Palgunadi Effect: Suasana Hati dan Nilai Diri Karyawan
Sigit E Praptono November 24, 2025 01:00 PM
Ada satu kisah wayang yang tetap terasa relevan di era korporasi: Palgunadi-Anggraini. Di balik tabir seni pewayangan Jawa - dialog, gamelan, dan busana - tersimpan pelajaran tentang martabat, kesetiaan, dan luka batin. Di tengah budaya kerja modern yang menekankan target, hasil, dan efisiensi, kisah ini mengingatkan kita bahwa suasana hati (mood) karyawan lebih dari sekadar 'perasaan': ini adalah jantung produktivitas dan integritas manusia di dalam organisasi.

Palgunadi: Ketangguhan Luar, Keretakan Dalam

Palgunadi adalah ksatria sakti, pemanah handal, raja yang setia pada mandat. Namun dibalik kemampuan teknisnya, ia terluka dalam: kehormatan keluarganya dipermalukan, istrinya Anggraini difitnah dan akhirnya memilih mengakhiri hidup demi menjaga marwah. Palgunadi pun tetap menunaikan tugasnya, tetapi batinnya telah hancur. Tragis, namun sangat manusiawi.
Konflik emosional semacam ini bukan cuma mitologi, ilmu manajemen modern menyatakan bahwa suasana hati karyawan memiliki dampak nyata pada performa kerja. Penelitian menunjukkan bahwa mood positif sangat berkorelasi dengan kepuasan kerja jangka pendek, sementara mood negatif bisa mendorong kelelahan emosional dan turunnya efektivitas pekerjaan (Judge & Ilies, 2004).

Suasana Hati di Tempat Kerja: Bukan Sekadar 'Mood Ring'

Saat ini, banyak perusahaan fokus ke metrik: produktivitas, KPI, revenue. Tapi riset organisasi memperingatkan: jika mood karyawan diabaikan, konsekuensinya bisa besar. Mood yang buruk berkorelasi dengan perilaku 'withdrawal' (penarikan diri) dan menurunnya perilaku pro-sosial di organisasi (Miner, 2010).
Model Job Demands–Resources (JD-R) menjelaskan ini dengan cemerlang: pekerjaan memberikan tuntutan (demands) yang sangat tinggi, dan tanpa sumber daya (resources) yang memadai, karyawan akan 'kehabisan tenaga batin'/burnout (Demerouti dkk., 2001). Jika tuntutan moral tinggi, misalnya konflik nilai, beban etika, atau ketidakadilan, tanpa proteksi martabat, risiko keretakan batin sangat nyata.
Kisah Palgunadi sangat paralel: beban moral besar, tetapi struktur sosial (dalam hal ini, sistem keadilan dan penghormatan) runtuh.
Ilustrasi wayang. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wayang. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Martabat di Dunia Kerja: Lebih dari Sekadar Kebanggaan

Apa yang menimpa Anggraini, fitnah, penghinaan, dan kehormatan yang tercabik, bisa diterjemahkan ke dalam pengalaman karyawan modern. Studi menunjukkan bahwa persepsi keadilan organisasi dan rasa dihormati (dignity at work) berkaitan erat dengan kesehatan psikologis dan fisik pekerja: kurangnya rasa dihargai bisa meningkatkan stres, menurunkan komitmen, bahkan memicu masalah kesehatan kronis (Park dkk., 2019).
Dengan kata lain, menjaga martabat karyawan bukan sekadar etika, itu investasi dalam kesehatan mental dan stabilitas organisasi.
Tiga Pelajaran Nyata dari Palgunadi

1. Loyalitas harus dibarengi kejelasan dan keadilan

Palgunadi setia, tetapi tidak punya perlindungan martabat. Dalam organisasi, loyalitas karyawan harus diperlakukan sebagai aset, bukan beban. Struktur yang transparan, sistem penghargaan yang adil, dan komunikasi yang terbuka sangat penting untuk mencegah loyalitas berubah menjadi beban emosional.

2. Mood sehari-hari perlu diukur dan dirawat

Pemimpin yang cerdas tidak hanya melihat angka di laporan keuangan, tetapi juga sinyal 'lunak' seperti senyum yang hilang, semangat yang redup, atau penarikan diri ringan. Check-in rutin, survei kesejahteraan, dan dialog terbuka bisa menjadi alat sederhana namun sangat efektif untuk mendeteksi keretakan batin sebelum menjadi krisis.

3. Perkuat 'sumber daya psikologis' di dalam organisasi

Sesuai model JD-R, organisasi perlu menyediakan job resources yang memadai berupa dukungan atasan, kesempatan berkembang, budaya penghargaan, hingga akses ke konseling dan pelatihan resilien. Ini bukan cost center, melainkan 'bank emosional' yang menjaga karyawan dari burnout dan menjaga engagement tetap tinggi (Bakker, 2007).

Palgunadi Sebagai Cermin Budaya Organisasi

Kisah Palgunadi dan Anggraini mengingatkan kita: kompetensi teknis hebat sekalipun tidak cukup bila struktur nilai dan sistem sosial di sekitar seseorang rapuh. Perusahaan mungkin punya teknologi canggih, prosedur modern, dan target ambisius, tetapi jika mereka mengabaikan kesejahteraan emosional karyawan, mereka menciptakan 'ksatria rapuh' di balik layar.
Organisasi yang sukses bukan hanya yang efisien dalam angka tetapi juga yang tangguh secara manusiawi. Karena pada akhirnya, manusia bekerja dengan pikiran sekaligus hati.

Mengakhiri dengan Tindakan Nyata

Bagi para pemimpin: mulailah dari hal sederhana. Tanyakan kepada tim Anda, bukan hanya 'apa yang sudah selesai?', tetapi juga 'bagaimana perasaanmu minggu ini?'. Dengarkan jawaban mereka dengan sungguh-sungguh, dan ambil tindakan nyata.
Karena mempertahankan produktivitas tanpa menjaga hati adalah seperti membuat senjata hebat, tapi menembakkannya ke dalam jiwa sendiri.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.