Jakarta (ANTARA) - Pengamat politik sekaligus Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan masa jabatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) disamakan dengan Presiden dan anggota kabinet merefleksikan kematangan demokrasi Indonesia.

Kematangan demokrasi tersebut, kata dia, mampu membedakan antara kontrol demokratis dengan politisasi institusi negara.

"Kontrol demokratis diperlukan dan dijalankan melalui mekanisme persetujuan DPR, namun hal itu tidak berarti institusi seperti Polri harus tunduk pada siklus politik atau menjadi instrumen politik pemerintah yang sedang berkuasa," ucap Boni dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.

Menurutnya, tidak semua jabatan yang diangkat oleh presiden otomatis menjadi bagian dari kabinet atau tunduk pada logika politik elektoral lantaran ada kategori beberapa jabatan strategis, yang meskipun pengangkatannya merupakan prerogatif Presiden, tetapi secara fungsional harus menjaga jarak dari dinamika politik untuk memastikan objektivitas dan profesionalisme dalam menjalankan tugas konstitusionalnya.

Untuk itu dalam pandangannya, putusan MK sudah tepat dalam membedakan antara Polri sebagai bagian integral negara dengan jabatan-jabatan politik yang bersifat temporer dan terikat pada siklus pemilihan umum.

Dirinya sepakat dengan MK bahwa Polri merupakan bagian dari negara, bukan sekadar alat kelengkapan negara, sehingga jabatan Kapolri tidak bisa dibatasi seperti jabatan politik.

"Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, maka biarkan itu menjadi hak prerogatif Presiden sebagai kepala negara," ujar dia.

Dengan demikian, dikatakan bahwa masa jabatan Kapolri tidak perlu diatur secara periodik, seperti maksimal 5 tahun. Sebaliknya, durasi jabatan harus ditentukan oleh kebutuhan negara melalui kewenangan prerogatif Presiden sebagai kepala negara.

Boni berpendapat pendekatan yang fleksibel memungkinkan negara untuk beradaptasi dengan berbagai kondisi dan tantangan keamanan yang dinamis tanpa terkungkung oleh batasan waktu yang artificial atau dibuat-buat.

Pasalnya, kata dia, pembatasan masa jabatan Kapolri secara kaku justru bisa kontraproduktif. Dalam konteks penegakan hukum dan pemeliharaan keamanan nasional, kontinuitas kepemimpinan yang efektif seringkali dinilai lebih penting daripada rotasi yang dipaksakan oleh kalender.

Seorang Kapolri yang telah membangun sistem, memahami kompleksitas tantangan keamanan, dan memiliki hubungan kerja yang baik dengan berbagai pemangku kepentingan, sambung dia, dapat memberikan kontribusi lebih besar jika diberikan waktu yang cukup untuk menyelesaikan berbagai programnya.

Di sisi lain, dirinya menilai putusan MK tersebut memperkuat independensi Polri sebagai institusi penegak hukum yang tidak terikat pada kepentingan politik jangka pendek pemerintahan tertentu.

Apalagi, lanjut Boni, MK telah memberikan kejelasan mengenai hubungan antara Presiden dan Kapolri yang bersifat konstitusional, bukan hubungan atasan-bawahan dalam struktur kabinet.

"Di dalamnya tetap ada penegasan prinsip checks and balances bahwa meskipun presiden memiliki prerogatif, pengangkatan Kapolri tetap memerlukan persetujuan DPR guna menjaga keseimbangan kekuasaan," ucap Boni menegaskan.

Adapun MK menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang meminta akhir masa jabatan Kapolri disamakan dengan masa jabatan Presiden dan anggota kabinet.

"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 19/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (13/11).

Perkara tersebut dimohonkan tiga orang mahasiswa yang bernama Syukur Destieli Gulo, Christian Adrianus Sihite, dan Devita Analisandra. Mereka menguji Pasal 11 ayat (2) UU Polri dan penjelasannya.

Hakim Konstitusi Arsul Sani mengatakan dengan permohonan itu, para pemohon mengonstruksikan anggapan bahwa jabatan Kapolri merupakan jabatan setingkat menteri. Akan tetapi, Mahkamah menolak dalil tersebut.

Menurut Mahkamah, dengan memberi label "setingkat menteri" untuk jabatan Kapolri, kepentingan politik Presiden akan dominan dalam menentukan seorang Kapolri. Padahal, Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Polri sebagai alat negara.

Dengan begitu sebagai alat negara, Polri dinilai harus mampu menempatkan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum di atas kepentingan semua golongan, termasuk di atas kepentingan Presiden.