Ringkasan Berita:
- Bangun jam 4 pagi, siswa Sekolah Rakyat jalani disiplin ala militer penuh aturan.
- Baris sebelum makan, suara lantang “Lapor siap makan” jadi rutinitas harian unik.
- Di balik disiplin ketat, anak-anak menahan rindu orang tua demi masa depan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Suasana hening begitu terasa di Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 6, Cipayung, Bambu Apus, Jakarta Timur, pada Selasa (2/12/2025) pukul 11.00 WIB.
Di beberapa ruang kelas, kegiatan belajar mengajar berlangsung tenang, sementara satu kelas memilih belajar di ruang terbuka.
Dari lapangan berbentuk huruf “U” yang dikelilingi gedung bercat putih dan oranye, terlihat asrama tiga lantai berdiri berseberangan: satu untuk siswa laki-laki, satu untuk siswa perempuan.
Di balik bangunan modern itu, kehidupan siswa berjalan dengan pola disiplin ketat.
Bangun pukul 04.00 pagi, beribadah bersama, belajar hingga sore, lalu menjalani pengasuhan malam.
Rutinitas ini bukan sekadar aturan, melainkan bagian dari pendidikan keteraturan hidup yang menjadi ciri khas Sekolah Rakyat.
Program pemerintah yang digagas Presiden Prabowo Subianto ini bertujuan menekan angka kemiskinan melalui jalur pendidikan gratis, berkualitas, aman, dan berasrama, dengan pelaksanaan di bawah koordinasi Kementerian Sosial.
Kepala Sekolah SRMP 6 Jakarta Timur, Regut Sutrasto, menjelaskan bahwa pola hidup siswa diatur padat sejak bangun hingga tidur kembali.
“Tantangannya adalah bagaimana merubah pola perilaku anak, pola keteraturan hidup anak. Jadi kalau di awal-awal itu kan anak-anak terbiasa jam 23.00 baru tidur, terus jarang olahraga, jarang cek kesehatan. Nah di Sekolah Rakyat ini adalah tantangannya yang merubah pola keteraturan hidup,” jelasnya.
Sebelum masuk sekolah, banyak siswa terbiasa tidur larut malam, jarang berolahraga, dan kurang menjaga kesehatan. Di SRMP 6, mereka dibiasakan tidur lebih awal, bangun pukul 04.00, beribadah, membersihkan kamar, lalu mengikuti pelajaran.
Regut menambahkan, “Jadi kita buat jadwal yang padat dari bangun pagi sampai tidur kembali. Dan itu sudah terpola dan itulah tantangannya,” tuturnya.
Rutinitas disiplin tidak berhenti di pagi hari.
Pantauan Tribunnews.com menunjukkan momen unik setiap jam makan siang.
Sekitar pukul 12.30, puluhan siswa keluar dari kelas dan otomatis berbaris di dua koridor berbentuk huruf “L”. Chief — ketua piket harian — memimpin pengecekan jumlah dan kerapian barisan.
Barisan bergerak rapi menuju ruang makan. Meja dan kursi disusun melingkar, sehingga semua siswa saling berhadapan.
Sebelum makan, seorang chief memberi hormat kepada guru dan melaporkan: “Lapor, siswa-siswi SRMP 6 yang berjumlah 69 siap makan!”.
Seorang guru menjawab singkat, “Laksanakan.” Doa dipimpin, lalu makanan disantap bersama.
“Makannya jangan berisik,” ujar seorang guru lain dari kejauhan, menegaskan suasana disiplin yang tetap hangat.
Pola baris sebelum makan meniru gaya militer untuk melatih kepemimpinan.
“Itu mengikuti gaya angkatan, gaya TNI (Tentara Nasional Indonesia). Sehingga terbentuk disiplin anak-anak,” kata Regut.
Selain pendidikan akademik dan ekstrakurikuler, keteraturan hidup menjadi fokus utama.
Tantangan terbesar di Sekolah Rakyat adalah membuat anak terbiasa dengan pola baru.
Sejak Juli 2025, lima dari 75 siswa memilih mengundurkan diri karena tidak kerasan. Kini, sekitar 70 siswa bertahan dan mulai terbiasa dengan pola hidup disiplin.
Rindu Orang Tua, Siswa Belajar Mandiri di Asrama
Di balik pola ketat yang dijalani setiap hari, ada sisi emosional yang tak kalah penting.
Meski fasilitas makan tiga kali sehari, camilan dua kali, dan teknologi belajar tersedia, kerinduan pada orang tua tetap terasa kuat.
Afriza, salah satu siswa, mengaku sempat menangis setiap malam.
“Kalau pertama datang ke sini, kangen, nangis. Setiap malam enggak bisa tidur,” ungkap Afriza.
Zahwa, siswa lain, memilih menahan tangis dengan mengingat tujuan utama.
“Kalau kangen pastinya ada. Tapi aku enggak pernah nangis. Karena tujuan utamaku di sini belajar, dan mama maunya aku sukses,” kata Zahwa.
Guru Bimbingan dan Konseling (BK), Rahmadani, membenarkan banyak siswa awalnya mengeluh rindu orang tua dan masakan rumah.
“Setelah pendekatan, anak-anak justru lebih betah. Karena di sini segala sesuatunya terjamin,” jelas Rahmadani.
Putri Kirei menambahkan, setelah terbiasa ia merasa nyaman.
“Awal-awal memang kangen rumah. Sekarang sudah terbiasa jauh dari orang tua. Merasa ada perkembangannya,” ujar Putri Kirei, salah satu siswa SRMP 6.
Sementara siwa Glen Sky mengaku senang karena punya banyak teman.
“Awal-awal kayak militer, tapi dibawa asyik aja, ketawa-ketawa,” katanya.
Selain rutinitas sehari-hari, pengalaman siswa juga diperluas lewat kegiatan nasional.
Kebanggaan datang saat 11 siswa SRMP 6 ikut tim paduan suara Upacara Kemerdekaan di Istana Merdeka, Jakarta, 17 Agustus 2025.
Zahwa dan Afriza menceritakan pengalaman berharga itu.
“Mama titip pesan, setiap ada kegiatan yang bisa bikin bangga, harus ikut,” kata Zahwa.
Afriza menambahkan, orang tuanya sampai menangis bahagia.
“Bunda bilang bangga banget sama anak yang bisa bahagiakan orang tua,” ujarnya.
Tidak hanya siswa, orang tua juga merasakan dampak program ini.
Pada hari pertama Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di Sekolah Rakyat Sentra Handayani, Jakarta Timur, 14 Juli 2025, sejumlah orang tua siswa menyampaikan pandangan mereka kepada Kompas.com.
Seorang ibu bernama Kustini mengatakan anaknya sebelumnya bersekolah di swasta namun pindah ke Sekolah Rakyat karena faktor biaya, dan ia merasa senang anaknya diterima di sekolah ini.
Sementara itu, Abdul Azis, orang tua lain, menekankan bahwa ia membebaskan anaknya memilih sekolah, dan melihat Sekolah Rakyat sebagai alternatif yang lebih terjangkau dibanding sekolah formal di tempat asalnya.
Konteks kebijakan menjadi penting untuk dipahami.
Regut menegaskan, Sekolah Rakyat adalah bagian dari program pemerintah yang digagas Presiden Prabowo untuk menuntaskan anak-anak di bawah garis kemiskinan.
“Tujuannya agar kemiskinan berkurang melalui pendidikan. Di sini anak-anak dilatih keteraturan hidup, kesehatan, dan bakat minatnya,” jelasnya.
Kehidupan di SRMP 6 bukan sekadar rutinitas disiplin ala militer.
Di balik barisan rapi dan laporan sebelum makan, ada cerita tentang anak-anak yang belajar mandiri, menahan rindu, dan berjuang demi masa depan.
Disiplin yang ditanamkan sejak dini menjadi bekal, sementara kerinduan pada orang tua mengingatkan bahwa pendidikan selalu berakar pada nilai kemanusiaan. (*)