Mataram (ANTARA) - Di balik pintu rumah yang tampak tenang, banyak perempuan menyimpan luka yang tak terlihat.

Di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), seorang perempuan muda menatap kosong ruang layanan UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Jemarinya bergetar saat menceritakan kekerasan yang dialami di rumah tangganya.

Kisahnya bukan unik; ia menjadi potret dari luka sunyi yang dialami perempuan di seluruh Indonesia. Luka yang sering tersembunyi di balik dinding rumah, layar ponsel, tempat kerja, hingga ruang publik.

Setiap tahun, kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) menjadi pengingat bahwa kekerasan masih menjadi persoalan besar.

Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2024 mencatat satu dari empat perempuan pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.

Data Komnas Perempuan memperlihatkan 330.097 kasus kekerasan perempuan pada 2024, meningkat 14,17 persen dibanding tahun sebelumnya.

Di Kota Mataram, sepanjang 2025, lebih dari 100 kasus kekerasan perempuan dan anak tercatat, sebagian besar berasal dari rumah tangga.

Kekerasan tidak selalu fisik. Ia hadir dalam bentuk psikis, ekonomi, seksual, bahkan kekerasan berbasis gender online yang berkembang seiring digitalisasi. Dalam banyak kasus, korban enggan melapor karena takut, malu, atau tidak percaya pada sistem.

Ketimpangan kuasa dalam rumah tangga dan norma patriarki yang masih kuat menambah kesulitan. Banyak perempuan dianggap bertanggung jawab atas urusan domestik, sementara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kerap dianggap urusan privat.

Stereotip ini menciptakan impunitas bagi pelaku, baik di rumah, kantor, maupun ruang publik.

Peningkatan laporan di Mataram dan daerah lain justru menandai kesadaran masyarakat yang tumbuh. Masyarakat mulai berani melapor, memanfaatkan layanan hotline UPTD PPA 24 jam, sementara sekolah membentuk satgas pencegahan kekerasan untuk anak.

Namun, kendala masih nyata, yakni layanan psikologis dan bantuan hukum belum merata, aparat belum sepenuhnya sensitif gender, dan banyak korban menghadapi trauma, tanpa dukungan memadai.


Kekerasan

Kekerasan dalam rumah tangga tetap menjadi persoalan struktural yang membutuhkan perhatian serius.

Banyak perempuan memilih bertahan karena takut stigma sosial, ingin menjaga figur keluarga utuh, atau keterikatan ekonomi dengan pelaku.

Tekanan finansial pascapandemi menambah potensi konflik, sementara kekerasan verbal, kontrol ekonomi, pengabaian, hingga kekerasan seksual dalam pernikahan meninggalkan trauma jangka panjang.

Trauma ini tidak hanya memengaruhi kesehatan mental, tetapi juga kepercayaan diri, kemampuan mengambil keputusan, dan masa depan korban.

Di era digital, ancaman semakin kompleks. Kekerasan berbasis gender online berkembang dari ancaman, pemerasan foto pribadi, penyebaran konten intim tanpa persetujuan, hingga modus rekrutmen fiktif.

Di Dompu, ratusan pelajar SMA diingatkan untuk waspada terhadap jebakan media sosial.

Ledakan penggunaan internet membuka akses informasi, tetapi juga memperluas ladang kekerasan digital yang sulit dilacak. Kasus pemerasan pelamar kerja melalui video rekrutmen menjadi salah satu contohnya.

Literasi digital yang rendah menjadi pemicu utama. Banyak pelaku belajar melakukan kekerasan dari media sosial, sementara korban, terutama remaja, belum sepenuhnya menyadari risiko.

Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Mataram mencatat dua kasus kekerasan gender berbasis daring pada sembilan bulan pertama 2025, meski jumlah sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi karena banyak korban memilih diam. Perundungan digital termasuk yang paling sering dilaporkan di kalangan pelajar SMP dan SMA.

Penegakan hukum melalui UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sudah memberi landasan, namun implementasi menghadapi kendala klasik, seperti minimnya tenaga ahli digital, fasilitas forensik siber terbatas, dan kerumitan pembuktian. Perlindungan holistik bagi perempuan, termasuk advokat HAM digital, masih tertinggal.

Menuju rumah aman

Menghapus kekerasan tidak cukup dengan memperkuat aturan hukum. Dibutuhkan ekosistem perlindungan yang bekerja lintas tingkat, mulai dari keluarga hingga kebijakan pemerintah pusat.

UPTD PPA harus diperluas hingga kecamatan dan desa, didukung kader, relawan, tokoh masyarakat, dan guru terlatih yang dapat mendeteksi tanda kekerasan sejak dini. Pendidikan publik dan konseling pranikah menjadi alat pencegahan sejak awal.

Pengarusutamaan gender dalam perencanaan dan anggaran daerah perlu ditegakkan.

Sinergi lintas lembaga, aparat sensitif gender, polisi perempuan, ruang pemeriksaan ramah korban, dan layanan psikologis harus menjadi standar.

Pendampingan pemulihan korban, termasuk bantuan hukum dan penguatan ekonomi, menjadi kunci agar korban tidak kembali ke lingkungan berisiko.

Di ruang digital, literasi harus diperkuat sejak sekolah, mencakup pemahaman tentang tanda-tanda kekerasan digital, menjaga privasi data, dan kesadaran konsekuensi jejak digital.

Layanan pengaduan 24 jam dan nomor darurat UPTD PPA menjadi jembatan pertama bagi korban, sementara kolaborasi pentahelix melibatkan pemerintah, kepolisian, sekolah, platform digital, dan komunitas perempuan.

Desa dapat menjadi ruang aman awal bagi korban, melalui peran kader PKK, pembina posyandu, dan tokoh masyarakat.

Kampanye 16 HAKTP bukan sekadar acara tahunan. Ia adalah momentum untuk menegaskan hak perempuan hidup tanpa rasa takut. Setiap rumah, sekolah, kantor, dan ruang digital harus menjadi ruang aman.

Rumah, idealnya adalah tempat penuh kasih, komunikasi yang membangun, dan rasa aman, bukan ketakutan dan tangis sunyi. Kekerasan digital maupun fisik harus ditangani dengan kesadaran bahwa perempuan berhak dihormati dan dilindungi.

Perlawanan terhadap kekerasan memang senyap, tetapi tidak boleh sunyi. Setiap laporan, setiap dukungan psikologis, dan setiap pendidikan literasi digital menjadi bagian dari upaya memastikan perempuan hidup tanpa luka sunyi.

Kesadaran ini bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga masyarakat luas, seperti keluarga, tetangga, guru, dan rekan kerja.

Dengan kolaborasi yang nyata dan konsisten, rumah, sekolah, kantor, dan ruang digital bisa menjadi tempat di mana perempuan tidak lagi menyimpan luka yang tersembunyi, melainkan tumbuh dengan aman, mandiri, dan berdaya.

Akhirnya, narasi ini menegaskan satu hal, yakni hak perempuan untuk hidup tanpa kekerasan adalah hak asasi yang tidak bisa ditawar.

Setiap upaya pencegahan, setiap tindakan perlindungan, dan setiap edukasi literasi digital adalah langkah kecil yang menyusun rumah aman bagi perempuan, di mana luka sunyi tak lagi tinggal diam.