Pendidikan antikorupsi adalah investasi paling berharga untuk memastikan bahwa generasi yang tumbuh bukan sekadar cerdas secara akademik, tetapi kuat menolak godaan yang menggerogoti bangsa.

Mataram (ANTARA) - Pagi hari di sebuah sekolah dasar sering kali dimulai dengan hal-hal sederhana: anak-anak berbaris, menyanyikan lagu kebangsaan, dan guru-guru mengingatkan tentang pentingnya saling menghormati.

Di balik rutinitas sederhana itu, ada ruang yang semakin disadari bisa membawa dampak besar bagi masa depan bangsa. Dalam ruang-ruang semacam itulah bibit integritas ditanam, dipupuk, dan dibentuk untuk menghadapi dunia yang semakin kompleks.

Dalam sejumlah riset, perilaku curang di sekolah seperti mencontek, meminta bantuan yang tak semestinya, hingga praktik gratifikasi kecil dari orang tua kepada guru, sering kali dianggap sepele.

Namun, perilaku itu dapat menjadi pintu masuk bagi pola pikir yang membenarkan tindakan culas dalam skala yang lebih besar.

Di sinilah urgensi pendidikan antikorupsi menemukan relevansinya. Korupsi bukan hanya soal menggelapkan anggaran, memanipulasi proyek, atau memanfaatkan jabatan.

Ia bermula dari kebiasaan kecil yang tidak dikoreksi; Dari karakter yang tidak ditegakkan; Dari ruang pendidikan yang tidak membersihkan dirinya dari segala bentuk praktik lancung atau tidak jujur.

Jika kebiasaan-kebiasaan kecil itu konsisten dikoreksi, maka kesadaran bahwa pendidikan antikorupsi harus dimulai sejak dini tidak lagi menjadi wacana.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan arah itu ketika menggelar kegiatan penilaian kota percontohan antikorupsi di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) baru-baru ini.

Dalam kegiatan tersebut, lembaga antirasuah itu membeberkan temuan mencemaskan bahwa regenerasi koruptor semakin muda. Ada pelaku korupsi berusia 24 tahun, 30 tahun, bahkan ada yang masih perempuan muda yang baru memulai karier.

Fenomena itu menandakan bahwa masalahnya tidak berada di ujung, melainkan di akar.

Langkah memformalkan pendidikan antikorupsi menjadi bagian resmi kurikulum nasional hadir sebagai jawaban atas pertanyaan besar tentang apa yang hilang dalam pendidikan karakter selama ini?

KPK mencatat bahwa sekitar 85 persen sekolah sebenarnya sudah menjalankan pendidikan antikorupsi, tetapi implementasinya tidak seragam. Ada yang memasukkannya sebagai muatan lokal, ada yang mengintegrasikannya ke mata pelajaran PPKn, dan ada pula yang membuat program mandiri.

Situasi ini menunjukkan semangat ada, tetapi arah belum satu. Karena itu, sebelum pendidikan antikorupsi menjadi gerakan masif, ia harus memiliki fondasi yang jelas.

Menata ulang nilai

Masalah integritas di sekolah bukan sekadar persoalan teori moral. Survei Penilaian Integritas Pendidikan (SPI) 2023 yang dirilis KPK menunjukkan gambaran yang cukup mengganggu.

Hampir seperempat guru mengakui adanya siswa yang diterima di sekolah karena memberikan imbalan tertentu. Lebih dari 42 persen guru menyatakan bahwa ada siswa yang sebenarnya tidak layak diterima tetapi tetap masuk karena "sesuatu" diberikan.

Fenomena semacam ini merusak kepercayaan, memundurkan kualitas pendidikan, dan menanamkan ide keliru bahwa kejujuran bisa dinegosiasikan.

Praktik-praktik kecil yang dianggap lumrah seperti keterlambatan tanpa alasan, ketidakhadiran yang dimaklumi, atau manipulasi nilai di kelas juga merupakan bagian dari rantai panjang budaya koruptif.

Bahkan fenomena memberikan bingkisan kepada guru demi nilai baik atau kemudahan tertentu merupakan bentuk gratifikasi yang tidak jarang dianggap sebagai hal biasa.

Ketika ekosistem pendidikan tidak mencontohkan ketegasan moral, anak-anak kehilangan pegangan tentang batas benar dan salah.

Untuk memutus mata rantai itulah KPK memperkenalkan sembilan nilai antikorupsi yang disusun dalam bentuk sederhana agar mudah dipahami peserta didik.

Nilai-nilai seperti jujur, mandiri, tanggung jawab, berani, sederhana, peduli, disiplin, adil, dan kerja keras menjadi kerangka yang dapat ditanamkan secara bertahap sesuai usia.

Pada tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan kelas awal sekolah dasar, penyampaian nilai dilakukan tanpa menyebut kata korupsi agar tidak memicu rasa penasaran yang keliru.

Baru setelah kelas yang lebih tinggi, pembahasan tentang korupsi diperkenalkan melalui contoh keseharian sebelum akhirnya diperdalam melalui materi yang lebih kompleks di jenjang pendidikan menengah dan perguruan tinggi.

Pendidikan antikorupsi bukan hanya soal pengetahuan, tetapi kebiasaan. Anak-anak tidak tiba-tiba menjadi pribadi berintegritas. Mereka harus melihat teladan dari guru, orang tua, dan lingkungan terdekat.

Ketika sekolah bersih dari praktik curang, ketika keluarga menjunjung nilai kejujuran dalam hal-hal kecil, ketika masyarakat mendukung upaya itu dengan perilaku konsisten, di situlah pendidikan antikorupsi menjadi ekosistem, bukan sekadar mata pelajaran.

Contoh penerapan yang kuat tampak dalam sejumlah sekolah yang mulai mengintegrasikan pendidikan karakter dengan aksi nyata seperti proyek Pelajar Pancasila, kegiatan literasi integritas, hingga kampanye menolak politik uang bagi pemilih pemula.

Upaya seperti ini memperlihatkan bahwa pendidikan antikorupsi yang hidup bukanlah buku tebal atau serangkaian pidato, melainkan kebiasaan yang dibiasakan.

Pada saat bersamaan, sinergi antara KPK dan kementerian seperti Kementerian Agama maupun Kementerian Dalam Negeri memperlihatkan arah baru kebijakan.

Kementerian Agama (Kemenag) didorong memanfaatkan seluruh jaringannya, dari sekolah hingga rumah ibadah, untuk menyebarkan nilai antikorupsi dengan pendekatan moral.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sebagai pembina pemerintah daerah, memastikan bahwa seluruh kabupaten dan kota dapat menjalankan gerakan edukasi antikorupsi secara serempak.

Upaya bersama ini menandakan bahwa pendidikan antikorupsi bergerak dari ruang kelas menuju ruang publik yang lebih luas.

Mataram menjadi salah satu kota yang mendapat perhatian khusus karena masuk dalam tiga besar kota percontohan antikorupsi. Posisi itu penting karena menghadirkan bukti bahwa reformasi integritas di tingkat lokal bisa dilakukan, bisa dipantau, dan bisa menjadi inspirasi bagi daerah lain.

Kota percontohan semacam ini menguji apakah upaya membangun sistem antikorupsi dapat berjalan bukan hanya di pusat, tetapi juga di tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat.

Generasi baru

Pendidikan antikorupsi memiliki tujuan jangka panjang. Ia tidak memberikan hasil dalam hitungan bulan atau tahun, tetapi dalam satu generasi.

KPK memperkirakan bahwa bila kurikulum antikorupsi berjalan seragam, konsisten, dan terstruktur, maka hasilnya akan tampak dalam lima hingga enam tahun.

Bukan karena anak-anak tiba-tiba menjadi malaikat, melainkan karena mereka memiliki fondasi karakter yang lebih kuat untuk menolak praktik culas yang sering membayangi kehidupan sosial.

Di tengah tantangan besar seperti politik biaya tinggi, godaan gratifikasi, hingga persaingan dunia kerja yang ketat, generasi muda membutuhkan benteng nilai yang mampu membuat mereka berdiri tegak.

Pendidikan antikorupsi bukan hanya soal menolak amplop, tetapi menegakkan prinsip keadilan, disiplin, dan tanggung jawab dalam setiap pilihan hidup.

Tulisan ini bukan ajakan moral yang melayang di udara. Pendidikan antikorupsi adalah strategi nyata menuju pemerintahan yang bersih, reformasi birokrasi yang berjalan, dan masyarakat yang berani menolak praktik lancung.

Jika keluarga mengawal dari rumah, sekolah mengajarkan dalam pelajaran dan teladan, pemerintah menyediakan kebijakan yang kuat, dan masyarakat mendukungnya, maka perubahan dapat dicapai.

Pada akhirnya, perjuangan melawan korupsi bukan hanya tugas lembaga antirasuah, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh warga negara.

Dimulai dari hal-hal sederhana seperti tidak mencontek, tidak memanipulasi data, tidak memberikan hadiah demi keuntungan, hingga berani berkata tidak pada praktik yang melanggar nilai integritas.

Persoalan korupsi mungkin tidak hilang seketika. Namun setiap benih kejujuran yang ditanam hari ini menjadi fondasi masa depan yang lebih bersih.

Pendidikan antikorupsi adalah investasi paling berharga untuk memastikan bahwa generasi yang tumbuh bukan sekadar cerdas secara akademik, tetapi kuat menolak godaan yang menggerogoti bangsa.

Masa depan itu dimulai dari bangku sekolah, dari guru-guru yang gigih, dari keluarga yang jujur, dan dari kebijakan yang memastikan integritas menjadi karakter, bukan sekadar wacana. Karena bangsa yang besar tidak hanya dibangun oleh kecerdasan, tetapi juga oleh keberanian menjaga kejujuran.