Oleh: Tgk H Abdul Hadi, MA alias Waled Gampong Gajah
Sebagai ulama kharismatik, Abu di Lheue memiliki kepribadian yang menjadi panutan bagi murid dan masyarakat.
Di antara kepribadian Beliau adalah:
Ia fokus membina kader ulama melalui pengajaran kitab-kitab besar seperti Mahalli dan Fathul Wahhab.
Ia menjawab dengan argumen yang kuat dan tetap tenang.
Ia juga menerima santri muallaf dan membimbing mereka hingga mampu berdakwah.
Sosok Abu di Lheue dikenang sebagai ulama yang tawadhu, tekun, dan penuh kasih dalam mendidik generasi penerus Islam.
Dayah Darul Falah menjadi warisan perjuangannya yang terus hidup hingga kini.
Meski memiliki sikap yang lemah lembut dan penuh kasih, Abu di Lheue juga sangat bersikap tegas terhadap hal-hal yang haq dan bathil serta keras menentang kemungkaran.
Di antara sikap tegas Abu di Lheue adalah:
Setiap guru wajib muthala’ah sebelum mengajar dan diawasi langsung oleh beliau.
Kesalahan dalam penjelasan kitab akan ditegur di depan murid demi menjaga akurasi ilmu agama.
Ia tak ragu memberi hukuman, bahkan mengeluarkan santri jika kesalahannya fatal.
Ia menjaga ketat interaksi antara santriwan dan santriwati serta menegur siapa pun yang lalai terhadap waktu ibadah.
Ia menegur santri yang sering ke kedai kopi atau pasar tanpa keperluan.
Bahkan, peralatan olahraga yang dibawa dari studi banding di Jawa tidak digunakan karena dianggap mengganggu fokus ibadah dan belajar.
Ia memimpin khulwah dan zikir di bulan Sya’ban dan Ramadhan, serta hanya mengijazahkan thariqat kepada santri yang telah matang secara ilmu.
Ia sangat menjaga kekhusyukan ibadah dan waktu-waktu zikir, terutama setelah Subuh dan Ashar.
Sosok Abu di Lheue dikenal sebagai ulama yang tegas, disiplin, dan sangat menjaga kemurnian ilmu serta akhlak santri.
Prinsipnya yang kuat menjadikan Dayah Darul Falah sebagai pusat pendidikan Islam yang berwibawa dan berpengaruh.
Abu di Lheue dikenal sebagai ulama yang disegani dan memiliki karamah.
Beberapa kisah menunjukkan bahwa orang yang menyakiti atau berbohong kepadanya kerap mengalami gangguan jiwa atau kesulitan.
Seperti santri yang berbohong soal izin belajar dan akhirnya jatuh sakit hingga sembuh setelah diizinkan kembali ke dayah.
Kisah lain menyebutkan sepeda motor Abu tidak bisa diangkat saat razia, dan Beliau pernah terlihat tidak basah saat berjalan di tengah hujan.
Murid-muridnya meyakini itu sebagai buah dari ketakwaan dan amalan doa khusus yang diwariskan dari kakeknya.
Abu juga menganjurkan murid untuk mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an dan nadham sifat Nabi sebagai perlindungan, menggantikan ilmu bela diri.
Doanya diyakini mustajabah, seperti dalam kasus anak yang sembuh dari sumbing setelah dinazarkan kepada Abu.
Sikap tawadhu dan kedekatannya dengan Allah menjadikan Abu di Lheue sebagai sosok yang tidak hanya alim, tetapi juga penuh keberkahan dalam hidup dan pengajarannya.
Abu di Lheue juga memeliki karakter yang kuat dan teguh dalam kehidupan sehari-hari serta bermasyarakat. Contohnya:
Namun, beliau tetap sabar dan membentengi diri dengan doa dan wirid, hingga Allah SWT mengangkat derajatnya di mata masyarakat.
Kisah-kisah firasat Abuya sering beliau ceritakan sebagai bentuk penghargaan terhadap ilmu dan karamah para ulama.
Dayahnya sering dikunjungi tokoh-tokoh agama, yang membawa berkah dan semangat keilmuan bagi para santri.
Dengan nasihatnya, pertikaian yang hampir berujung kekerasan bisa diselesaikan secara damai.
Ia juga rutin mengajar tafsir dan fikih setiap Jumat di Masjid Syuhada 44.
Mendukung Pemerintah yang Adil: Abu di Lheue mendukung kebijakan pemerintah selama sesuai dengan ajaran ahlussunnah wal jama’ah.
Ia pernah menjabat sebagai Ketua MUI Jeunieb dan aktif di organisasi PERTI.
Meski dekat dengan pemerintah, Beliau tetap netral dan tidak terlibat dalam politik praktis.
Sosok Abu di Lheue dikenal sebagai ulama yang sabar, bijak, dan berpengaruh dalam membina umat serta menjaga kemurnian ajaran Islam di tengah masyarakat.
Abu di Lheue dikenal sebagai ulama yang sering menyampaikan kalam hikmah yang mendalam dan membangkitkan semangat.
Beberapa petuah terkenalnya antara lain:
Dayah bisa jadi tempat yang menggiurkan, tapi niat harus lurus: Ia mengajak agar pengabdian di dayah tidak tercemar oleh ambisi duniawi.
Didikan Abu di Lheue telah melahirkan generasi ulama yang tersebar di berbagai daerah, menyebarkan ajaran ahlussunnah wal jama’ah bermazhab Syafi’i dan Asy’ari.
Mereka menjadi penerus sanad keilmuan dan perjuangan Abu, menjaga kemurnian agama dan membimbing umat dengan hikmah dan keteguhan.
Abu di Lheue telah melahirkan banyak alumni yang kini menjadi tokoh penting di Aceh.
Di antaranya Tgk Mahyeddin M Daud (Ayah Nubok), Drs Abu Bakar Karim (Wakil Rektor IAIN Medan), Abon Muhammad Cot Tareum, dan Tgk Mahdi Umar (Waled Krueng Kiran).
Kemudian, Tgk Muhammad Az Zawahiri (Waled Ulim), dan Tgk H Abdul Hadi atau Waled Gampong Gajah (Ketua HUDA Pidie), serta banyak lainnya yang menjadi pimpinan dayah, khatib, dan tokoh masyarakat.
Setelah 40 tahun mengabdi sebagai pimpinan Dayah Darul Falah, guru, dan khatib, Abu di Lheue wafat pada 10 Juni 2004, di Klinik Geurugok, Bireuen setelah sempat menjalani perawatan di RS Fakinah Banda Aceh.
Meski dalam kondisi sakit, Beliau tetap berzikir hingga akhir hayatnya.
Jenazahnya disemayamkan di halaman Dayah Darul Falah, Desa Meunasah Tunong Lueng, Jeunieb, dan dishalatkan oleh ribuan masyarakat, ulama, dan santri.
Karena tidak memiliki keturunan, kepemimpinan Dayah Darul Falah sempat dipegang oleh murid senior sekaligus familinya, Tgk Mahdi bin Umar.
Pada 2005, Tgk Mahdi menyerahkan kepemimpinan kepada Ummi Hj Lathifah, istri Abu di Lheue.
Setahun kemudian, Tgk Mahdi mendirikan Dayah Darussalam Ash Shamadiyyah Al-Waliyyah di Krueng Kiran, yang berkembang dengan dukungan swadaya masyarakat dan tetap menjaga nilai-nilai tasawuf dari gurunya.
Warisan Abu di Lheue terus hidup melalui murid-muridnya yang menyebarkan ilmu dan nilai-nilai keislaman ke berbagai penjuru Aceh.(*)