Gelondongan Kayu Dipertanyakan, Bupati Tapsel Ungkap Izin Kemenhut Turun Sebulan Sebelum Banjir
Acos Abdul Qodir December 02, 2025 03:31 AM
Ringkasan Berita:
  • Ribuan kayu gelondongan hanyut, warga Batang Toru kehilangan rumah dan keluarga tercinta.
  • Izin penebangan hutan dibuka Oktober, banjir bandang menghantam November, korban berjatuhan.
  • Klaim kayu lapuk pejabat pusat disorot, DPR, Greenpeace, WALHI, dan korban mendesak investigasi.

TRIBUNNEWS.COM - Puluhan nyawa melayang di Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara, saat banjir bandang membawa ribuan kayu gelondongan. Direktur Jenderal Penegakan Hukum (Dirjen Gakkum) Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyebut kayu itu lapuk, namun Bupati Tapsel Gus Irawan Pasaribu menegaskan izin hutan dari Kemenhut turun sebulan sebelum bencana.

Gus Irawan blak-blakan soal izin penebangan hutan yang kembali dibuka Kementerian Kehutanan pada Oktober 2025, hanya sebulan sebelum banjir bandang meluluhlantakkan Batang Toru, Kecamatan Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

“Lalu saya terkejut, mungkin Oktober kalau nggak salah, dibuka lagi izin itu. Padahal saya sudah senang karena tutupan hutan penting untuk dijaga,” kata Gus Irawan, usai mengunjungi lokasi pengungsian warga di Aula Kantor Camat Batang Toru, Sabtu malam (29/11/2025).

Ia menegaskan bahwa fenomena banjir bandang disertai kayu gelondongan bukan hal baru, melainkan sudah berulang sejak akhir 2024.

Pada 24 November 2024, banjir melanda Desa Sipange Siunjam dan menewaskan dua orang setelah kayu-kayu gelondongan dari hulu menghancurkan pemukiman. 

Menjelang Natal tahun yang sama, wilayah Tano Tombangan kembali diterjang banjir dengan pola serupa.

Atas dua bencana itu, Pemkab Tapsel mengajukan rehabilitasi dan rekonstruksi Rp 28 miliar, namun hanya disetujui Rp 10 miliar oleh BNPB, dan program belum berjalan ketika November 2025 banjir bandang lebih besar menghancurkan desa Garoga, Huta Godang, dan Aek Ngadol.

“Warga Batang Toru banyak menjadi korban. Rumah-rumah hancur. Keluarga mereka masih hilang. Begitu juga dengan kerugian yang dialami warga atas banjir ini,” ungkapnya.

Pernyataan Bupati Tapanuli Selatan Gus Irawan Pasaribu itu sekaligus menepis pernyataan Dirjen Gakkum Kemenhut Dwi Januanto Nugroho yang pada Jumat (28/11/2025) menyebut kayu-kayu gelondongan hanyut akibat sejumlah faktor, di antaranya kayu lapuk.

“Hasil analisis sumber-sumber kayu itu. Satu adalah kayu lapuk, kedua kayu yang akibat tadi pohon tumbang dan ketiga di area-area penebangan,” ucap Dwi.

WALHI Soroti Korporasi di Lanskap Batang Toru

Organisasi lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut menyebut ada tujuh korporasi beroperasi di sekitar lanskap Batang Toru dan Harangan Tapanuli, termasuk tambang emas PT Agincourt Resources, PLTA North Sumatera Hydro Energy, PLTMH Pahae Julu, Geothermal PT SOL, serta perkebunan kayu rakyat dan sawit.

WALHI mendesak pemerintah segera memeriksa seluruh izin korporasi yang dinilai memperlemah fungsi hidrologis hutan sebagai penyangga air.

Ekosistem Batang Toru sendiri merupakan hutan hujan tropis seluas 120–150 ribu hektare yang membentang di Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Utara. Kawasan ini dikenal sebagai habitat penting orangutan Tapanuli serta benteng terakhir hutan tropis di Sumatera Utara.

Meski PTAR menegaskan operasinya tidak berada di daerah aliran sungai (DAS) yang terdampak banjir, sejumlah lembaga swadaya masyarakat menilai kerusakan ekosistem Batang Toru tidak bisa dilepaskan dari aktivitas industri.

DPR Desak Investigasi, Greenpeace Kritik Klaim Kayu Lapuk

Komisi IV DPR akan memanggil Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni untuk menjelaskan asal-usul kayu gelondongan besar yang terbawa banjir di Sumatera.

Anggota DPR Rajiv menekankan perlunya klarifikasi apakah kayu berasal dari penebangan liar atau pohon tumbang, sementara Arif Rahman melihat indikasi illegal logging di hulu sungai dan mendesak investigasi.

Daniel Johan menilai pemerintah harus bertindak tegas karena kayu gelondongan menunjukkan masalah serius di hulu, sedangkan Dini Rahmania menekankan bencana di Sumatera bukan sekadar alam, melainkan dampak alih fungsi lahan yang makin kritis.

Greenpeace Indonesia juga mengkritik klaim Kemenhut soal kayu lapuk, menyebut ribuan kayu gelondongan lebih masuk akal dikaitkan dengan deforestasi dan penebangan liar.

Kritik ini memperkuat sorotan publik bahwa akar persoalan banjir bandang di Sumatera adalah tata kelola hutan yang bermasalah.

Suara Korban

Enam jasad korban banjir bandang dari Desa Huta Godang, Garoga, dan Aek Ngadol disimpan di Puskesmas Batang Toru karena keluarga bingung menentukan lokasi pemakaman akibat daerah asal masih rawan banjir susulan.

Prajurit TNI bahkan menemukan jenazah korban tersangkut pada tumpukan kayu besar di Desa Aek Ngadol.

Selain itu, ratusan warga terpaksa mendirikan tenda darurat di kawasan perbukitan setelah rumah mereka rusak diterjang banjir.

Kepala Desa Simataniari, Hasian Harahap, mengatakan: “Lebih kurang 500 warga dari 160 kepala keluarga kini butuh perhatian.”

604 Warga Tewas, Terbanyak di Sumut

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data terbaru per Senin sore (1/12/2025). Total korban meninggal dunia akibat banjir dan longsor di tiga provinsi mencapai 604 orang, dengan 464 orang masih hilang dan 2.525 luka-luka.

Rinciannya, 156 jiwa meninggal di Aceh, 165 di Sumatera Barat, dan 283 di Sumatera Utara.

Di Sumut, korban meninggal tersebar di sejumlah kabupaten/kota, termasuk Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Kota Sibolga, Humbang Hasundutan, Pakpak Barat, Kota Padang Sidempuan, Deli Serdang, dan Nias.

Kabupaten Tapanuli Selatan, khususnya Batang Toru, menjadi salah satu wilayah dengan korban signifikan, di mana puluhan jiwa meninggal dan hilang akibat banjir bandang yang menghantam lima desa.

Banjir Batang Toru menjadi alarm keras, bahwa ketika izin hutan dibuka tanpa kendali, nyawa manusia jadi taruhannya. (TribunMedan.com/Kompas.com/Kompas Tv)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.