Ringkasan Berita:
- Importir keramik terhenti setahun, karyawan dirumahkan, bisnis terancam gulung tikar.
- Sertifikasi SNI wajib lewat SIINas macet, produk impor tertahan di pelabuhan.
- LSPro swasta rugi miliaran, aset terancam disita, protes keras ke pemerintah.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Forum Organisasi Supplier Bahan Bangunan Indonesia (FOSBBI) dan Asosiasi Lembaga Sertifikasi Indonesia (ALSI) mengkritisi Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 36 Tahun 2024 tentang pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib untuk ubin keramik.
Kebijakan yang mewajibkan pengurusan SNI baru melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) dinilai menghambat impor dan membuat puluhan lembaga sertifikasi produk (LSPro) swasta terancam kolaps.
“Selama setahun ini kami tidak bisa lagi melakukan kegiatan impor. Kami telah memberhentikan beberapa karyawan karena tidak ada pemasukan lagi,” kata anggota tim teknis FOSBBI, Triyogo Priyohadi, dalam keterangannya, Jumat (14/11/2025).
Triyogo menjelaskan, sejak PT Nakshatra Exim International dan sejumlah importir keramik mengajukan SNI baru tahun lalu, hingga kini belum ada kejelasan.
Akibatnya, impor keramik dan granit dari India terhenti.
“Coba hitung berapa kerugian pelaku usaha dan devisa negara yang tidak diterima gara-gara kita tidak bisa impor barang?” ujarnya.
Importir juga menanggung beban pajak impor yang mencapai sekitar 39,5 persen untuk produk dari India, dan lebih tinggi lagi untuk produk asal China.
Protes telah diajukan ke Balai Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri (BSPJI) Kementerian Perindustrian, namun jawaban yang diterima hanya “sedang diproses.”
FOSBBI juga menyoroti SIINas yang digadang-gadang mampu memotong rantai birokrasi.
Faktanya, antrean panjang dan keterlambatan penerbitan sertifikasi membuat produk impor tertahan di pelabuhan meski kontrak dagang sudah berjalan.
Sejak Juni 2025, proses pengajuan SNI baru bahkan terhenti karena aturan harmonisasi gudang belum selesai.
FOSBBI telah mengirim surat pengaduan ke Menteri Perindustrian dengan tembusan ke Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan.
Mereka juga berkoordinasi dengan Kamar Dagang Indonesia (Kadin) untuk menyampaikan keberatan kepada Presiden Prabowo Subianto.
Selain importir, LSPro swasta juga terdampak. Dasriel Adnan Noeha, Direktur Eksekutif PT Ceprindo, menyebut pendapatan turun hingga 80 persen.
“Laboratorium hanya melakukan uji satu produk saja, dan sebagian karyawan terpaksa dirumahkan,” katanya.
Dasriel menambahkan, investasi besar untuk membangun laboratorium kini terancam hilang.
“Saya pribadi meminjam Rp 35 miliar ke bank untuk membangun laboratorium bersertifikasi nasional. Kini, karena tidak ada lagi proyek, bank sudah mulai menagih. Aset kami terancam disita,” ujarnya.
Ketua Umum ALSI, Nyoman Susila, menegaskan peran LSPro swasta sebagai mitra strategis Kemenperin dalam menjaga kualitas produk.
“Peran kami sangat penting dalam menjaga kualitas dan keselamatan produk di pasar. Kami ini garda depan penerapan SNI. Tapi, keputusan sepihak ini membuat kami seperti tidak dihargai,” katanya.
Menurut data Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), tingkat utilisasi kapasitas produksi industri keramik nasional turun menjadi 66 persen pada 2024, dari 69 persen pada 2023 dan 78 persen pada 2022. Penurunan ini terjadi di tengah lonjakan impor keramik dari China dan India.
Menurut Kemenperin, penerapan SNI wajib melalui SIINas bertujuan melindungi industri keramik dalam negeri dari gempuran impor dan meningkatkan daya saing.
Ketua Umum Asaki, Edy Suyanto, menyebut kebijakan ini penting untuk menjaga kualitas produk di pasar domestik.
Dalam dokumen resmi Kemenperin, SIINas disebut sebagai sistem terintegrasi untuk memproses sertifikasi SNI wajib, dengan tujuan efisiensi dan transparansi.
Pemerintah juga menegaskan bahwa penunjukan Balai Besar Standardisasi dilakukan untuk memastikan pengawasan lebih ketat terhadap produk impor. Balai Besar Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri (BBSPJI) merupakan LSPro pemerintah yang telah terakreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN), sehingga memiliki legitimasi penuh dalam menjalankan sertifikasi.
ALSI telah mengadukan perihal ini ke Komisi VII DPR RI pada Mei 2025. Mereka berharap DPR mendorong Kemenperin mencabut 21 keputusan yang dianggap merugikan atau mengembalikan kebijakan lama yang lebih adil.
Perbedaan pandangan antara pelaku usaha dan pemerintah terkait Permenperin 36/2024 mencerminkan dinamika kebijakan antara upaya menjaga industri nasional dan kebutuhan kelancaran perdagangan.