TPA Suwung Bali Tutup, I Nengah Muliarta Akademisi Unwar: Seni Menutup Masalah dengan Sapu Bersih
Putu Dewi Adi Damayanthi December 08, 2025 09:30 AM

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Panggung pengelolaan sampah di Bali kembali ramai. Bukan karena ada terobosan teknologi canggih, melainkan karena drama “penutupan” Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Regional Suwung yang konon kabarnya sudah tak seksi lagi di mata pariwisata.

Penutupan TPA Suwung, yang selama ini menjadi lambang ‘dapur’ sampah Bali Selatan, disambut dengan riuh rendah. 

Ada yang lega karena bau tak sedapnya akan segera jadi kenangan (semoga!), ada pula yang cemas, karena tumpukan sampah tiba-tiba ‘wisata’ pindah ke halaman belakang rumah mereka. Bagaimana tidak? 

Kita sedang menyaksikan sebuah seni menutup masalah dengan sapu bersih, tetapi sapunya hanya memindahkan debu ke karpet sebelah.

Mari kita luruskan dulu benang kusut yang melilit Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor 921 Tahun 2025. 

Lucu sekali melihat kegaduhan di lapangan, seolah-olah TPA Suwung harus diisolasi dan ditinggalkan selamanya, padahal  yang disuruh stop total adalah si perilaku kuno nan bandel: praktik open dumping! 

Ini seperti meminta koki di dapur berhenti menggunakan minyak jelantah karena tidak sehat, tapi sang koki malah mengunci seluruh dapurnya sambil teriak, “Dapur ditutup! Masak pindah ke tetangga!” 

Kementerian hanya meminta kita berhenti melanggar Undang-Undang dan mulai menggunakan teknologi yang waras, bukan menyuruh kita menimbun sampah di balik tirai pura-pura atau melemparnya kembali ke lautan demi konten "Bali Bebas Sampah"—yang justru mewujudkan TPA keliling bernama TPS 3R yang kini menjerit minta ampun karena kebanjiran residu.

Jika menyimak siaran pers Kementerian Lingkungan Hidup tertanggal 10 Maret 2025, sangat jelas yang diminta adalah penghentian total metode open dumping (penumpukan terbuka), bukan penutupan TPA-nya secara definitif. 

Di mana terdapat 343 TPA yang menerapkan open dumping di Indonesia, salah satunya TPA Suwung. 

Sejumlah TPA tersebut menghapuskan open dumping dan beralih ke sistem sanitary landfill atau controlled landfill.

Menghentikan open dumping adalah langkah yang wajib dan mutlak sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pasal 44 Undang-Undang tersebut secara gamblang melarang open dumping. Jadi, instruksi Kementerian ini seharusnya diterjemahkan sebagai: 

“Berhentilah melanggar undang-undang, ganti dengan sanitary landfill atau teknologi lain!”. 

Namun, di lapangan, instruksi ini cenderung dibaca sebagai "Tutup total! Titik!" 

Ini adalah kesalahpahaman yang disengaja atau ketidaktahuan yang fatal, dan dampaknya langsung terasa. 

Open dumping adalah metode usang yang harus dihentikan, bukan TPA sebagai prasarana pengelolaan yang ditutup. 

TPA adalah prasarana vital yang fungsinya memproses residu, bukan hanya menumpuk.

TPA Suwung mungkin bau, kumuh, dan melanggar aturan, tapi ia adalah bagian tak terpisahkan dari sistem pengelolaan sampah. 

Pasal 11 Undang-Undang Pengelolaan Sampah dengan jelas menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan dalam pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan lingkungan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau pihak lain yang diberi tanggung jawab untuk itu. 

Menutup TPA Suwung, yang melayani tiga wilayah padat (Denpasar, Badung, Gianyar), sama saja dengan memotong kaki sendiri sebelum menemukan kaki palsu yang pas. 

Analisis mendalam menunjukkan bahwa penutupan total yang tergesa-gesa ini tidak sejalan dengan semangat pengelolaan sampah yang komprehensif.

Tanpa solusi pemrosesan akhir yang memadai, ‘tsunami’ sampah pun dialihkan ke tempat yang konon katanya lebih ‘santun’: Tempat Penampungan Sementara (TPS) dan TPS 3R (Reuse, Reduce, Recycle). TPS 3R yang seharusnya menjadi garda depan pemilahan dan pengolahan sampah, kini kebanjiran sampah tanpa ampun. TPS 3R dibangun untuk mengolah maksimal 30 persen sampah. 

Sisanya (residu) tetap harus dibuang ke TPA. Ketika TPA ditutup, TPS 3R dipaksa menampung 100 persen sampah. 

Mereka bukan lagi tempat pemilahan, melainkan TPA skala kecil ilegal yang beroperasi di tengah permukiman.

Pemerintah Daerah (Pemda) seolah ‘cuci tangan’ dengan mengatakan, “Sampah harus diolah di sumber!” 

Pernyataan ini benar, tapi prematur. Kesiapan infrastruktur, edukasi masyarakat, dan pembiayaan untuk pengolahan sampah di tingkat desa (TPS 3R) belum mumpuni untuk menanggung seluruh beban Suwung. 

Kini, bukan hanya TPA Suwung yang bau, tetapi puluhan TPS dan TPS 3R di Denpasar dan Badung yang mulai kewalahan, menggunung, dan memicu konflik sosial karena lokasinya yang dekat dengan warga. 

Kita hanya memindahkan polusi visual dan bau dari satu ‘monster’ besar ke puluhan ‘monster’ kecil.

Penutupan TPA Suwung adalah contoh sempurna dari kesenjangan akut antara komitmen politik (niat bersih) dan realisasi teknokratis (cara kerja). 

Keputusan menghentikan open dumping seharusnya disertai dengan penyiapan teknologi pengganti (seperti sanitary landfill atau RDF/PLTSa) yang berjalan paralel. 

Penutupan TPA tanpa pengganti ibarat mematikan mesin pesawat di udara sambil berjanji akan segera memasang sayap baru.

Undang-Undang Pengelolaan Sampah menuntut perubahan perilaku dari masyarakat (pemilahan). 

Namun, perubahan ini perlu didukung oleh kepastian infrastruktur pengolahan residu. 

Ketika infrastruktur akhir kolaps (TPA ditutup), motivasi masyarakat untuk memilah pun runtuh, karena toh akhirnya sampah akan menumpuk juga di desa mereka. 

Suwung adalah refleksi dari ketergantungan kronis kita pada solusi ‘buang dan lupakan’ selama puluhan tahun. 

Penutupannya harusnya jadi trigger investasi besar-besaran untuk Intermediate Treatment Facility (ITF) atau teknologi modern, bukan dijadikan alasan untuk menumpuk sampah di tempat lain.

Kita semua setuju: open dumping harus mati. Tapi jangan sampai instruksi Kementerian yang berniat baik ini malah melahirkan seribu Suwung baru dalam skala kecil di setiap sudut kota. 

Seni menutup masalah seharusnya berarti mengurai dan menuntaskan, bukan sekadar memindahkan dan menyembunyikan. 

Pengelolaan sampah regional membutuhkan solusi regional yang permanen dan berteknologi, bukan hanya kebijakan populis yang membuat masalah berpindah alamat. 

Masyarakat menanti, kapan drama komedi ini akan berakhir, dan panggung pengelolaan sampah Bali benar-benar bersih—bukan hanya di atas kertas, tapi juga dari tumpukan sampah yang kini bersemayam di depan TPS 3R. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.