TRIBUNJATIM.COM - Inilah cerita Wida Winarti (58), yang tiap hari jualan jajanan dan minuman di trotoar Jalan Tunjungan, Kota Surabaya, Jawa Timur.
Wanita berusia 58 tahun itu tampak berdiri di belakang sebuah peti pendingin sederhana yang diletakkan di atas meja.
Peti pendinginan itu berisi minuman dingin seharga Rp 5.000.
Berbagai jenis dan merek minuman itu tersusun seadanya di atas kayu kecil yang menjadi etalase.
Dari sore hingga pagi, itulah mata pencaharian Wida.
“Dari sore jam 4, jam 5 sampai pagi jam 6,” kata Wida, Minggu (14/12/2025).
“Nanti malam saya juga jualan kopi, biasanya lesehan di sini.” imbuh Wida sambil menunjuk ke arah pelataran depan dagangannya, melansir dari Kompas.com.
Wanita paruh baya yang berasal dari Kecamatan Tambaksari itu bercerita tentang rutinitas yang sudah ia jalani selama bertahun-tahun.
Siang hari digunakan untuk mengurus rumah yakni memasak, beres-beres, dan memastikan kebutuhan anaknya terpenuhi.
Baru pada sore hingga pagi hari ia bekerja.
Dalam sehari, penghasilannya tak menentu.
Hari biasa, ia hanya membawa pulang sekitar Rp 50.000.
Namun pada Sabtu malam atau saat tanggal muda, pendapatan bisa mencapai Rp 200.000.
“Kalau hari Senin itu biasanya sepi,” katanya.
Ketika Wida ditanya tentang hal apa yang membuatnya merasa senang, ia menjawab dengan mantap.
“Kalau menyenangkan ya pas malam minggu, tanggal muda, atau pas ada acara di sini," katanya.
Di balik senyum ramahnya ketika berdagang dan berinteraksi dengan pelanggan, Wida menyimpan duka yang masih sangat baru.
Suaminya meninggal dunia sekitar 2 pekan lalu.
“Barusan aja suami saya meninggal. Ini udah sekitar 14 hari,” ucapnya pelan.
Kehilangan itu bukan hanya soal perasaan, tapi juga soal ekonomi. Wida merasakan perbedaan ketika satu sumber penghasilan keluarga hilang.
“Pas sudah hitungannya, ekonominya hilang satu,” katanya.
“Kalau enggak jualan, ya gimana,” pungkasnya sambil menghela napas.
Dari lima anaknya, kini hanya satu yang masih tinggal bersamanya, yakni anak laki-laki yang baru saja lulus sekolah dan belum berumah tangga.
Anak-anak Wida yang lainnya sudah menikah.
Wida pun tidak tinggal menetap di rumah miliknya sendiri.
Rumah yang dulu ia tempati kini dihuni anak perempuannya yang sudah berkeluarga.
Ia memilih ngekos di sebelah rumah tersebut, dengan tanggungan biaya kos dan angsuran sepeda yang harus dibayar rutin setiap bulan.
Dari semua hal itu, salah satu hal yang juga membuatnya terus bertahan adalah tanggung jawab ekonomi.
“Ya, meskipun gaji jualan enggak seberapa tapi harus bertahan,” ujarnya sambil menata minuman yang ada di dalam peti pendingin.
Dalam kondisi terdesak, Wida sempat mencoba mencari bantuan dengan cara yang tak biasa.
Sekitar sepekan setelah suaminya meninggal, ia berusaha menghubungi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
“Saya nyari nomor telepon Pak Menteri Keuangan, nemunya dari Google,” kata Wida.
“Saya kan curhat, karena suami saya baru meninggal, saya harus bayar angsuran sama kos, ekonomi lagi enggak stabil,” curhat Wida.
Pesannya dibalas.
Namun menurut Wida, kemungkinan dibalas oleh asistennya. Ia mendapat arahan untuk mengurus bantuan sosial melalui jalur resmi.
“Iya ibu gajiannya minim dan layak dikasih bantuan,” kata Wida, menirukan pesan yang ia terima.
Wida pun mengaku belum memiliki Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
Melalui pesan itu, Wida pun diarahkan untuk mendatangi kelurahan dan Dinas Sosial setempat.
“Disuruh ngurus biar dapat bansos, karena suami baru meninggal dan ekonomi semakin kayak gini. Kan sudah hilang sampai ibaratnya kanan tinggal kiri.” ujar Wida, tangannya sambil bergerak memperagakan.
Karena hal itu, Wida mengaku jika hasil jualannya saat ini hanya cukup untuk makan sehari-hari.
“Uang jualan ini pun cukupnya buat makan sehari-hari saja,” ujarnya.
Di usia 58 tahun, Wida tak bermimpi muluk. Harapannya sederhana, yakni tetap bertahan dan menua dengan sedikit rasa aman.
“Yang saya mau ada uang untuk masa tua,” katanya.
“Ada uang modal untuk dagang tiap hari, biar bisa bayar kosan dan lunasin angsuran sepeda, ngasih uang ke anak juga,” katanya penuh harap sebelum ia kembali menjemput rezekinya dengan melayani pembeli dengan senyumannya yang ramah.
Sementara itu, inilah kisah Suryaningsih, ibu rumah tangga yang tiga tahun jualan kopi keliling.
Tiap hari ia jalan kaki kurang lebih 2 kilometer dari kontrakannya sambil menenteng wadah merah berisi rencengan kopi dan termos air panas menuju Taman Heulang Kota Bogor.
Suryaningsih mengungkap alasan ia berjualan dan juga kondisi keluarganya.
Dengan penuh senyuman, Suryaningsih bergegas menghampiri siapa saja yang memanggilnya untuk diseduhkan segelas kopi panas.
Hal itu ia lakukan sejak pagi.
"Sudah lama, ada tiga tahun. Jualannya dekat-dekat sini saja Taman Heulang," kata Suryaningsih sembari mengaduk kopi, Rabu (3/12/2025), melansir dari Kompas.com.
Di sela-sela berjualan, Suryaningsih bercerita bahwa menjadi pedagang kopi keliling adalah pilihan untuk membantu ekonomi keluarganya.
Sang suami yang bekerja sebagai buruh serabutan memaksanya memutar otak untuk ikut membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Belum lagi, ia memiliki dua orang anak yang masih dalam tanggung jawabnya.
Anak pertama, gadis berusia 19 tahun yang belum bekerja, sedangkan anak keduanya adalah laki-laki yang masih kelas 1 sekolah dasar.
Suryaningsih mengaku penghasilannya dalam sehari sebagai pedagang kopi keliling tak menentu.
Jika ramai pembeli, ia mendapat kurang lebih Rp 100.000 untuk keluarganya bertahan hidup setelah berjualan hingga sore hari.
"Suami kerja bangunan kalau ada, kalau enggak ya nganggur," ungkapnya dengan mata berkaca-kaca.
Sebagai ibu, doa terbaik selalu dipanjatkan Suryaningsih kepada Sang Pencipta agar anak-anaknya kelak mendapat kehidupan yang lebih baik.
"Saya pengennya mah anak-anak nanti kerja enak, punya masa depan lebih baik," kata dia.