TRIBUNNEWS.COM - Distribusi pembagian bantuan logistik korban banjir di Posko di Kampung Payabedi, Kecamatan Rantau, Aceh Tamiang, Aceh mendapat kritikan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Muhammad Zakiruddin.
Ia mengaku heran dengan pola pembagian logistik korban banjir.
Menurutnya, pemerintah daerah terlalu mengedepankan standar operasional prosedur (SOP) yang tinggi hingga menyebabkan penyaluran tak lancar.
“Ratusan ribu warga Aceh Tamiang kelaparan, mereka masih terisolir. Utamakan nyawa manusia,” kata Zakiruddin, dikutip dari Serambinews.com.
Ia merasa prihatin saat mengetahui ada masyarakat yang tidak diberi bantuan walau sudah jauh-jauh datang ke Payabedi.
Zakiruddin mengatakan, petugas posko menolak menyerahkan bantuan karena berdalih akan mengantarkan langsung ke dapur umum supaya lebih terkoordinir.
“Kondisi hari ini belum normal, jalan masih berlumpur belum bisa dilalui. Kalaupun ada kendaraan tidak ada BBM, seharusnya dipermudah,” ujarnya, Sabtu (6/12/2025).
Ia juga mengaku sempat beradu argumen dengan sejumlah pihak ketika mendatangi posko Payabedi beberapa hari lalu.
Seharusnya, kata Zakiruddin, pemda menyuplai seluruh bahan pangan secara merata supaya tak ada lagi masyarakat yang kelaparan.
“Stok di posko banyak, warga kita kelaparan, jadi mau nunggu apa lagi,” kesalnya.
Menurutnya, pemda harus lebih kompak dan mengutamakan nasib rakyat.
Sementara itu, Ketua DPRD Kota Pematangsiantar, Sumatra Utara (Sumut), Timbul Margenda Lingga meminta agar bencana di Sumatra berstatus bencana nasional.
Mengutip Tribun-Medan.com, ia mendesak pemerintah pusat untuk segera menetapkan bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar jadi bencana nasional.
Ia menuturkan, skala bencana ini sudah melampaui kemampuan pemerintah daerah.
“Skala bencana ini sudah melampaui kemampuan pemerintah daerah. Pemerintah pusat harus hadir sepenuhnya,” ujar Timbul.
Bencana ini melumpuhkan akses transportasi hingga memutus rantai distribusi logistik.
Hal tersebut sudah di luar kemampuan pemerintah daerah secara mandiri.
Kondisi di lapangan juga makin memburuk karena banyak daerah yang sulit untuk dijangkau.
“Masyarakat berada dalam kondisi kelaparan, jaringan komunikasi terputus, listrik padam. Penanganan darurat menjadi semakin terhambat,” katanya.
Ia menegaskan bahwa penetapan status nasional telah diatur dalam Undang-Undang.
Untuk itu, ujarnya, negara tak boleh setengah hati ketika rakyatnya menghadapi krisis yang mengancam hidup mereka.
“Negara tidak boleh hadir setengah hati ketika rakyatnya menghadapi krisis yang mengancam hidup mereka,"
"Jika keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, maka penetapan bencana nasional adalah langkah yang paling rasional dan manusiawi,” tegas Timbul.
(Tribunnews.com, Muhammad Renald Shiftanto)(Serambinews.com, Rahmad Wiguna)(Tribun-Medan.com, Alija Magribi)