Tokoh Cirebon Murka, Teguran Ketiga Diabaikan, Bangunan Liar Masih Kuasai Jalur Arjawinangun–Gegesik
Dwi Yansetyo Nugroho December 13, 2025 08:11 PM

Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Eki Yulianto


TRIBUNCIREBON.COM, CIREBON- Deretan bangunan semi permanen masih berdiri kokoh di sepanjang Jalan Raya Arjawinangun–Gegesik–Jagapura, Kabupaten Cirebon.

Sebagian menutup saluran air, sebagian lagi memakan bahu jalan.

Aktivitas jual beli tetap berlangsung, seolah tak pernah ada peringatan dari pemerintah.

Padahal, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah melayangkan surat teguran hingga tiga kali kepada masyarakat yang mendirikan bangunan liar di jalur tersebut.


Ruas Arjawinangun–Gegesik–Jagapura sendiri merupakan jalan milik Pemprov Jabar, yang seharusnya steril dari bangunan di atas fasilitas umum dan fasilitas sosial.

Dalam surat teguran ketiga tertanggal 9 Oktober 2025, Pemprov Jabar secara tegas meminta pemilik bangunan liar untuk membongkar bangunan secara mandiri dalam waktu tujuh hari.

"Sehubungan dengan hal tersebut, kami memperingatkan dan meminta untuk membongkar bangunan secara mandiri selama tujuh hari sejak diterbitkannya surat teguran ketiga."

"Apabila peringatan ini tidak diindahkan maka akan dilakukan penertiban sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” demikian bunyi surat tersebut.


Namun fakta di lapangan berkata lain.

Hingga pertengahan Desember 2025, bangunan-bangunan liar itu masih berdiri.

Belum tampak pula langkah penertiban dari Pemprov Jabar.

Kondisi ini menuai keprihatinan dari tokoh masyarakat setempat sekaligus Founder Indonesia Halal Watch, Dr H Ikhsan Abdullah SH MH. Ia menyayangkan sikap masyarakat yang tetap membandel meski telah diingatkan berkali-kali.

“Jumlah bangunan liar yang masih berdiri di sepanjang jalur Arjawinangun–Gegesik–Jagapura ini masih banyak sekali. Mereka tidak menghiraukan perintah,” ujar Ikhsan, Sabtu (13/12/2025).


Menurutnya, dampak keberadaan bangunan liar itu sangat nyata dan dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar, terutama saat musim hujan.

"Akibat banyaknya bangunan liar yang berdiri di atas saluran air atau di bahu jalan, banyak saluran air jadi mati."

"Kalau hujan besar, air meluap dan menyebabkan banjir,” ucapnya.

Ikhsan menilai, persoalan ini bukan sekadar pelanggaran aturan, tetapi juga menyangkut tanggung jawab moral dan nilai keagamaan.


Ia mengaitkannya dengan Fatwa MUI hasil Munas XI Tahun 2025 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah di Sungai, Danau dan Laut, yang menegaskan bahwa membuang sampah ke sungai dan danau hukumnya haram.

“Fatwa ini sangat relevan dengan pendirian bangunan di atas saluran tersier dan penggunaan bahu jalan untuk berjualan."

"Dampaknya jelas, saluran rusak, lalu lintas terganggu, dan lingkungan jadi korban,” jelas dia.

Ia menjelaskan, penutupan saluran air dan penggunaan bahu jalan menyebabkan sampah, sedimen, serta limbah masuk ke drainase, membuat saluran menyempit, dangkal, bahkan mati total.


"Membuang sampah ke sungai dan saluran air menyebabkan polusi, kerusakan ekosistem, dan terganggunya keseimbangan alam."

"Begitu juga bangunan di atas saluran air, ujungnya banjir berulang,” katanya.

Pemandangan tersebut, kata dia, dapat dengan mudah disaksikan di sepanjang Jalan Raya Arjawinangun–Gegesik–Jagapura.

Bangunan berdiri tanpa aturan, saluran drainase tertutup dan bahu jalan berubah fungsi.

Ikhsan menegaskan, bahwa penggunaan fasum dan fasos tanpa izin untuk kepentingan pribadi bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga bertentangan dengan ajaran Islam.


“Ajaran agama mewajibkan kita mencegah kerusakan dan menjaga kemaslahatan umum. Mengambil fasum dan fasos untuk kepentingan pribadi itu dzolim dan melawan hukum,” ujarnya.

Dengan adanya surat teguran ketiga dari Pemprov Jabar, Ikhsan berharap tidak ada lagi toleransi.

“Kami sangat mendukung agar pembongkaran semua bangunan liar segera dilaksanakan."

"Ini demi kepentingan bersama dan keselamatan masyarakat,” ucap Ikhsan.

 

 
 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.