Akhir Hidup Dwinanda Levi, Dosen Pidana Favorit Mahasiswa
kumparanNEWS December 02, 2025 09:20 AM
Dwinanda Linchia Levi. Nama ini mungkin tak berarti banyak bagi khalayak. Tapi bagi yang mengenalnya, ia sosok yang hangat kepada sesama dan hormat kepada senior. Seorang dosen muda di kampus swasta di Semarang dengan prestasi akademik cemerlang yang—bila tak terlanjur dijemput ajal—bakal menjadi Guru Besar Fakultas Hukum di usia 30-an. Para mahasiswa ingat betul kalimat favoritnya saat mengajar: Hukum pidana itu asyik.
***
Suasana malam pada Selasa, 18 November 2025, di TPU Jatisari, Semarang, dipadati oleh pelayat. Rombongan mahasiswa dan kolega berdiri rapat mengelilingi liang lahat Dwinanda Linchia Levi. Dosen berusia 35 tahun di Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) itu ditemukan tewas di sebuah guest house di Semarang, Jawa Tengah, sehari sebelumnya, Senin pagi (17/11).
Meski hidup tanpa keluarga sebagai perantau di Semarang, kepergian Levi meninggalkan duka bagi banyak orang. Menuju area perkuburan malam itu, antrean mobil pelayat mengular—pemandangan yang jarang dilihat oleh penjaga kuburan pada prosesi pemakaman malam hari.
Raymond Fernando, mahasiswa FH Untag semester 5 yang ikut ke pemakaman Levi, menganggap kerumunan pelayat malam itu cukup menggambarkan bahwa sosok dosennya dikenal sebagai pribadi yang baik. Menurutnya, di lingkungan kampus, Levi dikenal sebagai dosen muda yang supel dan tak berjarak dengan mahasiswa.
“Beliau itu orang baik. Almarhumah itu enggak punya keluarga di sini (Semarang). Tapi ketika pemakamannya, apalagi malam hari, [permakaman] full loh. Itu salah satu bukti yang menandakan beliau orang baik,” kata Raymond kepada kumparan di Semarang, Rabu (26/11).
Levi ditemukan meninggal tanpa busana di kamar 210 Mimpi Inn yang selama ini menjadi tempat kosnya di Jalan Telaga Bodas Raya, Gajahmungkur, Kota Semarang. Polisi tidak menemukan tanda kekerasan pada tubuhnya. Autopsi di RSUP Kariadi mengungkap penyebab kematiannya adalah pecah jantung akibat aktivitas yang berlebihan.
Sepanjang malam sebelum kematiannya, Levi di dalam kamar bersama AKBP Basuki, Kasubdit Dalmas Ditsamapta Polda Jateng. Dari hasil penyelidikan, diketahui bahwa keduanya menjalin hubungan di luar nikah sejak 2020.
Basuki kini dicopot dari jabatannya dan ditahan di bawah penempatan khusus atas dugaan pelanggaran kode etik berat.
Perbesar
AKBP Basuki, saksi kunci kematian Levi.. Foto: Dok. Istimewa
Banyak mahasiswa Fakultas Hukum Untag yang merasa syok dengan kematian Levi. Mereka terkejut ketika membaca pesan yang tersebar di grup mahasiswa soal penemuan jasad Levi di guest house. Para mahasiswa menerima kabar kematian itu pada Senin malam (17/11).
Keesokan paginya, Selasa (18/11), Raymond bersama beberapa mahasiswa lain mendatangi RSUP Dr. Kariadi dan melihat jasad Levi di ruang jenazah.
“Kami diberi kesempatan terakhir kali [melihat Levi] sebelum wajahnya ditutup dengan kain putih. Kami, rekan-rekan mahasiswa, bareng-bareng melihatnya untuk terakhir kalinya,” ucap Raymond.
Keakraban Levi dengan Mahasiswa
Raymond bertemu Levi pertama kali di semester 2 saat mata kuliah Hukum Pidana. Ia langsung terpincut dengan cara mengajar Levi yang jauh dari kesan killer. Kelas Hukum Pidana yang biasanya dianggap berat dan menakutkan, terasa berbeda di tangan Levi.
Dosen lulusan Universitas Jenderal Soedirman itu membangun suasana dua arah: ia bertanya, memancing diskusi, dan mengajak mahasiswa berpikir. Ia bukan cuma menyampaikan materi, tapi juga membuat suasana kelas lebih hidup.
Menurut Raymond, cara mengajar Levi membuat mahasiswa tak terbebani dengan materi hukum pidana yang merupakan mata kuliah wajib. Banyak mahasiswa justru menemukan minat mereka di kelas ini.
Satu kalimat sederhana yang sering diulang Levi di kelas dan membekas di hati mahasiswa ialah: “[Hukum] pidana memang asyik.”
Meski Hukum Pidana identik dengan gambaran mengurusi orang bermasalah, Levi bisa menunjukkan sisi menarik dari ilmu tersebut.
“Asyiknya di situ—bagaimana cara kita mengolah kasus, menganalisis kasus-kasus orang yang bermasalah yang sebenarnya belum tentu bersalah,” kata Raympnd.
Perbesar
Raymond Fernando, mahasiswa Untag Semarang yang diajar oleh dosen Levi. Foto: Muthia Firdaus/kumparan
Kelas Levi menjadi titik awal untuk menentukan penjurusan di semester 6, apakah para mahasiswa itu akan mendalami hukum pidana, perdata, atau hukum bisnis.
“Kebanyakan mahasiswa setelah diajar oleh beliau akan mendapatkan motivasi untuk masuk ke penjurusan di pidana,” ucap Raymond.
Interaksi hangat Levi dengan para mahasiswa juga terjadi di luar kelas. Empat atau lima hari sebelum kematiannya, Levi sempat nongkrong bersama para mahasiswa di kantin. Ia memang suka mampir ke kantin untuk jajan. Saat itu kebetulan Raymond sedang duduk di kantin FH yang juga kerap jadi titik kumpul mahasiswa.
Saat kongko bersama mahasiswa, Levi kerap membuka ruang diskusi kecil sambil berbagi jajanan dengan mereka. Keakraban itulah yang membuat para mahasiswa mendesak agar penyelidikan kematiannya berjalan adil.
Perbesar
Untag membentuk tim hukum untuk mengawal pengusutan kasus kematian dosen mereka, Dwinanda Linchia Levi. Foto: Intan Alliva Khansa/kumparan
Rabu (19/11), para mahasiswa mendatangi Polda Jawa Tengah sambil membawa poster besar bertuliskan “Justice for Levi”. Kedatangan mereka diterima Kabid Humas Polda Jateng Kombes Artanto, Dirreskrimum Polda Jateng Kombes Dwi Subagio, serta Kabid Propam Polda Jateng Kombes Pol Saiful Anwar.
Perwakilan mahasiswa, Antonius Fransiscus Polu, menyebut ada kejanggalan dalam kematian Levi, terlebih karena saksi kunci dalam insiden tersebut adalah seorang anggota polisi—AKBP Basuki.
“Kami mendengar Bu Levi ada riwayat penyakit, tapi di TKP posisi korban bugil, terus hubungan Bu Levi dengan saksi kunci (AKBP Basuki) kita belum tahu,” kata Antonius.
Raymond baru tahu Levi punya penyakit. Selama di kampus, ia tak pernah melihat dosennya itu sakit. Apalagi ia biasa mengonsumsi minuman herbal. Walau begitu, para mahasiswa tidak tahu gaya hidup Levi di luar kampus.
“Yang kita tahu tuh beliau seperti menjaga kesehatan. Wong di sini (kantin) suka minuman ramuan kayak jamu; suka [minta tolong] ke penjual di kantin ‘Godokke iki’ (rebuskan ini). Minuma herbal, gitu,” ujar Raymond.
Perbesar
Edi Pranoto, Juru Bicara Tim Advokasi Fakultas Hukum Untag Semarang. Foto: Muthia Firdaus/kumparan
Anggota Tim Hukum Untag yang sesama dosen, Edi Pranoto, juga mengetahui kebiasaan Levi minum rebusan herbal Jawa di kampus. Menurut cerita para dosen, Levi sedang menjalani program diet tertentu.
Namun, Edi ingat Levi beberapa kali minta izin pulang lebih awal kepada ketua bagiannya karena merasa kurang sehat. Di antara percakapan dengan para dosen, sempat beredar kabar tentang kondisi kesehatan Levi yang sebetulnya cukup berat, seperti kadar gula darah yang pernah mencapai angka 600, dan angka tekanan darah yang berada di kisaran 190.
“Yang saya kaget itu adalah ketika gula darahnya 600, [tapi] beliau santai saja bekerja. Ning kantin yo mangan biasa,” tutur Edi.
Berdasarkan data rekam medik yang dirilis Polda Jateng, gula darah Levi di angka 600 mg/dL dan 6,4 mmol/L—melebihi batas normal. Sehari sebelum kematiannya, Minggu (16/11), Levi sempat tes kesehatan di RS Telogorejo dan sempat diinfus.
Setelah keluar dari RS, ia sebenarnya sempat ditelepon pihak RS yang hendak memintanya untuk rawat inap karena hasil tes yang buruk. Sayang panggilan telepon itu tak diangkat Levi.
Perbesar
Dosen Levi (kedua dari kanan) bersama keluarganya. Foto: Dok. Istimewa
Levi Dikenal Penurut dan Santun
Kenangan akan Levi tak cuma membekas di benak koleganya, tapi juga keluarga. Pengacara keluarga Levi, Zainal Petir, mengatakan Levi adalah perempuan sederhana yang dididik baik oleh orang tuanya.
Semasa kuliah S1 dan S2 di Fakultas Hukum Unsoed, Levi selalu diantar jemput ayahnya, tidak pernah mengendarai sepeda motor sendiri.
“Anak itu penurut. Sampai dia kuliah S2 tidak bisa naik sepeda motor [karena] diantar jemput oleh bapaknya … Karena itu dianggap manut,” ujar Zainal.
Semasa kuliah, prestasi akademik Levi cukup menonjol. Lulus S2, ia pun mengambil studi doktoral di Undip—menunjukkan kualitas akademik yang bagus.
Anugerah kecerdasan tak membuat Levi jemawa. Semasa hidup, ia dikenal ramah dan mudah bergaul. Levi juga selalu menghormati orang di sekitarnya.
Perbesar
Levi saat wisuda pascasarjana di Unsoed. Foto: Dok. Istimewa
“Jadi di kampus (Untag), saya sudah tanya atasannya, [katanya] orangnya sumeh, komunikatif, dengan dosen lebih senior ngajeni—menghormati. Itu mungkin didikan dari orang tuanya,” kata Zainal.
Kesantunan Levi juga diamini Edi Pranoto. Menurutnya, tiap bertemu rekan dosen atau pihak yang lebih senior, Levi selalu menunjukkan rasa hormat. Ia kerap menyalami sampai mencium tangan sebagai bentuk penghormatan.
“Doktor Levi itu orang yang santun di hadapan kami. Nek (kalau) ketemu saya, orang tua, teman-teman di satu profesi, itu salim—cium tangan. Diletakkan [tangan kami] di kening atau pipinya. Dengan kami-kami itu santun,” kata Edi.
Prestasi akademik yang bagus membuat Levi dinilai memiliki potensi besar untuk menapaki jenjang tertinggi sebagai Guru Besar. Terlebih, aktivitas Tri Dharma Perguruan Tinggi, mulai dari pengajaran, penelitian, hingga pengabdian masyarakat, dijalankan Levi dengan konsisten dan diakui di dalam maupun di luar kampus.
“Dia potensial untuk menjadi Guru Besar dalam waktu yang tidak lama,” ujar Edi.
Perbesar
Fakultas Hukum Untag Semarang. Foto: Muthia Firdaus/kumparan
Selain mengajar di Untag Semarang, Levi juga pernah mengajar di Universitas Diponegoro. Tahun 2024, ia menjadi pembicara di lembaga kursus Polri dengan materi tentang restorative justice yang juga menjadi tema disertasi Levi.
Menurut Edi, Levi juga sempat diundang menjadi narasumber pada peringatan Hari Lahir Pancasila di Universitas Indonesia.
“Bayangkan itu. Dosen swasta, Untag Semarang, yang jauh dari Jakarta, tiba-tiba bisa menjadi narasumber di pusatnya perguruan tinggi di Indonesia. Itu kan luar biasa. Maka kami sangat kehilangan. Sangat terpukul. Karena kinerjanya yang luar biasa,” kenang Edi.
Karangan bunga dari mahasiswa FH Untag Semarang di makam Levi. Foto: Muthia Firdaus/kumparan