Karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tetapi soal kemanusiaan

Jakarta (ANTARA) - Hak asasi manusia (HAM) bukanlah konsep abstrak yang jauh dari kehidupan, melainkan kebutuhan mendasar yang harus hadir dan dihormati dalam keseharian setiap individu.

Secara universal, HAM berakar pada tiga nilai utama: kebebasan, kemanusiaan, dan keadilan. Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai HAM tercermin dalam Pancasila melalui nilai ideal, nilai instrumental, dan nilai praktikal.

Nilai Ideal berhubungan dengan kelima sila dalam Pancasila, yaitu kemerdekaan beragama, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, persatuan dan nasionalisme, musyawarah untuk mufakat serta pengakuan hak milik perorangan.

Penjabaran dari nilai-nilai ideal Pancasila atau pedoman pelaksanaan kelima sila Pancasila membentuk nilai instrumental yang ketika direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat menjadi nilai praktikal.

Indonesia secara tegas menjamin HAM melalui UUD 1945, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Namun, jaminan hukum ini belum sepenuhnya tercermin dalam praktik pendidikan. Di banyak sekolah, kekerasan fisik, verbal, psikologis, bahkan seksual masih terjadi. Diskriminasi terhadap siswa difabel, minoritas agama, gender, atau latar belakang ekonomi masih ditemukan. Padahal, sekolah seharusnya menjadi ruang aman, inklusif, dan bermartabat—bukan tempat pelanggaran HAM.

Pendidikan bermutu untuk semua

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto melalui Kemendikdasmen mengusung visi “Pendidikan Bermutu untuk Semua”. Visi ini menegaskan bahwa setiap warga negara, termasuk penyandang disabilitas, masyarakat adat, dan mereka yang tinggal di daerah terpencil, berhak atas pendidikan berkualitas.

Pendidikan bermutu bukan sekadar soal akademik, tetapi juga soal keadilan, inklusivitas, dan penghormatan terhadap hak-hak peserta didik. Dalam konteks global, pendidikan berkualitas telah ditetapkan sebagai salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) oleh PBB sejak 2015.

Untuk mewujudkan visi ini, Kemendikdasmen menetapkan pendekatan pembelajaran mendalam (deep learning) sebagai kerangka kurikulum dalam Permendikdasmen No 13 Tahun 2025.

Pendekatan ini sejatinya berbasis HAM dengan menggabungkan aspek intelektual, emosional, spiritual, dan fisik dalam proses belajar serta berprinsip pada penciptaan pengalaman belajar yang berkesadaran (mindful learning), memberikan makna nyata bagi siswa (meaningful learning), dan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan (joyful learning).

Dalam pelaksanaanya, pembelajaran mendalam bertumpu kepada tiga pengalaman belajar, yaitu memahami (mengkonstruksi pengetahuan agar dapat memahami secara mendalam konsep atau materi), mengaplikasi (menerapkan pengetahuan dalam kehidupan secara kontekstual), dan merefleksi (mengevaluasi dan memaknai proses pembelajaran).

Ini berbeda dari pembelajaran permukaan (surface learning) yang berfokus pada hapalan dan pemahaman dasar kerangka pembelajaran mendalam sendiri terdiri dari empat unsur yaitu praktik pedagogik, lingkungan pembelajaran, pemanfaatan digital, dan kemitraan pembelajaran.

Namun, pendekatan ini hanya akan efektif jika dijalankan dalam lingkungan sekolah yang bebas dari kekerasan dan pelanggaran HAM.

Internalisasi nilai- nilai HAM

Kekerasan di satuan pendidikan merupakan pelanggaran serius terhadap HAM.

Data Komnas HAM dan Komnas Perlindungan Anak menunjukkan bahwa kasus perundungan, pelecehan seksual, kekerasan fisik, dan diskriminasi masih marak terjadi. Ironisnya, pelaku kekerasan sering kali adalah guru, staf sekolah, atau sesama siswa. Korban kerap bungkam karena takut, malu, atau tidak tahu harus melapor ke siapa.

Kekerasan ini tidak hanya melukai fisik dan psikis peserta didik, tetapi juga merampas hak mereka atas pendidikan yang aman dan bermartabat. Dalam banyak kasus, korban mengalami trauma, putus sekolah, atau kehilangan kepercayaan diri. Ini bertentangan dengan prinsip pendidikan bermutu dan nilai-nilai HAM yang seharusnya dijunjung tinggi.

Untuk menjadikan sekolah sebagai ruang pemajuan HAM, diperlukan internalisasi nilai-nilai HAM dalam seluruh aspek pendidikan. Nilai-nilai seperti martabat manusia, kesetaraan, non-diskriminasi, kebebasan berpendapat dan berekspresi yang bertanggung jawab, partisipasi, keadilan dan perlindungan hukum, toleransi, keberagaman, dan perdamaian, keadilan akses dan kesempatan, harus menjadi fondasi kebijakan dan praktik sekolah.

Implementasi nilai-nilai HAM dalam pendidikan setidaknya ditandai oleh beberapa hal, yaitu kebijakan sekolah berbasis HAM, pembelajaran berorientasi humanistik, iklim sekolah yang aman dan inklusif, pendidikan karakter dan budaya sekolah, pelibatan siswa dalam pengambilan keputusan, dan penilaian atau asesmen pembelajaran yang adil, transparan, dan tidak bias.

Sekolah yang membuat kebijakan berbasis HAM tentunya akan memiliki Prosedur Operasional Standar (POS) antikekerasan, menyediakan akses layanan konseling, kesehatan, dan keamanan serta menolak diskriminasi gender, status ekonomi, agama, budaya, disabilitas, atau daerah asal.

Sesuai dengan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan, Sekolah wajib membentuk Tim pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) sebagai garda terdepan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan.

Dalam iklim yang aman dan inklusif, sekolah juga mengembangkan pembelajaran mendalam yang berorientasi humanistik di mana guru memperlakukan siswa sebagai subjek yang memiliki hak, suara, dan potensi. Metode belajar yang dikembangkan bersifat partisipatif, bukan doktriner atau otoriter, menghargai perbedaan gaya belajar dan kemampuan (berdiferensiasi) serta mengembangkan refleksi diri untuk menumbuhkan kesadaran empati dan bermartabat.

Penilaian pembelajaran dilakukan dengan memperhatikan proses, tidak hanya hanya hasil akhir. menghindari labeling yang merendahkan dan memberikan feedback konstruktif, bukan sanksi yang menjatuhkan.

Pendidikan karakter yang berbasis HAM akan menumbuhkan nilai-nilai Pancasila, moderasi, dan empati. Sekolah harus membiasakan salam, apresiasi, dan bahasa yang santun. Musyawarah menjadi mekanisme utama dalam pengambilan keputusan.

Siswa terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan seperti dalam merancang tata tertib atau program sekolah melalui organisasi kesiswaan seperti Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan Majelis Perwakilan Kelas (MPK) dalam student council hearing atau class agreement. Dengan demikian, siswa belajar menjadi warga negara yang demokratis, toleran, dan bertanggung jawab.

Pendidikan karakter ini juga harus mengajarkan siswa untuk mengenali, menolak, dan melaporkan kekerasan. Siswa perlu dibekali pengetahuan tentang hak-hak mereka, mekanisme pelaporan, dan pentingnya solidaritas terhadap korban.

Refleksi

Ungkapan Human rights are the heart of education, not just a chapter in the textbook (HAM adalah hatinya pendidikan, bukan sekedar bab dari sebuah buku) menjadi pengingat bahwa HAM bukan sekadar materi pelajaran, tetapi inti dari seluruh proses pendidikan.

Melalui pendidikan bermutu, peserta didik dikenalkan pada nilai-nilai HAM seperti kebebasan, kesetaraan, toleransi, keberagaman, musyawarah, tanggung jawab, serta penghormatan terhadap norma dan hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan falsafah Pancasila.

Di era digital dan global, pendidikan yang menghormati HAM menjadi fondasi bagi masa depan yang beradab. Sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga tempat membentuk karakter, membangun solidaritas, dan menumbuhkan kesadaran akan hak dan martabat manusia.

Nilai-nilai HAM yang diterapkan dalam pendidikan bermutu mempersiapkan peserta didik untuk menjadi warga dunia yang mampu bersaing sekaligus berkontribusi dalam membangun masyarakat yang adil dan damai.

Pemerintah, sekolah, guru, orang tua, dan siswa perlu bersinergi untuk menjadikan pendidikan sebagai ruang pemajuan HAM. Kekerasan dan diskriminasi harus dilawan, bukan ditolerir. Pendidikan bermutu hanya bisa terwujud jika hak-hak peserta didik dihormati dan dilindungi.

Sekolah yang bebas dari kekerasan adalah sekolah yang benar-benar mendidik. Karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tetapi soal kemanusiaan.

*) Unu Nurahman adalah Pengawas SMA KCD Wilayah VIII Disdik Provinsi Jawa Barat, Dosen FIB Universitas Sebelas April (Unsap) Sumedang