SURYA.CO.ID, JEMBER – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak 48.653 warga di Kabupaten Jember, Jawa Timur (Jatim), masuk dalam kategori pengangguran terbuka sepanjang 2025.
Angka tersebut setara dengan 3,07 persen dari total 1.584.270 angkatan kerja di Jember.
Berdasarkan data BPS, tingkat pengangguran terbuka masih didominasi oleh lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan persentase mencapai 7,62 persen.
Disusul lulusan perguruan tinggi sebesar 4,86 persen, lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) 4,70 persen, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) 3,36 persen.
Sementara, lulusan Sekolah Dasar (SD) tercatat paling rendah, yakni 1,65 persen.
Menanggapi data tersebut, Sekretaris Komisi D DPRD Jember, Indi Naidha, menilai masih ada kesalahpahaman dalam melihat tingginya angka pengangguran lulusan SMK.
“Ada paham yang salah kalau dibilang lulusan SMK itu paling banyak menganggur,” ujar Indi Naidha, Sabtu (13/11/2025).
Menurut Indi, secara konsep SMK seharusnya mencetak lulusan yang memiliki keterampilan dan pengalaman berusaha.
Bekal tersebut, kata dia, tidak dimiliki oleh lulusan SMA yang lebih bersifat akademik.
“SMK itu dibekali pelatihan kerja. Kalau sampai angka penganggurannya lebih tinggi, berarti ada yang salah dan ini tidak boleh dibiarkan,” tegasnya.
Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan itu menilai, sudah saatnya SMK mengubah pola pembelajaran. Orientasi pendidikan kejuruan tidak lagi sekadar mencetak tenaga kerja yang siap bekerja di perusahaan, melainkan mencetak generasi yang mampu menciptakan lapangan kerja sendiri.
“Cara berpikir ini harus diubah. Negara kita tertinggal karena selama ini mencetak generasi yang bekerja di tempat orang lain, bukan menciptakan usaha sendiri,” kata Indi.
Indi juga mengkritisi pelaksanaan magang atau Pendidikan Sistem Ganda (PSG) di sejumlah SMK.
Ia menilai, banyak siswa yang hanya dijadikan tenaga kerja murah tanpa mendapatkan ilmu dan pengalaman yang memadai.
“Jangan hanya dititipkan di tempat PSG. Rata-rata kalau dititipkan, siswa hanya dieksploitasi, bukan diberi ilmu,” ungkapnya.
Sebagai solusi, Indi mendorong sekolah-sekolah kejuruan untuk memperkuat kegiatan ekstrakurikuler kewirausahaan, serta menghadirkan motivator atau praktisi usaha bagi siswa.
Ia juga menegaskan pentingnya seleksi ketat dalam memilih tempat magang, agar siswa benar-benar mendapat manfaat.
“Harus benar-benar dilihat, apakah tempat magang itu bisa mengubah cara pandang siswa. Bukan siapa bekerja, tapi siapa menciptakan usaha sendiri dan bekerja untuk dirinya sendiri,” papar Indi, yang juga dikenal sebagai pelaku usaha percetakan di Kecamatan Sumbersari, Jember.