BANJARMASINPOST.CO.ID - Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Hampir di tiap daerah, baik di ujung Timur hingga ke Barat, dilanda bencana alam.
Satu yang paling parah adalah musibah di pulau Sumatera.
Ada banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Meskipun tengah dilanda kesusahan dan kekurangan, umat Islam setempat tetap jalankan ibadah.
Khusus untuk salat thaharah (bersuci) merupakan syarat sahnya.
Namun, syariat Islam dibangun di atas prinsip kemudahan (yusr), sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 185.
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran.”
Husnan Budiman (38), warga Tanjung Selatan, Kabupaten Tabalong, mengatakan, saat kondisi bencana, seorang muslim justru lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
“Salat tentu tetap jadi sebuah kewajiban,” ucap ayah satu anak itu kepada Serambi UmmaH, Kamis (11/12/2025).
Diqiyaskan kepada orang yang mengalami sakit, yang tetap diwajibkan melaksanakan salat.
Meskipun tentu dengan segala ketentuan rukhsohnya atau keringanan.
Lalu, bagaimana menyikapi kondisi bencana, seperti sulit air, ketiadaan pakaian yang bersih atau keterbatasan tempat yang layak dan bersih untuk mengerjakan ibadah?
Menurut Husnan, mayoritas penduduk Indonesia menggunakan mazhab syafi’i.
Jika tidak menemukan air untuk bersuci, maka dapat menggunakan debu dengan cara bertayamum.
“Jadi bersuci bisa lewat bertayamum,” ujar pekerja wirausaha ini.
Jika bertayamum pun tidak bisa, maka tetap diwajibkan melaksanakan ibadah salat pada waktunya dengan niat menghormati waktu atau li hurmatil wakti.
Meski demikian, ketika sudah menemukan keberadaan sarana bersuci, maka salatnya wajib diulang kembali.
Terkait bencana yang melanda, menurut Husnan, sebagai orang yang beriman, wajib percaya, musibah adalah ujian yang datang dari Allah SWT.
“Maka tiap yang datang dari Allah, kita meyakini hal tersebut pasti mengandung hikmah,” ucapnya.
Hikmah untuk menjadikan orang yang lebih sabar, hikmah sebagai pengingat atas apa-apa yang sudah diperbuat.
Senada disampaikan Muhammad Rusydi (34), pengajar di Pondok Pesantren Anwarul Hasaniyyah, Marindi, Tabalong.
“Dalam menghadapi bencana, yang pertama tentu harus bersabar dan tawakal atas musibah yang terjadi,” ujar dia kepada Serambi UmmaH, Kamis (11/12/2025)
“Jangan tinggalkan zikir dan doa serta terus sangka baik kepada Allah. Ada hikmah di balik setiap kejadian,” ucapnya.
Menurut Rusydi, saat ini Allah ingin menaikkan kelas, meninggikan derajat mereka yang sedang diuji melalui bencana.
“Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang akan menerpa. Semoga saudara-saudara kita saat ini diberi ketabahan dan kekuatan serta diganti dengan yang lebih baik, Aamiiin,” tuturnya.
Lalu bagaimana dengan persoalan melaksanakan ibadah saat menjadi korban bencana, dia menyebut ibadah tetap diperintahkan meskipun saat kondisi bencana.
Tentu dengan adanya keringanan atau rukhsoh, seperti tayammum ketika air tidak ada untuk dapat digunakan bersuci.
Ini sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW ketika perang. Nabi etap laksanakan salat dengan para sahabat.
“Islam mengajarkan, ketika kesulitan mendapatkan air, maka dianjurkan untuk tayammum menggunakan debu atau tanah yang suci,” jelas Rusydi.
Sedangkan untuk pakaian dan tempat, berusaha dulu cari pakaian dan tempat yang bersih.
Apabila tetap tidak ada, maka salat pakai pakaian dan tempat seadanya serta jaga niat dan keikhlasan.
Menurut Wakil Ketua Umum MUI Tabalong, H Ahmad Surkati SAg Msi, dalam situasi darurat, maka terpenting lakukan salat untuk mengingat Allah SWT.
Meski dengan cara duduk, berbaring, atau bahkan tempat kering tidak tersedia, semua tergenang air, maka salatlah meski dalam air sekali pun.
Dalam sebuah hadis, riwayat Abu Said al-Khudri disebutkan: “Awan datang lalu menurunkan hujan hingga atap masjid bocor.
Atap masjid itu terbuat dari pelepah kurma.
Kemudian salat didirikan dan aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam sujud di atas air dan lumpur, hingga aku melihat bekas lumpur di dahinya.” (HR Bukhari dan Muslim). Hadis ini jadi dalil salat boleh dikerjakan.
“Saat musibah terjadi, sering kali manusia ketakutan, sedih, putus asa, stres, maka obatnya kembali kepada Tuhan, mengingat dan berdoa supaya cepat berlalu,” tutur Surkati.
Lalu bagaimana cara bersuci yang benar dan sesuai syari’ah?
“Bersuci dari najis adalah kewajiban bagi tiap muslim. Terlebih ketika ingin melaksanakan salat, seseorang harus suci dari hadas kecil dan besar,” jelas Surkati. (Banjarmasinpost.co.id/dony usman)
MUSIBAH adalah cara Allah mengingatkan hamba agar bersegera kembali kepada-Nya.
Karena itu biasa kita temukan seseorang mengatakan ‘Inalillahi wainna ilaihi rajiun’ saat mendengar, melihat atau justru merasakan penderitaan saat diuji.
Apakah menimpa orang lain, keluarga atau diri sendiri.
Sungguh kalimat suci itu menyadarkan manusia akan sejati keberadaan diri,’Kita berasal dari Allah dan kembali kepadanya’.
Tersirat ungkapan itu menandaskan kepemilikan mutlak Allah, terserah Dia Yang Maha Berkuasa atas kehidupan ini.
Apakah aman-aman saja, atau diberi guncangan berupa gempa, longsor, banjir atau justru terjadi kiamat. Hanya Allah yang tahu!
Namun demikian, Allah Maha Adil, sistem kehidupan telah dicipta sedemikian baik dan sempurna.
Sebagai hamba Allah yang mengkhalifah, manusia dituntut untuk mengelola berbagai nikmat hidup, termasuk membumikan Al-Qur’an supaya kehidupan damai dan sejahtera.
Sebaliknya, alam bisa murka dan tidak bersahabat lagi jika ekosistem tidak dihargai dan dimuliakan.
Memahami kondisi ini, siap orang penting menyadari status hamba, semua aktivitasnya adalah penghambaan.
Baik ibadah yang sudah ditentukan seperti salat, berlaku benar saat berinteraksi dengan manusia, hewan, pohon maupun sumber daya alam lainnya.
Ibadah seperti salat tetap ditegakan meski di tengah kondisi genting musibah, sebagai wujud ketaatan yang dibangun dari kesadaran sabar dan ikhlas menerima ujian.
Namun demikian, agama juga mengatur teknis di lapangan berupa beberapa rukhsah.
Rukhsah menurut bahasa adalah mempermudah dan meringankan satu persoalan.
Secara istilah rukhsah merupakan hukum yang tetap berdasarkan dalil yang berbeda dengan dalil syar’i karena pertimbangan uzur mukallaf. (Syekh Ali Jum’ah Muhammad, Al-Hukmus Syar’i indal Ushuliyyin).
Karena itu, mereka yang ditimpa musibah, atau para pengevakuasi korban, bisa melaksanakan salat tidak di awal waktu.
Sebab alasan menyelamatkan diri atau orang lain, lalu mengerjakan di akhir waktu.
Ada juga ulama yang membolehkan salat jama’ takhir agar banyak waktu untuk menolong terdampak musibah.
Begitu pula ketika air susah didapat, ada tapi untuk keperluan minum menjaga kehidupan, maka wudu boleh diganti tayamum.
Lalu bagaimana dengan ketiadaan pakaian, katakan hanya memakai celana panjang, fikih mengatur cukup sekedar menutup aurat dan tentu bersih dari najis.
Bersuci dari najis adalah kewajiban bagi setiap muslim, lebih ketika ingin melaksanakan salat misalnya, seseorang harus suci dari hadas kecil dan besar.
Maka dituntut memahami ilmu seputar itu, agar ibadahnya diterima, termasuk beristinja, membersihkan kotoran kecil dan besar yang keluar dari muka dan belakang badan.
Kondisi junub, usai berhubungan badan, maka kembali suci setelah mandi wajib. Ketika berhadas kecil, ingin melaksanakan salat wajib berwudu.
Dalam keadaan tidak ada air karena kemarau panjang atau musibah, wudu boleh diganti dengan tayamum.
Tayamum adalah cara bersuci dari hadas menggunakan debu.
Pertama kali berniat, kemudian mengambil debu di dinding rumah misalnya, untuk kemudian disapukan ke wajah.
Lalu kembali mengambil debu untuk kedua kalinya dengan kedua belah telapak tangan di tempat yang berbeda, disapukan ke kedua belah tangan.
Media apa yang bisa digunakan untuk bersuci?
Islam menekankan penggunaan air dalam berbagai kepentingan berthaharah (suci), juga dalam keadaan tertentu bisa dengan tanah (debu) tayamum.
Termasuk memanfaatkan kedua media air dan tanah untuk menyucikan sesuatu yang terkena najis mughallazah.
Apakah ada doa khusus yang harus dibaca untuk memantapkan niat dalam bersuci dalam keterbatasan saat bencana?
Meyakini, Allah memberi kemudahan dan bukan mempersulit seseorang melalui ujian.
Tapi justru memberi pengalaman agar di masa mendatang iman lebih kuat, serta penyerahan diri total kepada Allah. (Banjarmasinpost.co.id/dony usman)