Presiden Suriah Al-Sharaa Kecam Agresi Israel dan Bahas Pemilu 5 Tahun
Bobby Wiratama December 07, 2025 06:33 PM

TRIBUNNEWS.COM - Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa mengecam serangkaian serangan Israel yang disebutnya memicu ketegangan regional dan mengalihkan perhatian dari “pembantaian mengerikan” di Gaza.

Peringatan itu ia sampaikan dalam wawancara dengan Christiane Amanpour pada program Newsmaker CNN di Forum Doha, Sabtu (6/12/2025).

Al Jazeera melaporkan wawancara tersebut diterbitkan pada 6 Desember 2025.

Al-Sharaa menuduh para pemimpin Israel “mengekspor krisis” ke negara lain dengan memanfaatkan dalih keamanan pasca serangan 7 Oktober.

“Israel telah menjadi negara yang berperang melawan hantu,” ujarnya, dikutip Al Jazeera.

Sejak jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada Desember 2024, Israel meningkatkan operasi militernya di Suriah, termasuk serangan udara yang menewaskan ratusan orang dan operasi darat di wilayah selatan.

PressBee melaporkan pasukan Israel juga mendirikan pos pemeriksaan baru serta menahan warga Suriah secara ilegal.

Bulan lalu, sedikitnya 13 warga tewas di Beit Jinn, Damaskus pedesaan, setelah serangan Israel.

“Kami sudah mengirim pesan positif soal perdamaian dan stabilitas regional, tetapi Israel membalas dengan kekerasan ekstrem,” kata al-Sharaa.

Al-Sharaa menyatakan Israel harus kembali ke garis posisi sebelum runtuhnya rezim Assad dan mematuhi Perjanjian Pelepasan 1974 yang menetapkan zona penyangga di Dataran Tinggi Golan.

Ia memperingatkan upaya mengubah pengaturan itu dapat membawa kawasan masuk ke “situasi serius dan berbahaya”.

Pernyataan ini muncul setelah PM Israel Benjamin Netanyahu mengatakan kesepakatan baru dengan Suriah “sudah dalam jangkauan”, termasuk pembentukan zona penyangga demiliterisasi dari Damaskus hingga Jabal al-Sheikh.

Namun al-Sharaa menegaskan, “Suriahlah yang diserang Israel, bukan sebaliknya.”

Terkait persatuan nasional, al-Sharaa menyebut Suriah “sedang menjalani masa terbaiknya”, meski tantangan masih besar.

Ia menolak anggapan bahwa perlawanan terhadap rezim Assad adalah “revolusi Sunni”, dengan menegaskan bahwa “semua komponen masyarakat Suriah adalah bagian dari revolusi”.

Ia juga mengakui adanya kekerasan sektarian pada tahun ini, termasuk pembunuhan ratusan warga Alawite di wilayah pesisir pada Maret dan bentrokan antara pasukan pemerintah dengan suku Badui di Suwayda yang menewaskan lebih dari 1.400 orang pada Juli.

“Suriah adalah negara hukum… dan hukum adalah satu-satunya cara melindungi hak semua orang,” katanya.

Sejumlah kelompok HAM menyatakan kekhawatiran bahwa perempuan menghadapi risiko lebih besar di bawah pemerintahan baru yang sebagian dipimpin mantan anggota al-Qaeda.

Al-Sharaa menegaskan perempuan “diberdayakan” di bawah pemerintahannya.

“Hak-hak mereka dilindungi dan dijamin,” ujarnya.

Al-Sharaa memastikan pemilu legislatif akan digelar dalam waktu lima tahun sejak penandatanganan Deklarasi Konstitusi Sementara pada Maret lalu.

Dokumen itu memberikan mandat lima tahun kepadanya untuk memimpin Suriah melewati masa transisi.

“Prinsip rakyat memilih pemimpinnya adalah prinsip dasar… Para penguasa harus mendapatkan kepuasan mayoritas rakyat,” katanya.

Al Jazeera melaporkan bahwa al-Sharaa menilai penguatan lembaga negara adalah prioritas, bukan konsolidasi kekuasaan individu.

Ia mengatakan Suriah kini berada pada jalur menuju “negara yang stabil” dan terbuka terhadap proses politik jangka panjang.

(Andari Wulan Nugrahani)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.