaya, sehingga keberangkatan tidak menjadi beban bagi pekerja.

Edukasi pra-penempatan juga diperkuat agar para pekerja siap secara mental dan memahami norma, budaya, serta aturan ketenagakerjaan di negara tujuan.

Kerja sama atas-bawah ini tidak hanya berhenti pada penempatan. Perlindungan setelah penempatan juga harus diperhatikan serius.

Kasus pemulangan jenazah PMI non-prosedural dari Malaysia beberapa waktu lalu menjadi pengingat bahwa kerentanan tidak mengenal status prosedural atau non-prosedural.

Koordinasi cepat antara keluarga, pemerintah daerah, perwakilan Indonesia di luar negeri, dan perusahaan penempatan menjadi bukti bahwa sistem perlindungan harus sigap, responsif, dan manusiawi.

Menata jalan pulang

Perlindungan pekerja migran tidak hanya dimulai sejak mereka memutuskan berangkat, tetapi juga harus memastikan mereka kembali dengan aman dan mendapatkan kepastian masa depan.

Di sinilah peran pemerintah daerah menjadi sangat penting, terutama dalam mengelola remitansi agar tidak habis seketika tanpa nilai tambah.

Penguatan literasi pengelolaan keuangan bersama perbankan menjadi langkah strategis, termasuk mendorong PMI memiliki tabungan di negara penempatan sebagai modal usaha saat pulang.

Rencana pembentukan koperasi pekerja migran yang saat ini dibahas DPRD NTB menjadi inovasi menarik. Koperasi ini dapat berfungsi sebagai ekosistem ekonomi baru bagi para pekerja migran, mulai dari simpan pinjam, akses modal usaha, hingga perlindungan sosial bagi keluarga yang ditinggalkan.

Jika dirancang dengan baik, koperasi ini bisa menjadi ruang pemberdayaan jangka panjang yang mendukung transformasi ekonomi keluarga PMI.

Di tengah upaya memperkuat sistem perlindungan, diperlukan kesadaran kolektif bahwa migrasi bukan hanya soal mendapatkan pekerjaan, tetapi juga soal menjaga martabat manusia.

Karena itu jalur non-prosedural harus terus ditekan dengan memperkuat literasi, pengawasan, dan akses layanan yang mudah dijangkau. Ketika jalur prosedural menjadi lebih mudah, murah, dan aman, insentif bagi masyarakat untuk mengambil jalur ilegal akan semakin kecil.

Sinergi NTB dan Jatim menjadi contoh bagaimana dua daerah dapat membangun ekosistem perlindungan yang saling menguatkan. Pemprov NTB mendapatkan akses pelayanan yang lebih matang dari Jatim, sementara Jatim mendapatkan dukungan koordinasi dari daerah asal para pekerja.

Kolaborasi ini tidak hanya mempercepat layanan, tetapi juga mengurangi potensi kerentanan yang muncul di titik-titik keberangkatan dan kepulangan.

Pada akhirnya, perlindungan pekerja migran adalah investasi jangka panjang bagi masa depan daerah. Migrasi yang aman, legal, dan bermartabat akan menghasilkan dampak ekonomi yang lebih besar, seperti terlihat dari nilai remitansi yang terus meningkat.

Di saat yang sama, masyarakat juga mendapatkan manfaat sosial dari pengalaman dan keterampilan yang dibawa pulang para pekerja.

Sinergi lintas provinsi, penguatan pendidikan vokasi, skema zero cost, pengawasan ketat, dan desain kebijakan yang memanusiakan pekerja harus terus menjadi arah perbaikan.

Dengan demikian, langkah-langkah para migran NTB tidak hanya meninggalkan jejak ekonomi, tetapi juga menegaskan bahwa perlindungan adalah hak, dan pelayanan adalah kewajiban yang harus dipenuhi negara.