Serba-serbi Rapat Polri di DPR: Singgung Demo, Damkar hingga Abuse of Power
kumparanNEWS November 19, 2025 05:40 AM
Komisi III DPR RI menggelar rapat kerja dengan Polri pada Selasa (18/11). Dalam momen tersebut, sejumlah hal dibahas. Mulai dari penanganan demonstrasi, eksistensi damkar di mata masyarakat, hingga soal abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan.
Berikut serba-serbi rapat kerja tersebut:
Ditreskrim-Kapolres Underperform
Dalam rapat tersebut, hadir Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo. Ia membahas soal persoalan internal yang dihadapi Polri.
Dedi mengatakan, persoalan yang sedang dihadapi saat ini salah satunya sejumlah Direktorat Reserse Kriminal di tingkat kepolisian daerah yang tidak berkinerja baik.
“Dari 47 Ditreskrim yang sudah konsen, 15 underperform,” kata Dedi.
Jenderal bintang tiga itu menyebut pihaknya sudah melakukan perbaikan baik dari sisi meritokrasi maupun pendidikan.
“Perbaikan di bidang rekrutmen ini yang paling penting. Kalau misalkan direkrut dengan baik, dididik dengan baik, maka akan menghasilkan anggota-anggota kepolisian yang baik,” ungkapnya.
Perbesar
Ilustrasi polisi. Foto: Shutterstock
Selain Ditreskrimum, Dedi juga membeberkan kinerja Kapolres dan Kapolsek yang kurang baik. Dari hasil asesmen Polri, masih ditemukan sejumlah Kapolres yang kinerjanya kurang baik.
“Kami lihat dari 4.340 Kapolsek, 67 persen ini underperform,” ungkapnya.
Dedi mengatakan, salah satu faktor yang menyebabkan kinerja Kapolsek ini kurang maksimal adalah karena proses penunjukan yang tidak tepat. “Hampir 50 persen Kapolsek kami itu diisi oleh perwira-perwira lulusan PAG (Perwira Alih Golongan),” bebernya.
“Dari 440 Kapolres yang sudah kami lakukan asesmen, 36 Kapolres kami underperform. Ini catatan dari kami. Kami harus melakukan perbaikan, demikian juga di Reskrim,” ujar dia.
Permasalahan Internal: 62 persen di Wilayah, 30 persen Mabes
Perbesar
Suasana RDP Komisi III DPR RI dengan Wakapolri, Plt. Wakil Jaksa Agung RI, dan Kepala BP MA RI, Jakarta, Selasa (18/11/2025). Foto: YouTube/ TVR Parlemen
Dalam momen tersebut, Dedi juga mengungkapkan permasalahan yang terjadi di internal Polri di tingkat kewilayahan hingga pusat atau Mabes Polri. Permasalahan terbanyak ternyata berasal dari polisi di daerah.
“Kami melihat 62 persen permasalahan Polisi ada di tingkat wilayah dan 30 persen di tingkat Mabes Polri,” kata Dedi.
Dedi menyebutkan, ada 11 permasalahan yang harus dibenahi Polri baik itu soal kekerasan, pungli, kemudian penggunaan kekuatan secara berlebihan.
Dedi menyebutkan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta agar permasalahan itu diselesaikan. Ia mengungkapkan, salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memperbaiki proses rekrutmen.
“Kalau misalkan direkrut dengan baik dididik dengan baik maka akan menghasilkan anggota-anggota yang kepolisian baik,” tuturnya.
“Pola-pola ini yang sedang dilakukan oleh asisten SDM dengan kita juga menggandeng pihak eksternal untuk langsung terlibat langsung mengontrol bagaimana proses rekrutmen ini berjalan dengan baik,” sambungnya.
Kurangnya Pengawasan Jadi Pemicu Abuse Of Power
Perbesar
Irwasum Polri Komjen Pol Dedi Prasetyo. Foto: Dok. Polri
Dedi turut mengungkap masih kurangnya pengawasan di internal Polri sehingga kerap terjadi perilaku menyimpang. Kondisi ini menyebabkan kurangnya pelayanan masyarakat oleh Polri.
“Kenapa terjadi arogansi? Kenapa terjadi perilaku-perilaku menyimpang abuse of power? Pengawasan kita kurang kuat,” ujar Dedi.
Oleh karena itu, sebagai upaya perbaikan, lanjut Dedi, pihaknya akan memperbaiki hal tersebut khususnya dalam hal pelayanan publik.
Dalam rapat tersebut, Dedi juga memaparkan masih lambatnya Kepolisian dalam menangani pengaduan masyarakat atau di Satuan Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT).
“Di bidang SPKT dalam laporan masyarakat lambatnya quick response time, quick response time standar PBB itu di bawah 10 menit, kami masih di atas 10 menit,” kata dia.
Evaluasi Penanganan Unjuk Rasa
Perbesar
Polisi menembakan gas air mata untuk memukul undur massa yang rusuh di kawasan gedung DPR Jakarta. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Pengamanan unjuk rasa oleh polisi pun turut dibahas. Menurut Dedi, Polri sudah menerjunkan tim evaluasi ke sejumlah polda pasca terjadinya aksi unjuk rasa besar yang terjadi pada akhir Agustus lalu.
Ia mengatakan, evaluasi itu dilakukan dalam hal mengubah paradigma penanganan aksi unjuk rasa.
“Irwasum (Inspektur Pengawasan Umum Polri) sudah menurunkan tim di 12 polda untuk melihat bagaimana sih potret penanganan unjuk rasa di 12 polda pasca kejadian kemarin,” kata Dedi.
Dedi mengatakan, salah satu evaluasi perubahan paradigma itu adalah mengenai cara Polri dalam melayani aksi unjuk rasa harus lebih dengan cara-cara yang humanis.
“Banyak kekurangan-kekurangan yang harus kami perbaiki. Nah, ini sangat menyadari perubahan-perubahan ini harus kami lakukan dari paradigma menghadapi massa menjadi melayani massa,” tuturnya.
“Karena massa yang menyampaikan aspirasinya ini merupakan suatu bentuk wujud demokrasi yang harus betul-betul kami jaga,” sambungnya.
Terima Laporan soal Police Brutality yang Signifikan
Perbesar
Suasana rapat Komisi III DPR bersama Wakil Kepolisian Republik Indonesia, Wakil Kejaksaan Agung, dan Kepala Badan Pengawas MA di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Selasa (18/11/2025). Foto: Luthfi Humam/kumparan
Dedi mengungkapkan Polri banyak menerima aduan atau laporan masyarakat soal kebrutalan oknum Polri alias police brutality yang menyalahgunakan wewenangnya.
“Permasalahan Polri ini sebenarnya sudah kami mapping di akhir dan di awal 2025. Kenapa kami mapping seperti itu? Kami melihat bahwa terjadi suatu fenomena, police brutality yang cukup signifikan, kemudian terjadi public-public complain yang cukup banyak,” ujar Dedi.
Dedi menyampaikan, tindakan police brutality yang diadukan masyarakat ini mayoritas laporan masyarakat adalah soal penyalahgunaan senjata. Bahkan, menurutnya, kasus penyalahgunaan sampai mengakibatkan korban meninggal dunia.
“Ini kenapa police brutality khususnya penggunaan senjata api yang sangat berlebihan yang mengakibatkan anggota polisi meninggal dunia, yang mengakibatkan masyarakat meninggal dunia,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Dedi mengatakan aduan masyarakat terkait hal itu terjadi di banyak daerah. Seperti kasus penembakan yang terjadi di Kabupaten Solok Selatan, pada bulan November 2024 lalu.
Perbesar
AKP Dadang Iskandar menjalani sidang etik di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (26/11/2024).
Foto: Youtube/TV Radio Polri
Pelaku adalah AKP Dadang Iskandar, Kabag Ops Polres Solok Selatan, sedangkan korban adalah AKP Ryanto Ulil Anshari (Kasat Reskrim Polres Solok Selatan. Korban ditembak dua kali di bagian pelipis dan pipi kanan, dari jarak dekat.
Ada juga kasus dugaan police brutality, yang terjadi saat demonstrasi di Sorong, Papua Barat, yang mendapat atensi pegiat HAM. Lalu di Sulawesi Selatan, 6 orang anggota Sabhara Polrestabes Makassar melakukan penyekapan hingga penganiayaan terhadap seorang pemuda di Kabupaten Takalar.
“Terjadi di Solok Selatan, terjadi di Bangka Belitung, terjadi di Semarang, terjadi di Papua Barat, terjadi di Sulawesi Selatan, dan terjadi di beberapa wilayah,” kata dia.
“Termasuk public complain, public complain juga yang mengakibatkan masyarakat meninggal dunia terjadi di Banten dan hampir di semua wilayah,” sambungnya.
Masyarakat Lapor Damkar Karena Lebih Cepat
Perbesar
Ilustrasi polisi. Foto: Shutterstock
Dalam forum tersebut juga, Dedi menyadari lambatnya SPKT dalam merespons laporan sehingga masyarakat. Sehingga, masyarakat kerap beralih melapor ke Damkar.
"Saat ini masyarakat lebih mudah melaporkan segala sesuatu ke Damkar karena Damkar quick responsnya cepat,” kata Dedi.
Menurut Dedi, seharusnya quick response time standar PBB di bawah 10 menit. Inilah yang menjadi tantangan Polri dalam berbenah ke depannya.
“Di bidang SPKT dalam laporan masyarakat lambatnya quick response time, quick response time standar PBB itu di bawah 10 menit, kami masih di atas 10 menit,” jelasnya.
Selain itu, Mantan Irwasum Polri ini juga menekankan, citra Polri sangat dipengaruhi dari bagaimana cara melayani publik.