TRIBUNNEWS.COM - Gedung Putih melanjutkan perseteruannya dengan penyanyi Sabrina Carpenter dengan mengunggah potongan video program TV Saturday Night Live (SNL) yang telah diedit.
Langkah ini muncul setelah kritik keras dari Sabrina Carpenter terkait penggunaan lagunya, "Juno", sebagai backsound penangkapan imigran oleh ICE, lembaga federal Amerika Serikat yang menangani penegakan hukum imigrasi.
"This video is evil and disgusting. Do not ever involve me or my music," protes Carpenter, Selasa (2/12/2025).
(Video ini jahat dan menjijikkan. Jangan pernah libatkan saya atau musik saya.)
Gedung Putih telah menghapus video yang diprotes tersebut, namun menggantinya dengan unggahan baru.
Pada Sabtu (6/12/2025), Gedung Putih membagikan potongan video klip SNL di X, dengan mengedit dialog yang diucapkan Carpenter.
Di klip asli, Carpenter bercanda dengan rekannya, Marcello Hernandez, dengan berkata:
"I think I might need to arrest someone for being too hot."
(Aku rasa aku harus menahan seseorang karena terlalu seksi.)
Gedung Putih mengganti frasa "too hot" menjadi "too illegal," dan menampilkan Hernandez menyerahkan tangannya seolah-olah akan ditahan.
Caption dalam video hasil editan tersebut berbunyi:
"PSA: If you're a criminal illegal, you WILL be arrested & deported."
(Pengumuman: Jika kamu kriminal ilegal, kamu AKAN ditahan dan dideportasi).
Pihak Carpenter belum memberikan komentar atas klip suntingan baru ini.
Sebelumnya, Gedung Putih menanggapi kritik Carpenter dengan merujuk pada lirik-lirik lagunya.
Juru bicara Gedung Putih, Abigail Jackson, mengatakan:
"Kami tidak akan meminta maaf karena mendeportasi pembunuh ilegal, pemerkosa, dan pedofil kriminal berbahaya dari negara kami. Siapa pun yang membela monster-monster ini pasti bodoh atau lambat."
Pada 3 November lalu, Gedung Putih mengunggah video patriotik Donald Trump dan timnya di TikTok dengan menggunakan lagu “The Fate of Ophelia” milik Taylor Swift.
Trump selama ini dikenal sebagai sosok yang tidak menyukai Swift.
Ia pernah menulis di Truth Social:
“Has anyone noticed that, since I said ‘I HATE TAYLOR SWIFT,’ she’s no longer ‘HOT?’”
(“Apakah ada yang menyadari bahwa sejak aku bilang ‘AKU BENCI TAYLOR SWIFT,’ dia tidak lagi ‘HEBAT?’”)
Komentar negatif Trump bermula tidak lama setelah Swift menyatakan dukungan kepada Kamala Harris pada pemilu 2024, mengutip Variety.
Swift saat itu juga mengkritik Trump karena pernah menggunakan foto palsu yang seakan-akan menunjukkan dirinya mendukung Trump.
Trump bahkan memperingatkan bahwa dukungan Swift kepada Harris akan membuat penjualan musiknya menurun, meski pernyataan itu terbukti salah.
Sementara itu, seperti Sabrina Carpenter, Olivia Rodrigo juga marah ketika lagunya dipakai pemerintahan Trump untuk mempromosikan deportasi massal.
Pada 5 November, akun Instagram resmi Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) dan Gedung Putih mengunggah video yang mendorong imigran ilegal meninggalkan AS secara sukarela.
Video tersebut menggunakan cuplikan lagu Rodrigo, "All-American Bitch," sebagai soundtrack.
Rodrigo, warga negara AS keturunan Filipina, mengecam penggunaan musiknya dengan menulis:
"Jangan pernah gunakan lagu-lagu saya untuk mempromosikan propaganda rasis dan kebencian Anda."
Komentar tersebut dihapus, tetapi tangkapan layarnya telah beredar luas.
Setelah kritik Rodrigo viral, Instagram menghapus soundtrack dari unggahan tersebut dan kini menampilkan pesan kesalahan: "Lagu ini saat ini tidak tersedia."
Dalam pernyataan kepada Guardian, juru bicara DHS mengatakan:
"Amerika selalu berterima kasih kepada petugas penegak hukum federal kami yang menjaga kami tetap aman."
"Kami menyarankan Nona Rodrigo untuk berterima kasih kepada mereka atas pengabdian mereka, bukan meremehkan pengorbanan mereka."
Departemen tersebut tidak mengonfirmasi apakah mereka menghapus komentar asli Rodrigo.
Sejak menjabat, Presiden AS Donald Trump telah memberlakukan sejumlah kebijakan imigrasi yang kontroversial.
Mengutip situs American Friends Service Committee (afsc.org), pemerintahan Trump memperluas deportasi besar-besaran di seluruh AS.
Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai (ICE) diinstruksikan memenuhi kuota 1.200–1.500 penangkapan per hari.
Penggerebekan dilakukan di tempat kerja dan komunitas di berbagai kota, besar maupun kecil.
Bahkan anak-anak kini ditahan di pengadilan imigrasi, tempat check-in ICE, depan gedung pengadilan, hingga di sekolah.
Undang-Undang Musuh Asing yang pernah digunakan selama Perang Dunia II untuk menahan warga keturunan Jepang, Jerman, dan Italia di kamp interniran, kini kembali diupayakan Trump untuk mendeportasi orang-orang tanpa proses hukum yang layak.
Meskipun penerapan undang-undang ini terus menghadapi tantangan hukum, pemerintahannya telah mengirim ratusan orang ke El Salvador dan berbagai negara lain, di mana mereka kini ditahan dalam kondisi yang tidak manusiawi.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)